Pasca Rusuh NU Perlu Menata Sistem

Editor: Khansa Nadira
Kabar Baru, Opini — AKHIRNYA yang ditunggu itu pun terjadi. Kyai Haji Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya, atau GY) diberhentikan sebagai Ketua Umum Tanfidziyah PBNU. Pemberhentian dilakukan melalui Rapat Pleno PBNU pada 9–10 Desember 2025, berdasarkan Rapat Harian Syuriah PBNU sebagaimana tertuang dalam Risalah Rapat November 2025. Posisinya kemudian diganti oleh KH. Zulfa Musthafa, yang sebelumnya menjabat Wakil Ketua Umum PBNU. Keputusan ini setidaknya dapat mengatasi kesimpangsiuran di tubuh PBNU, meski akan berujung pada debat yang tak berkesudahan. Ada kemungkinan muncul dualisme kepengurusan. Perihal dualisme ini sebenarnya sudah lazim terjadi, terutama di kalangan partai politik. Sikap negara akan sangat menentukan: kelompok mana yang akan mereka akui?
Solusi terbaik mengatasi dualisme ini hanya Muktamar. Apakah berupa Muktamar Luar Biasa (MLB), Muktamar dipercepat, atau Muktamar normal. Namun pilihan terakhir bukan yang terbaik, karena semakin lama Muktamar diselenggarakan, semakin lama pula udara republik ini dipenuhi perdebatan pro dan kontra, baik terhadap Rais Aam Syuriah maupun terhadap Ketua Umum Tanfidziyah.
Bagi Gus Yahya, panggilan akrab Ketua Umum PBNU, Muktamar sudah dirancang digelar pada 2027. Penetapan tahun 2027 itu dilakukan secara sepihak, berdasarkan keinginannya sendiri. Padahal, berdasarkan Muktamar Lampung 2021, kepengurusan seharusnya berakhir pada Desember 2026. Sampai hari ini, agenda Muktamar 2027 belum mengalami perubahan, sebagaimana terekam dalam berbagai dokumen Nahdlatul Ulama.
Sementara itu, di kalangan Syuriah, sebagaimana disampaikan langsung oleh Rais Aam Syuriah PBNU, KH. Miftahul Achyar, demi membangun NU yang damai dan nyaman, Ketua Umum PBNU yang baru ditunjuk harus melaksanakan Muktamar secepatnya. Jadwal perlu kembali ke siklus normal karena periode sebelumnya sempat tertunda lebih dari setahun. Kemungkinan Muktamar akan dilaksanakan sebelum atau sesudah Hari Raya Haji 2026. Tampaknya, kalangan Syuriah menginginkan Muktamar dipercepat.
Sikap Gus Yahya
Saya meyakini, meski GY sudah diberhentikan sebagai Ketua Umum Tanfidziyah PBNU, jebolan Fisipol UGM itu tidak akan menyerah. Ia akan melawan sekuat tenaga. Ini tampak dari berbagai narasi yang disampaikannya. Meski banyak kritik tertuju kepadanya, ia tidak akan mundur sejengkal pun. Apalagi orang-orang di sekelilingnya memiliki tipe “baja”, keras hati, dan kukuh pada apa yang mereka yakini. Bagi mereka, GY adalah sosok baik yang tidak pernah salah, sehingga harus dibela.
Rekan-rekan di sekitar GY itu tidak pernah merasakan bagaimana ia telah menyingkirkan banyak orang, baik di PWNU, PCNU, maupun lembaga-lembaga NU lainnya, sesuai sudut pandangnya. Saya salah satu korban GY. Melalui orang-orangnya yang rekam jejak ke-NU-annya tidak jelas, saya diusir dari kampus yang saya dirikan pada 2014. Kampus itu merupakan hasil usaha dan jerih payah saya sebagai Ketua PWNU Kalsel periode 2007–2012 dan 2012–2017. Pada 2021, ketika saya menjadi pimpinan Baznas Kalsel, melalui sebundel surat, saya diusir dan tidak boleh lagi terlibat mengurus kampus, bahkan tidak boleh mengajar. Tentang hal ini, sedang dicetak sebuah buku mengenai perjalanan Universitas NU Kalsel sejak proses awal hingga hari ini. Sampai sekarang saya tidak pernah diberi tahu kesalahan apa yang saya lakukan.
Gaya GY yang sombong dan angkuh juga tidak dirasakan para pendukungnya. Padahal, Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj—Ketua Tanfidziyah PBNU periode 2010–2015 (Muktamar Makassar) dan 2015–2021 (Muktamar Jombang) pernah dengan gamblang memaparkan karakter buruk GY tersebut saat silaturahim sesepuh NU di Tebuireng. Disebutkan, GY itu jangankan dengan warga NU akar rumput, kepada warga PBNU sendiri pun tidak familier. Saya, salah satu Katib Syuriah PBNU (sebelum mundur), tidak bisa menghadap beliau untuk menyampaikan persoalan NU di daerah. GY hanya menerima pengurus-pengurus tertentu yang bisa keluar masuk kamar kerjanya, tidak seperti para Ketua Umum PBNU sebelumnya.
Rombak Sistem Pemilihan
Dalam pengamatan saya, jika ada konflik di PBNU hari ini—meski telah dibantah jajaran Syuriah—salah satunya berkaitan dengan upaya menguasai PCNU dan PWNU. Muaranya adalah Muktamar 2026 atau 2027. Sejak awal, GY sudah memiliki agenda untuk menang mutlak di Muktamar mendatang. Caranya melalui sejumlah regulasi, di antaranya kewajiban sertifikasi pelatihan bagi calon pimpinan NU. Proses pelatihan ini tampak memiliki skenario: ada orang yang bisa diikutkan, ada yang bisa ikut tetapi tidak diluluskan. Setelah lulus dan terpilih sebagai Ketua PWNU atau PCNU, masih ada semacam “ikrar”. Pada saat Muktamar, “ikrar” itu akan ditagih.
Mengingat jam’iyyah NU adalah institusi penting yang berdiri sebelum Indonesia merdeka, yaitu pada 1926, peran jam’iyyah ini akan tetap signifikan. Karena itu, siapa pun harus menjadikan NU sebagai organ penjaga negeri ini selain urusan syiar Islam. NU perlu merevolusi diri agar semakin berharga dan disegani. NU harus keluar dari sistem pemilihan transaksional yang berlangsung setidaknya sejak Muktamar 1994 di Cipasung, dan semakin menguat pada Muktamar Jombang 2015 serta Lampung 2021.
Saya sudah pernah menyarankan perubahan sistem pemilihan pimpinan NU. Model lama harus ditinggalkan, dan model baru harus ditetapkan. Caranya: PBNU (atau PW/PC) membentuk panitia pemilihan yang terdiri dari orang-orang independen, berasal dari kalangan ulama pesantren, akademisi NU, dan para aktivis. Jumlahnya antara 9 hingga 15 orang. Syaratnya: mereka tidak boleh menjadi pengurus, hanya warga NU sekaligus pengawas atau kritikus NU.
Tugas panitia adalah mengumpulkan sejumlah nama yang diusulkan PCNU dan PWNU, misalnya masing-masing lima nama. Dengan asumsi PWNU, PCNU, dan PCI NU berjumlah sekitar 600, dengan lima usulan masing-masing, terkumpul sekitar 30 ribu nama. Sidang pertama panitia memangkas 50 persen. Setiap sidang berlangsung dalam interval satu minggu atau sepuluh hari, memangkas 50 persen lagi. Dari kisaran 200–300 nama, disisakan 100–150 nama. Nama-nama ini disimpan dalam kotak sampai Muktamar dimulai. Sehari sebelum pemilihan, panitia bersidang lagi untuk menetapkan 50–99 nama. Jumlah ini kemudian diumumkan dan ditetapkan sebagai kandidat Syuriah atau Tanfidziyah. Pertama, ditetapkan Rais Aam Syuriah, kemudian dipilih satu dari tiga nama yang direkomendasikan (detail teknis dapat dibahas khusus). Untuk keamanan, para kandidat ditempatkan di lokasi khusus tanpa memegang telepon genggam, dengan pengawasan ketat. Jika perlu melibatkan aparat, otomatis tidak akan ada pembelian suara.
Jika panitianya sejak awal berintegritas, calon pengurus juga akan berintegritas. Namun jika sebaliknya, bisa terjadi malapetaka. Karena itu, panitia harus dipersiapkan secara matang. Dalam model ini tidak akan ada mandataris individual, melainkan mandataris kebersamaan. Dengan semangat kebersamaan, tidak ada lagi orang yang merasa paling berkuasa sendiri, seperti yang terlihat lima tahun terakhir. Tidak ada lagi Ketua Umum yang angkuh dan sombong karena merasa sebagai mandataris. Konflik pun dapat dihindarkan. Inilah yang harus dipikirkan NU ke depan, agar pasca “rusuh” dan keruwetan saat ini, masa depan NU justru semakin brilian dan genuine. Wallahu a’lam bis-sawab.
Penulis adalah M. Syarbani Haira, Ketua Tanfidziyah PWNU Kalsel Periode 2007–2012 dan 2012–2017.
Insight NTB
Suara Time
Kabar Tren
IDN Vox
Portal Demokrasi
Lens IDN
Seedbacklink







