Ironi Proyek Kalang Kabut PON XXI Aceh-Sumut

Editor: Ahmad Arsyad
Kabar Baru, Opini – Awal Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) ditetapkan sebagai tuan rumah PON XXI ketika acara Musyawarah Olahraga Nasional Luar Biasa (Musornaslub) Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) di Jakarta Selatan usai menang telak dalam bidding tuan rumah PON bersaing melawan Bali-NTB dan Kalimantan Selatan pada 2018 lalu. Sedangkan Keputusan Menpora No. 71 Tahun 2020 tentang Penetapan Provinsi Aceh dan Sumut sebagai Tuan Rumah Pelaksana PON XXI tahun 2024, baru ditetapkan 2 tahun berikutnya usai pemerintah melakukan berbagai perbaikan regulasi salah satunya dengan merevisi PP No. 17 Tahun 2007 menjadi PP No. 7 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Pekan Olahraga.
Kedua wilayah tuan rumah pun telah mengkompromikan komposisi pelaksana (PB PON), termasuk penentuan daerah-daerah yang menjadi venue pertandingan cabor. Aceh maupun Sumut, masing-masing sepakat mendistribusi venue pada 10 kabupaten/kota di wilayahnya dengan lebih dari 70 arena yang direhabilitasi, renovasi, maupun dibangun. Keberadaan seluruh venue adalah upaya memenuhi kepentingan kompetisi, yang mana di Aceh mempertandingkan 33 cabor dengan 42 disiplin dan 510 nomor pertandingan. Sedangkan di Sumut, terdapat 34 cabor yang dipertandingkan, dengan 46 disiplin dan 602 nomor pertandingan.
Akselerasi Senyap Pemerintah
Bila mengacu pada LPSE Provinsi Aceh dan dokumen bahan konsultasi Komisi V DPR Aceh ke Komisi X DPR RI pada tahun 2023, DED Venue PON XXI di Aceh telah mulai digarap sejak 2019. Meskipun master plan baru difinalisasi pada Desember 2023 dan diserahkan pada Januari 2024, namun jangka waktu pelaksanaan pembangunan atau rehabilitasi tidak juga mengecewakan. Mengingat pada Desember 2023, PT Wijaya Karya Bangunan Gedung Tbk (WEGE) dan KSO PT Nindya Karya dengan manajemen konstruksi PT Virama Karya dan KSO PT Laras Sembada menandatangani kesepakatan kontrak paket rehabilitasi dan pembangunan 12 Venue PON XXI 2024 dengan nilai kontrak mencapai Rp536 miliar. Pembangunan 12 venue tersebut terselesaikan sekitar 6 minggu lebih cepat dari target waktu perencanaan yang mestinya tuntas pada 12 Oktober 2024 atau seminggu sebelum opening ceremony PON.
Meskipun begitu, sebelumnya PPK Prasarana Strategis II sempat mendapat protes dari perkumpulan kontraktor lokal dan pengamat tender, serta diminta membatalkan penyatuan belasan paket venue senilai Rp695 miliar yang terkesan akan dimonopoli satu perusahaan yang tentu bertentangan dengan Perka Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa No. 12 Tahun 2021. Protes tersebut kemudian mengusulkan pada KPA agar melakukan tender ulang demi memberikan kesempatan pada kontraktor kecil terutama dari daerah tuan rumah agar dapat turut bersaing sehat dan terlibat dalam pembangunan fasilitas venue PON di Aceh.
Kompromi atas protes ini sepertinya hampir meniadakan sorotan pada sejumlah venue lainnya oleh media, baik dalam rehabilitasi ataupun pembangunan meskipun total nilai kontrak mencapai hingga ratusan miliar. Sebagaimana yang termuat dalam laman LPSE Provinsi Aceh, terdapat setidaknya 43 tender dan 55 pengadaan langsung (PL) yang disediakan sejak tahun 2019, 2023 hingga 2024 dengan total nilai kontrak sekitar Rp500 miliar yang terdiri dari penyusunan dokumen lingkungan, analisis dampak lalu lintas (Andalalin), perencanaan pembangunan, penyiapan lahan, rehabilitasi, pembersihan, dan pengawasan.
Perseteruan juga sempat terjadi antara KONI Aceh dengan Pj. Gubernur Aceh Bustami Hamzah ketika itu akibat keterlambatan dalam proses tender yang berdampak pada hambatan pembangunan venue. Hal ini diduga sebagian kalangan karena adanya konflik kepentingan pihak-pihak terkait yang memiliki hubungan dengan Pj. Gubernur untuk meloloskan perusahaan-perusahaannya demi mengamankan kepentingan Bustami pada Pemilihan Gubernur (Pilgub) Aceh Tahun 2024.
Kendati negosiasi dilakukan secara senyap, di Aceh Tenggara, CV. Karya Kita hingga kini belum mendapat kejelasan dari Dinas PRKPP setelah perusahaannya yang telah memenangkan tender rekayasa Arung Jeram PON XXI senilai Rp 404 juta dibatalkan dan digantikan secara sepihak oleh dinas terkait dengan perusahaan lain tanpa konfirmasi alasan lebih dulu hingga pekerjaan tersebut selesai.
Kemudian ada juga arogansi aparat pemerintah terhadap hak kelolah lahan yang terjadi di Takengon, dimana Pemkab Aceh Tengah diduga melakukan penyerobotan paksa tanah warga untuk perluasan area venue Pacuan Kuda PON XXI. Tanpa dibarengi legalitas, Satpol PP dan WH Aceh Tengah dengan melawan hukum menerobos lahan lima ahli waris yang secara jelas memiliki dokumen kepemilikan lahan tersebut.
Efek sejumlah dinamika di atas, Safrizal ZA yang kemudian menggantikan Bustami sebagai Pj. Gubernur Aceh sebelum PON dimulai, tanpa bisa menghindar harus menerima resistensi sejumlah pihak yang ditinggalkan kepemimpinan Bustami terkait persiapan PON. Untungnya pada hari H tepat sebelum opening ceremony PON XXI, Presiden Jokowi berkenan meresmikan 18 venue hasil rehabilitasi senilai Rp811 miliar. Meskipun dalam perjalanannya, venue menembak dan panahan masih juga mengalami kerusakan akibat badai angin.

Gontok-gontokan Libido Membangun
Berbeda dengan persiapan PON di Sumut, Edy Rahmayadi yang menjabat Gubernur kala itu menunjukan libido pembangunan dengan bergerak lebih cepat mempersiapkan Sumut sebagai salah satu tuan rumah. Dengan jumlah anggaran yang tidak sedikit yakni Rp 3,2 miliar, master plan Sport Center Sumut ber-desain Kelapa Sawit oleh PT Penta Rekayasa yang akan dibangun di atas lahan sekitar 300 hektar, telah selesai dibuat sejak tahun 2019, sebelum SK penetapan tuan rumah PON diterbitkan walau dengan beberapa catatan masukan untuk perbaikan.
Entah akibat siklus pergantian penjabat kepala daerah atau maraknya praktik KKN pejabat pemerintah. Proyek dengan target hasil bertaraf internasional ini mengamini rasa pesimis publik. Pasalnya, wacana kemegahan yang digembar-gemborkan di berbagai macam media baik spesifikasi maupun target pembangunan selama sekitar 5 tahun berjalan menjadi sebuah ironi.
Mengapa tidak, mulai dari gerbang sport center dengan nilai pembangunan fantastis, lahan kawasan pembangunan yang luas, spesifikasi target penonton stadion utama, kualitas penataan jalur lintas area, hingga target waktu penyelesaian, dan lain-lain, semuanya melenceng dari yang diharapkan.
Gerak cepat pembangunan di awal ditandai dengan pembangunan gapura masuk kawasan sport center oleh Satker Dispora Sumut berkontrak dengan PT Duta Sumatera Perkasa pada Agustus 2020 yang menelan dana hingga Rp 3 miliar (APBD). Gapura tersebut juga akhirnya dibongkar tak tersisa sehari menjelang kedatangan Presiden Jokowi untuk meresmikan Sport Center Sumut pada 10 September 2024. Alasan Kadispora Sumut, Baharuddin Siagian pun tak masuk akal karena menurutnya gapura tersebut “tak estetik”. Tindak lanjut pertanggungjawaban ketidaksesuaian rencana atas gapura pun hingga kini belum terlihat. Proyek miliaran tersebut turut lenyap bersama hilangnya gapura.
Kemudian peletakan batu pertama pembangunan venue sport center sendiri dilakukan pada Maret 2023. Rentang waktu yang cukup jauh sejak groundbreaking area pada 2020. Selain alasan pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19, konflik lahan diduga menjadi faktor utama terhambatnya pembangunan Sport Center Sumut. Terlepas dari klaim Edy Rahmayadi yang menyebutkan Pemda Sumut telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp152 miliar untuk penyelesaian pembebasan lahan sesuai aturan dengan melibatkan Polda, Kejati, dan PN. Tetapi fakta di lapangan berkata sebaliknya. Kenyataan bahwa masih ada kelompok masyarakat yang berkeras menganggap lahan garapan tersebut masih miliknya dan belum diberi kompensasi atas haknya. Perlawanan ini sempat mencuat ketika petani dan organisasi HMI melakukan aksi demonstrasi buntut “penyerobotan” lahan untuk mega proyek tersebut.
Sementara itu, di Desa Sena, Deli Serdang, warga harus berhadapan dengan ratusan personil gabungan dari Satpol PP, Damkar, Polisi, TNI dan Pegawai Dispora Sumut yang hendak meratakan perumahan kelompok tani demi kepentingan pembangunan sport center. Pembersihan lahan tetap dipaksakan para aparat meski secara hukum masyarakat telah memenangkan gugatan di PTUN Medan dengan Putusan Nomor: 44/G/2022/PTUN.MDN tanggal 25 Mei 2022, yang poin intinya membatalkan SK bodong jual beli tanah sport center dan sertifikat penguasaan fisik lahan oleh Dispora Sumut.
Masalah serupa juga terjadi di Desa Partibi Lama, Kabupaten Karo. Selain protes legislatif, kelompok masyarakat juga terpaksa harus berhadapan di persidangan dengan pemerintah daerah setempat usai Bupati Karo Terkelin Brahmana memberikan izin pada Pemprov Sumut membangun Sport Center dan Wisma Atlet Siosar senilai Rp 35 miliar di atas lahan 20 hektar yang sebelumnya merupakan Lahan Usaha Tani Pengungsi Sinabung. Perlawanan masyarakat dilatarbelakangi karena dalam pembangunan fasilitas olahraga tersebut, Pemkab Karo tidak lebih dulu berkonsultasi dengan komponen masyarakat Desa Partibi Lama bahkan mengabaikan SK Menteri LHK Nomor: 547/MENLHK/SETJEN/PL.2/10/2017. Walaupun konflik agraria tersebut dimenangkan oleh masyarakat lewat banding dengan Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor: 699/Pdt/2023/PT MDN, namun entah apa yang membuat Pemprov Sumut berkeras melawan hukum dengan terus melanjutkan pembangunan wisma atlet di kawasan itu yang akhirnya kini hanya menyisakan pembangunan mangkrak.
Dengan status hukum atas kepemilikan maupun fungsi lahan di area pembangunan sport center, melihat nilai kucuran anggaran tersebut, pemerintah maupun pihak-pihak terkait sepertinya tidak menunjukan kekhawatiran bila penyerobotan lahan yang di atasnya telah melakukan pembangunan, kembali mendapat penentangan dari kelompok masyarakat yang merasa dirugikan.
Telah diketahui bersama bahwa mega proyek pembangunan Sport Center Sumut sendiri ditangani oleh PT Adhi Karya, PT Pembangunan Perumahan (PP), PT Penta Rekayasa, dan manajemen konstruksi PT Jaya Construction Manajemen (JCM) dan PT Ciriajasa KSO. Total kontrak kerja yang ditandatangani perusahaan-perusahaan ini bersama pengguna jasa Satuan Kerja (Satker) Pelaksanaan Prasarana Permukiman Wilayah (PPPW) II Sumut senilai Rp587 miliar dengan skema kontrak multiyears atau tahun jamak. Sedangkan estimasi nilai pembangunan untuk proyek raksasa ini pada tahun 2020 mencapai Rp 8,6 triliun dan mengalami peningkatan menjadi Rp 13,485 triliun pada 2021. Walaupun, informasi Kemenpora melalui akun instagram resminya (17/9/2024), menyebutkan hanya Rp 2,09 triliun.
Pada kasus tertentu, pembangunan Stadion Utama Sport Center Sumut yang awalnya digadang-gadang akan memuat 75.000 penonton atau dua kali lipat dari standar internasional, akhirnya harus terperosot menjadi hanya 25.000 penonton setelah dipertimbangkan Kementerian PUPR. DED bernilai kontrak miliaran sepertinya hanya menjadi dokumen “gambar bangunan” bukan pedoman pembangunan. Apalagi menurut penelusuran pada berbagai rilis media, tidak ada perubahan pada nilai pembangunan stadion yang senilai Rp 1,8 triliun itu meski jumlah bangku penontonnya dikurangi.
Tidak jauh berbeda dengan Gubernur Edy Rahmayadi dalam pembangunan sport center, “nafsu kuda tenaga ayam”, juga ditunjukan seragam oleh Pemerintah Pusat dalam hal ini Menko PMK Muhadjir Effendy, Menpora Dito Ariotedjo, dan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono maupun Pemprov Sumut baik melalui Pj. Gubernur (Hassanaduin dan Agus Fatoni), maupun Kadispora Sumut, Baharuddin Siagian termasuk kontraktor dan manajemen konstruksi.
Sport Center Sumut awalnya ditargetkan rampung pada tahun 2023, namun karena terkendala anggaran yang diduga akibat persiapan Pemilu 2024, pembangunan oleh pemerintah pusat maupun Pemprov Sumut diundur dan diproyeksi kembali selesai pada tahun 2024, tepatnya sebelum PON XXI.
Seperti yang diketahui, sejak Februari hingga September 2024, klaim pihak-pihak terkait mengenai progres pembangunan Stadion Utama Sport Center selalu konsisten meleset dari target finishing sebelum pembukaan PON. Progres mulai dari 71 persen hingga 81 persen. Bahkan pada pertengahan September disebut telah mencapai 96 persen. Faktanya, saat H-1 penutupan, Kadispora Sumut Baharuddin Siagian tidak mengungkapan demikian dan justeru mengharapkan progres setidaknya telah mencapai 70 persen ketika closing ceremony. Entah lebih tepat disebut stganasi atau degradasi infrastruktur.
Fenomena ini memicu banyak media lokal maupun nasional menyoroti kegagapan pemerintah dalam mengawal pembangunan perhelatan akbar tersebut. Beruntungnya, dugaan “operasi khusus” untuk menetralisir ofensifitas media mampu diakslerasi Satgas Penyelenggaraan menjelang H-1 penutupan PON. Dalam waktu semalam, informasi media berputar 180 derajat saat merilis pemberitaan seputar progres sport center dan persiapan closing ceremony PON yang lebih terkesan apresiatif daripada hari-hari sebelumnya.
Menariknya, meski memperoleh investasi hingga triliunan, Pemprov Sumut malah berdalih jika ada keterlambatan pencairan anggaran dari pusat untuk pembangunan dimaksud. Pj. Gubernur Agus Fatoni maupun Kadispora Baharuddin Siagian berkilah jika pembangunan akan selesai Desember 2024 sesuai target waktu. Sementara sempat diakui sebelumnya oleh Pemprov Sumut bahwa sumber dana pembangunan bukan hanya dari APBD dan APBN, melainkan juga dari investor. Demikian juga pembicaraan saat penandatangan kontrak kerjasama antara Pemprov Sumut dengan kontraktor, manajemen konstruksi dan pengguna jasa pada September 2023, bahwa proyek raksasa Sport Center Sumut ditarget rampung kurang dari setahun atau 11 bulan, tepatnya bulan Agustus 2024.
Kekecewaan tersirat Presiden
Sering melenceng dari target waktu, Presiden Jokowi pun sepertinya kecewa dengan progres kerja Satgas Penyelenggaraan PON Aceh-Sumut. Pasalnya, setelah batal meresmikan Sport Center Sumut pada 10 September karena pekerjaan yang belum selesai, Jokowi kembali menegaskan kekecewaan tersirat menjelang closing ceremony PON XXI dengan membatalkan kehadirannya dan menunjuk Menko PMK Muhadjir Effendy menutup acara tersebut di Stadion Utama Sport Center Sumut pada 20 September 2024. Nampak aneh ketika Presiden lebih mengutamakan kepentingan pribadi dengan hadir di acara pernikahan putra Bakal Cagub Jawa Timur, Khofifah Indah Parawangsa dibanding menghadiri agenda penting nasional yang telah disiapkan sejak lama pada hari itu.
Ironi proyek pembangunan, rehabilitasi venue, maupun sport center dengan masing-masing nilai kontrak di atas baik pada LPSE Provinsi Aceh maupun Sumut belum termasuk paket tender maupun PL yang disediakan oleh 20 kabupaten/kota melalui LPSE masing-masing tempat dilaksanakannya PON XXI di Aceh maupun Sumut. Investigasi lebih lanjut juga perlu mengungkap dugaan penyelewengan terhadap honor volunteer dan pengisi acara seperti penari yang belum terbayar hingga saat ini, termasuk penyelewengan oleh vendor-vendor pendukung kesuksesan PON lainnya seperti pengadaan konsumsi, transportasi, akomodasi, fasilitas sarana pendukung venue, keperluan pertandingan, ID card, dan masih banyak lainnya baik terhadap 1.158 penyedia maupun 53 swakelola sesuai yang ada pada SiRUP LKPP khusus untuk PON XXI Aceh-Sumut.
*) Penulis adalah Rahmat Hidayat, Direktur LAPPOR; Fungsionaris PB HMI.