Diseminasi Pahlawan dan Pengangkatan Tanpa Sungkan

Editor: Khansa Nadira
Kabar Baru, Opini — Isu pengangkatan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional kembali membuka perdebatan klasik antara legitimasi kekuasaan dan ingatan sejarah bangsa. Dalam perspektif ilmu politik, kebijakan simbolik seperti pemberian gelar pahlawan tidak pernah netral ia merupakan bentuk politik memori, yakni upaya negara menafsirkan ulang masa lalu demi kepentingan identitas nasional masa kini.
Soeharto adalah figur paradoks dalam sejarah Indonesia. Di satu sisi, ia berperan besar dalam pembangunan ekonomi, stabilitas nasional, dan konsolidasi pemerintahan pasca-1965. Namun di sisi lain, kekuasaannya juga ditandai oleh pelanggaran HAM, represi politik, dan pembungkaman kebebasan sipil. Ketika negara mempertimbangkan gelar kepahlawanan bagi sosok seperti Soeharto, yang dipertaruhkan bukan hanya penghargaan semata, tetapi integritas moral sejarah itu sendiri.
Ironi mencuat ketika nama Soeharto kerap disejajarkan dengan Marsinah sosok buruh perempuan yang menjadi simbol perjuangan kelas pekerja dan korban dari rezim yang sama. Dalam kerangka politik etis, tindakan semacam ini bukan hanya menciptakan distorsi nilai kepahlawanan, tetapi juga melemahkan kepekaan publik terhadap keadilan historis. Menyandingkan keduanya seolah menyamarkan luka yang belum sembuh, sekaligus menafikan keberanian rakyat kecil yang berani menuntut haknya di tengah represi.
Pahlawan sejati bukanlah mereka yang sekadar membangun gedung dan jalan, melainkan mereka yang membangun martabat kemanusiaan. Kepahlawanan sejati lahir dari keberpihakan terhadap nilai-nilai keadilan, kebebasan, dan kemanusiaan bukan dari kekuasaan yang menanamkan ketakutan. Maka, sebelum bangsa ini mengangkat seseorang sebagai pahlawan, pertanyaan mendasarnya adalah: apakah ia meninggalkan warisan keadilan, atau justru jejak penindasan?
Sebagai kader intelektual dan bagian dari Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, kita memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga objektivitas sejarah. Politik yang berkeadaban harus berdiri di atas kebenaran, bukan di atas pelupaan. Sebab sejarah yang dilupakan akan melahirkan generasi yang kehilangan arah moral dan gagal memahami makna sejati dari perjuangan.
Soeharto mungkin bagian penting dari sejarah bangsa, tetapi Marsinah adalah suara nurani yang mengingatkan kita agar tidak menukar pembangunan dengan penindasan. Di tengah arus pelupaan dan romantisasi kekuasaan, tugas kita bukan mengangkat tanpa sungkan, tetapi menyuarakan kebenaran dengan keberanian.
Penulis adalah Arya Firmansyah, Kabid HPKP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Pimpinan Komisariat Ekosentris Universitas Muhammadiyah Gresik.
Insight NTB
Berita Baru
Berita Utama
Serikat News
Suara Time
Daily Nusantara
Kabar Tren
Indonesia Vox
Portal Demokrasi
Lens IDN
Seedbacklink







