Belajar Toleransi dari Sumenep: Anak Muslim Rutin Antar Ibu ke Gereja

Jurnalis: Rifan Anshory
Kabar Baru, Sumenep – Di jantung Pulau Madura, yang kental dengan suasana keislaman, tersimpan cerita indah arti kerukunan umat beragama.
Di Desa Pabean, Kota Sumenep, gereja berdiri di dekat Masjid dan Klenteng, membentuk siluet pemandangan langka dan menyentuh.
Romo Kornelis Kopong, O.Carm, Pastor Paroki Gereja Katolik Maria Gunung Karmel Sumenep, menjadi saksi sekaligus pelaku utama dalam merawat mozaik indah ini.
Sejak pertama kali tiba, ia merasakan suasana hangat penuh kekeluargaan, setelah sebelumnya mengira Madura kental dengan fanatisme dogma agama.
“Ketika saya sampai ke Sumenep, saya merasa, saling menghormati, saling menghargai, menjunjung toleransi, itu terjaga,” katanya saat diwawancara di Pastoran, Rabu (20/8).
Kehidupan di Desa Pabean, atau yang dikenal sebagai ‘Kampung Toleransi’, adalah contoh nyata kerukunan dan kedamaian umat beragama.
Gereja Katolik yang telah berdiri sejak 1937, menunjukkan bahwa akar toleransi yang telah sangat dalam dan lama tertanam.
“Kita ini kan ada di lingkungan kampung toleransi, di Desa Pabean ini ada Masjid, Gereja hingga Klenteng. Jadi kami saling menjaga, menyapa satu sama lain, berbaur, mengikuti kegiatan. Misalnya kayak momen Agustusan kemarin,” ujarnya menjelaskan kehidupan sehari-hari dengan rasa hormat.
Menurutnya, kerukunan antar umat beragama ini bahkan dirasakan hingga ke level administrasi paling bawah.
“Kami kan masuk RT 2 di kampung ini di Desa Pabean. Kami selalu dilibatkan,” ungkapnya.
Keterlibatan ini bukan sekadar formalitas, melainkan sebuah pengakuan.
“Artinya, meski kita ini minoritas, tapi kita ini diperhitungkan,” tambahnya.
Romo Kornelis menceritakan, bahwa ada beberapa umatnya yang hidup dalam keluarga yang berbeda keyakinan.
“Di Kalianget, Kakeknya Katolik, anak hingga cucunya muslim. Si cucu ini setiap Minggu antarkan kakeknya ke Gereja. Begitu juga di Batang-batang, seorang ibu yang katolik diantar anaknya yang muslim ke gereja,” ujarnya, menunjukkan toleransi yang sangat dalam.
Bagi Romo Kornelis, tinggal di Sumenep semakin mendorong keyakinannya untuk terus merajut kebersamaan.
“Kesan saya yang paling melekat selama di sini: saya diterima, terutama oleh saudara-saudara muslim,” utasnya.
Namun, di balik ketenangan yang ia akui masih terjaga, ada pesan sekaligus kekhawatiran yang disampaikannya dengan bijak.
Pastor asal Nusa Tenggara Timur (NTT) ini menekankan bahwa warisan luhur ini harus dijaga bersama.
“Toleransi yang selama ini sudah terjaga, harus dipelihara. Karena keindahan itu justru terletak di perbedaan-perbedaan. Perbedaan itu membuat kita semakin kuat. Mudah-mudahan tidak diganggu dengan kelompok-kelompok intoleran,” pesannya.
Sebab, kata Romo Kornelis, terkadang kekhawatiran justru datang dari suasana kenyamanan yang ada.
Itu sebabnya, ia mengingatkan bahwa kewaspadaan harus tetap tinggi.
“Karena kita gak tahu ke depan akan seperti apa. Sebab, kadang tempat-tempat yang kita anggap tenang dan adem itu yang justru berpotensi munculnya pihak yang menyebarkan paham intoleransi,” pungkasnya.