Tantangan Digital Dalam Melestarikan Budaya Indonesia

Editor: Ahmad Arsyad
Kabar Baru, Opini – Hingga kini, setidaknya sudah tiga tahap evolusi kebudayaan yang dialami manusia; tahap kebudayaan lisan, kebudayaan tulisan ,dan kebudayaan digital. Dalam konteks kebudayaan digital selain sifatnya yang nir-kertas (Paperless) itu, daya jangkaunya juga nirbatas (Borderless).
Oleh karena itu, dalam hal melestarikan budaya di era kebudayaan digital tentu berbeda dari dua zaman sebelumnya. Setidaknya ada persoalan besar yang melatarbelakangi perbedaan ini selain karena faktor inovasi yang mengharuskan kita beradaptasi dengan kebaruan.
Ada juga faktor pengaruh yang berdampak terhadap keterasingan manusia Indonesia dari kebudayaannya, Baik yang bersifat nilai, ritus atau ekspresi artistik lainnya.
Meskipun keterasingan terhadap kebudayaan sudah ada sejak era kolonial, dimana kebudayaan barat menempatkan kebudayaan kita sebagai yang objek perlu diperadabkan menurut cita rasa mereka namun hujaman teknologi jauh lebih parah menghasilkan keterasingan ketimbang intervensi kekuatan kolonial
Oleh karena itu, sebagai generasi Muda yang diharapkan meraih keemasan di era 2045 nanti tidak ada cara lain selain ikut serta untuk mengatasi keterasingan kita terhadap kebudayaan nasional dengan cara ikut serta dalam upaya-upaya memajukan kebudayaan nasional itu sendiri yang sudah ditegaskan arahnya di bab xiii UUD 1945 pasal 32 yang menyatakan “Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan, dengan tidak menolak bahan baru dari kebudayaan asing yg dapat mengembangkan dan memperkaya kebudyaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia”.
Lalu bagaimana caranya generasi muda untuk turut serta dalam upaya memajukan kebudayaan di era digital ?
Tiga peran generasi muda dalam melestarikan budaya
Karl Manheim dalam bukunya Diagnosis of our times (1992) menuliskan jika kaum muda merupakan asset yang paling berpotensi menjaga sekaligus menghapus apa yang telah ada sebelumnya. Oleh karena itu, wajar,jika generasi sebelumnya menaruh harapan terhadap generasi muda untuk melestarikan warisan kebudayan nasional, baik dalam bentuk nilai, ritus atau ekspresi artistik.
Setidaknya ada tiga peran yang dapat dijalankan oleh generasi muda untuk melestarikan budaya di era digital, peran yang pertama menyangkut perubahan paradigma dalam memahami krisis dalam konteks kebudayaan.
Pak Sapardi djoko darmono dalam essay berjudul catatan ringkas tentang krisis kebudayaan di tahun 2013 silam yang menekankan perubahan paradigma dalam merespon krisis kebudayaan dari persoalan budaya krisis menuju krisis akan budaya karena kalau kita terjebak pada yang pertama maka prosesnya hanya sebatas agenda-agenda populis tanpa adanya pendalaman terhadap kebudayaan itu sendiri.
Yang kedua, peran yang menyangkut inisiatif untuk berkaloborasi secara aktif dan kreatif untuk menciptakan kekuatan pelestarian budaya yang membumi dan berkelanjutan.
Untuk yang kedua ini saya cermati ada banyak gerakan-gerakan alternatif yang dibangun oleh anak-anak muda untuk melestarikan kebudayaan di tempat mereka, baik dalam bentuk artistik yang disesuikan dengan perkembangan zaman maupun dalam filosofis yang mulai menggali kembali kekayaan khazanah pengetahuan kebuayaan dinusantara secara medalam.
Dan peran yang ketiga, seputar menjadi agen moral yang merevitalisasi kebudayaan dari segi nilai-nilai yang mulai dilupakan tanpa menegasi perkembangan zaman. Disini perlu adanya kesadaran terhadap pentingnya kepribadian nasional bukan hanya sebatas identitas yang tertulis namun prinsip dan pengetahuan yang mengakar didalam diri yang mendaku masih bagian dari manusia-manusia Indonesia
Ketiga peran tadi harus berjalan beriringan dengan melibatkan pemerintah maupun komponen kebudayaan lainnya termasuk masyarakat adat atau lembaga-lembaga agama didalamnya.
Tujuan akhir dari melestarikan kebudayan nasional haruslah melampuai sebatas seremonial atau karya tulis ilmiah yang tersimpan di rak-rak buku namun harus mengarah pada penegasan terhadap kedaulatan diri secara simbolik, penguatan terhadap kohesi sosial ditengah ancaman polarisasi, dan penmberdayaan komunitas ditengah gelombang distrupsi.
*Penulis adalah Mansurni Abadi, Postgraduate philosophy student of Avondale University Australia.