Masyarakat Tambusai Timur Tolak Kehadiran Agrinas di Tanah Ulayat

Jurnalis: Moh Nasir
kabarbaru, Rokan Hulu – Masyarakat Tambusai Timur Kecamatan Tambusai , Kabupaten Rokan Hulu, Riau, secara tegas menolak kehadiran PT Agrinas Palma Nusantara serta rencana penerapan skema Kerja Sama Operasional (KSO) di areal perkebunan eks PT Torganda yang mereka klaim sebagai tanah ulayat.
Penolakan tersebut didasari oleh ketidakjelasan dasar hukum pengelolaan lahan serta kekhawatiran hilangnya kedaulatan masyarakat adat atas wilayah yang telah mereka huni secara turun-temurun.
Masyarakat adat menilai penunjukan Agrinas sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pengelola lahan tidak disertai dasar hukum yang kuat. Hingga kini, menurut mereka, tidak pernah ada putusan pengadilan yang menyatakan areal tersebut sebagai objek sengketa hukum yang sah untuk diserahkan kepada Agrinas.
Tanpa adanya kepastian hukum tersebut, kehadiran Agrinas dinilai sebagai bentuk pemaksaan yang berpotensi menggerus hak ulayat dan identitas masyarakat Tambusai Timur dan masyarakat adat Rantau Kasai.
Tokoh masyarakat adat Rantau Kasai, Sariman, menegaskan bahwa penolakan ini bukan semata persoalan ekonomi atau bagi hasil, melainkan menyangkut pengakuan negara terhadap keberadaan dan kedaulatan masyarakat adat. Ia menilai negara seharusnya hadir sebagai penengah yang adil, bukan justru menyerahkan pengelolaan lahan kepada pihak ketiga tanpa melibatkan masyarakat adat sebagai pemilik wilayah secara historis dan kultural.
“Kami menolak Agrinas karena sampai hari ini legal standing mereka tidak jelas. Jika negara menganggap ini kawasan negara, maka harus ada putusan pengadilan. Jangan kami dipaksa menerima pengelola baru di tanah ulayat kami,” ujar Sariman.
Masyarakat adat Rantau Kasai menegaskan bahwa areal eks PT Torganda berstatus Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK), bukan hutan lindung. Dengan status tersebut, negara dinilai memiliki ruang hukum yang jelas untuk mengalihkan peruntukan kawasan menjadi wilayah non-kehutanan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 104.
Jika syarat-syaratnya terpenuhi, masyarakat adat berharap negara dapat memberikan keadilan dengan membuka ruang bagi masyarakat adat sebagaimana yang telah diberikan kepada masyarakat transmigran. Sariman mencontohkan bahwa dalam program transmigrasi, negara membebaskan kawasan dan memberikan kepastian hak berupa sertifikat tanah yang berujung pada peningkatan kesejahteraan.
“Keadilan yang sama itu yang kami minta. Mengapa negara membuka ruang luas bagi transmigran, tetapi tidak bagi masyarakat adat yang sudah ada sebelum negara ini berdiri,” ujarnya.
Sariman juga menjelaskan bahwa pembukaan lahan perkebunan di Rantau Kasai sejak awal dilakukan pada era 1990-an berdasarkan kesepakatan antara ninik mamak Melayu Rantau Kasai dengan pendiri PT Torganda, DL Sitorus. Karena itu, menurutnya, pembukaan lahan tersebut bukan atas kepemilikan PT Torganda, melainkan atas izin dan kehendak masyarakat adat.
“Kami yang mencari PT Torganda untuk membuka tanah ulayat kami,” tegasnya.
Masyarakat adat juga menilai terdapat kejanggalan dalam berita acara penguasaan kembali lahan oleh Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH), khususnya terhadap eks perkebunan PT Torganda di Rantau Kasai. Mereka mempertanyakan bagaimana mungkin berita acara tersebut hanya mendudukkan perusahaan, sementara tanah tersebut merupakan tanah ulayat masyarakat adat yang telah dihuni selama ratusan tahun.
“Kami tidak menerima ketidaksetaraan dalam pembahasan hak-hak ini,” kata Sariman.
Terkait Agrinas, masyarakat adat kembali menegaskan perlunya kejelasan legal standing. Jika lahan tersebut diklaim sebagai kawasan negara, mereka meminta adanya putusan pengadilan yang menyatakan lahan tersebut sebagai objek sengketa hukum dan bagian dari jaminan sitaan sebelum diserahkan kepada Agrinas sebagai pengelolaan
Pada prinsipnya, masyarakat adat Rantau Kasai menolak KSO dan menuntut pengakuan identitas sebagai masyarakat adat. Mereka menyatakan siap memenuhi seluruh kewajiban kepada negara jika pengakuan tersebut diberikan secara sah dan diatur dalam regulasi yang jelas.
“Kalau ada pajak, kami bayar. Ada PSDH, kami penuhi. Ada PNBP, kami tidak menolak. Kami warga negara yang taat hukum. Justru karena hukum kami menuntut kesetaraan dan kepastian,” tegas Sariman.
Masyarakat adat berharap negara memberikan kedaulatan adat dan menghentikan rencana KSO yang dinilai tidak adil. Mereka meminta adanya regulasi yang jelas terkait status kawasan Rantau Kasai sebagai tanah ulayat masyarakat adat Melayu Rantau Kasai.
“Jika KSO diberlakukan, itu sama artinya kami dipaksa menghilangkan kedaulatan adat kami. Kami dipaksa menumpang di perahu sendiri dan menjadi pembantu di rumah sendiri. Karena itu, kami menolak KSO,” pungkas Sariman.(Mat)
Insight NTB
Daily Nusantara
Suara Time
Kabar Tren
Portal Demokrasi
IDN Vox
Lens IDN
Seedbacklink







