Berita

 Network

 Partner

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store

World Contraception Day 2024 : Menakar Moralitas Edukasi Seksual dan Fasilitasi Kontrasepsi pada Anak, Masihkah Relevan ?

Ilustrasi ini dibuat oleh penulis melalui Canva.

Editor:

Kabar Baru, Opini – Ramai diperbincangkan oleh masyarakat beragam kalangan merespon kontroversi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 mengenai Kesehatan, yang diteken Presiden Joko Widodo pada 26 Juli 2024. Perbincangan terfokus pada kontroversi pemberian edukasi seksual dan fasilitasi kontrasepsi pada anak usia sekolah yang dinilai oleh sebagian kalangan sebagai wujud liberalisasi seks dan bertentangan dengan moralitas amanat pendidikan nasional. Sebagian kalangan yang turut andil memberikan penilaian terhadap standar moral atas PP ini ialah kelompok tokoh keagamaan, namun bagaimana sebenarnya tujuan dan cakupan PP tersebut? Bagaimana relevansinya dengan standar moral?

Hal pertama yang perlu didudukkan untuk menyamakan persepsi adalah persoalan definisi moral. Moral oleh sebagian kalangan masyarakat Indonesia dianggap akan dan selalu bersumber dari agama, tentu asumsi ini tidak lepas dari kehidupan masyarakat Indonesia yang kental dengan agama sebagai sumber moralitas sehari-hari. Padahal moralitas tidak selalu bersumber dari agama, tetapi moralitas bisa saja datang dan dihadirkan melalui kesepakatan sosial, pendidikan, dan nilai universalisme kemanusiaan. Romo Franz Magnis-Suseno dalam Etika Jawa mengungkap bahwa moral bisa saja bersifat sekuler, contoh moralitas seperti gotong-royong dan kepedulian terhadap sesama sejatinya sudah ada menjadi kepribadian bangsa, yang mana hal tersebut tidak diintervensi oleh afiliasi agama (Magnis-Suseno, 1991, hlm. 113). Serupa tapi tak sama dengan Romo Franz Magnis-Suseno, Siti Musdah Mulia menyebut bahwa moralitas dalam Islam tidak hanya didasarkan pada ajaran agama tetapi juga pada nilai-nilai kemanusiaan yang lebih luas, hal ini dapat dipahami melalui berbagai ragam konsep keadilan dan cinta-kasih yang masih bisa dipahami oleh akal sesuai prinsip rasionalitas Islam (Mulia, 2010, hlm. 85–90). Kedua definisi ini setidaknya menyeleraskan pemahaman publik terlebih dahulu bahwa moralitas bisa saja bersumber dari agama namun bukan satu-satunya sumber rujukan, melainkan terdapat nilai-nilai kemanusiaan, kesepakatan sosial, dan pendidikan sebagai sumber moral.  Kesimpulan logis atas pemahaman ini adalah kelompok non-beragama bisa saja bermoral dalam pergaulan hidup berbangsa yang mengakomodir kebhinnekaan.

Jasa Penerbitan Buku

Persoalan kedua yang wajib dibahas untuk mengurai spekulasi pertentangan moral berupa liberalisasi seks adalah menyangkut kepastian hukum hubungan seksual yang dilandasi konsensus suka sama suka  (free sex). Kepastian hukum yang perlu diperdebatkan pada konteks ini yaitu fakta bahwa free sex sesungguhnya tidak dapat dipidana baik dalam ketentuan KUHP lama maupun KUHP baru, meski memang letak perbedaan antara KUHP lama dan baru pada prinsip legalitas, dimana prinsip legalitas dalam KUHP baru telah mengakomodir living law (norma lokal yang hidup di masyarakat) sebagai sumber hukum. Lalu, ketika living law ini mengamini free sex sebagai perilaku menyimpang, maka prinsip legalitas KUHP baru ini kemudian berhadapan dengan ketentuan zina dalam Pasal 284 KUHP lama dan/atau Pasal 417 KUHP baru, yaitu keduanya sama-sama mendefinisikan perzinahan terbatas pada perselingkuhan setelah menikah, bukan hubungan seksual sebelum menikah yang dilandasi suka sama suka sebagaimana yang dilarang dalam norma agama Islam dan norma yang hidup di tengah masyarakat (living law). Lantas, norma mana yang didahulukan? Apakah ketentuan Pasal 417 KUHP baru bahwa zina sebatas pada arti perselingkuhan  atau  zina yang berarti perilaku perselingkuhan sekaligus free sex yang berpotensi dijalankan oleh living law (norma masyarakat) dalam prinsip legalitas KUHP Baru?

Ya, kondisi tumpang tindih inilah yang menurut Barda Nawawi Arief memerlukan kejelasan batas-batas living law dalam prinsip legalitas KUHP Baru agar tidak mengganggu kepastian hukum (Barda Nawawi Arief, 2011, hlm. 67–68). Berdasar uraian tumpang tindihnya norma pada KUHP baru, maka spekulasi pertentangan moral menyangkut dugaan normalisasi seks bebas pada PP 28/2024 tidak bisa disimpulkan sebagai persoalan yang berdiri sendiri. Reaksi publik seharusnya terlebih dahulu memperhatikan dan mempermasalahkan keabsahan zina pada KUHP Baru sebagai peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan umum dibanding UU Kesehatan beserta PP 28/2024 sebagai peraturan pelaksananya. Kondisi ambiguitas ini menuntut harmonisasi hukum setelah praktik penerapan KUHP Baru terkait perzinahan agar timbul kepastian hukum di kemudian hari.

Kompleksitas permasalahan ketiga ialah miss-persepsi subtstansi pengaturan PP Nomor 28 Tahun 2024 yang dianggap penting untuk dibahas. Apakah PP ini benar memiliki fungsi laten untuk mendorong seks bebas di samping fungsi manifes (utama) sebagai penjamin kesehatan reproduksi atau tidak? Jawabannya adalah tidak, PP 28/2024 tidak mendorong seks bebas, namun dugaan itu muncul dari pengembangan spekulasi terhadap Pasal 103 ayat (4) tentang penyediaan alat kontrasepsi melalui asumsi ketika Negara memfasilitasi ketersediaan kontrasepsi bagi anak usia sekolah, maka membuka pintu penggunaan kontrasepsi untuk melakukan praktik hubungan seksual meski belum menikah. Padahal dr. Mohammad Syahril Sp. P, MPH selaku Juru Bicara Kementerian Kesehatan mengklarifikasi bahwa penyediaan kontrasepsi tersebut dimaksudkan peruntukannya bagi anak usia remaja yang terlanjur melakukan pernikahan dini agar dapat  menunda kehamilan dengan alasan ekonomi dan kesehatan (Siti Nadia Tarmizi, 2024).

Secara substansi, PP 28/2024 memang ditujukan untuk optimalisasi upaya kesehatan dan memberi mandat kepada Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah (Pemda) untuk menjaga kualitas, efisiensi, dan keterjangkauan layanan kesehatan sebagaimana dimuat dalam Pasal 2 dan Pasal 3 PP 28/2024 tersebut. Oleh sebab itu, tujuan etis PP 28/2024 ini tidak selayaknya dipertentangkan dengan urusan moral berdasar spekulasi liar yang di luar konteks cakupan pengaturan, justru akibat-akibat perilaku free sex berupa gangguan kesehatan reproduksi itulah yang menjadi spirit preventif PP 28/2024 ini demi menjaga keseimbangan kehidupan bermasyarakat, termasuk persoalan komunikasi dan pemberian informasi serta edukasi dalam bahan pembelajaran, dimana edukasi seksual ini kerap dianggap tabu untuk diberikan.

Contoh ilustrasi lain misalnya kasus kekerasan seksual berdasar Laporan Studi Kuantitatif Barometer Kesetaraan Gender oleh International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), ketika korban salah memilih preferensi moral antara opsi moralitas stigma masyarakat yang menyudutkan korban dan opsi moralitas pentingnya penanganan kesehatan reproduksi pasca kekerasan seksual, maka banyak korban cenderung memilih opsi pertama dan bungkam terhadap yang korban alami dibanding harus terbuka dengan maksud agar cepat ditangani namun harus menanggung justifikasi ‘gagal menjaga kehormatan diri’ yang dibentuk oleh opsi moral agama maupun budaya (Tim Peneliti INFID, 2020, hlm. 46). Akibat pilihan tersebut, dapatkah moral “kewajiban menjaga kehormatan diri” relevan bagi korban kekerasan seksual yang beresiko mengalami gangguan serius terhadap kesehatan reproduksi pasca kejadian? Tentu posisi korban harus netral dari stigma guna penanganan cepat kesehatan pasca peristiwa kekerasan seksual. Pemahaman menyangkut edukasi seksual inilah yang mestinya diberikan secara preventif sebagaimana dimaksud PP 28/2024 sebagai wujud kewajiban negara menjamin kesehatan reproduksi warganya, terlebih pada anak usia sekolah.

Relevansi moral yang tepat mustahil akan bertentangan dengan barikade kemanusiaan dan tujuan etis Islam berupa hifdzun-nafs (menjaga jiwa), pada konteks kasus korban kekerasan seksual di atas dapat dibayangkan bagaimana bila si korban memilih bungkam karena stigma dan standar moral, lalu keselamatan nyawanya turut terancam akibat terlambat penanganan dan minimnya edukasi seksual sejak usia sekolah. Legitimasi moral yang tepat pada kesehatan reproduksi dapat didasari pada pendapat salah seorang Mufti Mesir periode 2003, Dr.. Ali Jum’ah. Beliau mengungkap bahwa pendidikan seksual dan pelayanan kesehatan reproduksi tidak bertentangan dengan ajaran Islam, selama disampaikan dalam kerangka moral dan etika Islam, karena Islam menekankan pentingnya kesehatan fisik dan rohani (Ali Gomaa, 2017). Begitu pula karya  Fiqh Al-Awlawiyyat oleh Yusuf Qordhowi, bahwa isu-isu seperti stigma sosial terkait kehormatan perempuan tidak boleh menghalangi upaya penyelamatan dan perawatan korban (Yusuf al-Qaradawi, 1995), lantas edukasi seksual dan akses terhadap layanan kesehatan reproduksi merupakan bagian dari usaha memenuhi kebutuhan prioritas ini Berdasar relevansi kedua pendapat ini, seyogyanya tidak ada lagi perdebatan moral terhadap PP 28/2024, justru PP ini harus konsisten dikawal publik agar pemerintah serius menjamin hak konstitusional warga negaranya berupa fasilitasi layanan kesehatan yang prima.

DAFTAR PUSTAKA

Ali Gomaa. (2017). Questions on Islam. Fons Vitae Publishing.

Barda Nawawi Arief. (2011). Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Prenada Media Group.

Magnis-Suseno, F. (1991). Etika Jawa. Gramedia.

Mulia, S. M. (2010). Islam, Agama Rahmat bagi Alam Semesta. Mizan.

Siti Nadia Tarmizi. (2024, Agustus 6). Alat Kontrasepsi Hanya untuk Pasangan yang Sudah Menikah [Post]. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. https://kemkes.go.id/id/alat-kontrasepsi-hanya-untuk-pasangan-yang-sudah-menikah

Tim Peneliti INFID. (2020). LAPORAN STUDI KUANTITATIF BAROMETER KESETARAAN GENDER Respons dan Sikap Masyarakat terhadap Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. International NGO Forum on Indonesian Development (INFID).

Yusuf al-Qaradawi. (1995). Fiqh Al-Awlawiyyat. Muʾassasat al-Risālah.

 

*) Penulis adalah  Maulana Alif Rasyidi , lulusan S-1- Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Jember.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kabarbaru.co

Kabarbaru Network

https://beritabaru.co/

About Our Kabarbaru.co

Kabarbaru.co menyajikan berita aktual dan inspiratif dari sudut pandang berbaik sangka serta terverifikasi dari sumber yang tepat.

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store