RUU Sisdiknas dan Tantangan Pendidikan Pesantren: PB IKA PMII Gelar FGD Nasional Bahas Ancaman Sentralisasi

Jurnalis: Ramdani
Kabar Baru, Jakarta – Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) kembali menjadi sorotan publik. Pengurus Besar Ikatan Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB IKA PMII) menilai, draf regulasi ini berpotensi mereduksi peran pesantren dalam sistem pendidikan nasional yang selama ini bersifat multikultural dan berbasis nilai.
Menanggapi hal tersebut, PB IKA PMII akan menggelar Seminar Nasional dan Focused Group Discussion (FGD) bertajuk “Meneguhkan Posisi Pesantren di Tengah Sentralisasi Pendidikan dalam RUU Sisdiknas”, yang akan berlangsung pada 12–13 Mei 2025 di Hotel Luminor Pecenongan, Jakarta Pusat.
Forum ini akan menghadirkan berbagai narasumber dari unsur DPR RI, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Kementerian Agama, tokoh pesantren, akademisi, hingga perwakilan masyarakat sipil.
Ketua Umum PB IKA PMII, Fathan Subchi, menegaskan pentingnya keterlibatan aktif pesantren dalam proses legislasi sistem pendidikan nasional. Menurutnya, penyusunan RUU Sisdiknas yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025 seharusnya tidak hanya berorientasi pada penyatuan regulasi, melainkan juga menghormati keberagaman lembaga pendidikan, termasuk pesantren.
“Pesantren adalah bagian integral dari sistem pendidikan nasional yang tumbuh dari kearifan lokal dan semangat gotong royong. Upaya sentralisasi yang terlalu teknokratik justru berpotensi mengikis nilai-nilai khas pesantren seperti tafaqquh fiddin dan penguatan akhlak santri,” ujar Fathan.
Saat ini, sistem pendidikan nasional diatur oleh berbagai perundangan seperti UU Sisdiknas 2003, UU Guru dan Dosen, UU Pendidikan Tinggi, dan UU Pesantren. Banyaknya regulasi tersebut seringkali menimbulkan tumpang tindih kewenangan dan ketidakpastian hukum. RUU Sisdiknas diharapkan mampu menyatukan aturan-aturan ini ke dalam satu payung hukum. Namun PB IKA PMII mengingatkan bahwa langkah ini harus dilakukan dengan tetap mengakomodasi keragaman sistem pendidikan, termasuk sistem pesantren.
Beberapa tantangan yang diidentifikasi PB IKA PMII terkait RUU ini antara lain:
* Hilangnya kurikulum khas pesantren;
* Beban administratif seperti akreditasi dan pelaporan;
* Keterbatasan SDM pesantren dalam memenuhi standar formal nasional.
Menurut PB IKA PMII, proses penyusunan RUU ini masih terkesan elitis dan belum menyentuh realitas pendidikan berbasis nilai seperti di pesantren. Partisipasi komunitas pesantren dinilai masih minim, padahal keterlibatan publik adalah prinsip utama dalam demokrasi.
“Pendidikan bukan milik negara semata, melainkan hasil kerja kolektif seluruh elemen masyarakat. Oleh karena itu, suara pesantren harus hadir dalam setiap tahapan penyusunan RUU, mulai dari naskah akademik, perumusan pasal-pasal, hingga proses evaluasi,” tegas Fathan.
FGD ini akan mempertemukan Komisi X dan VIII DPR RI, pakar pendidikan, tokoh pesantren, serta akademisi dari berbagai latar belakang untuk membahas beberapa isu strategis, antara lain:
* Evaluasi naskah akademik RUU Sisdiknas;
* Ancaman homogenisasi kurikulum terhadap keberadaan pesantren;
* Strategi advokasi legislasi berbasis nilai keislaman;
* Hak dan kewajiban pesantren dalam sistem pendidikan nasional;
* Model partisipasi bermakna komunitas pesantren dalam penyusunan kebijakan.
Pesantren telah memainkan peran historis dalam perjuangan kemerdekaan, pembentukan karakter bangsa, dan penanaman nilai-nilai keagamaan. Dalam konteks ini, memperkuat posisi pesantren berarti menjaga identitas Indonesia sebagai bangsa yang beragam.
PB IKA PMII menegaskan bahwa modernisasi pendidikan tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan akar budaya dan tradisi pesantren. Sebaliknya, regulasi pendidikan harus menjadi instrumen untuk memperkuat kekayaan lokal dan keberagaman nilai.
Seminar dan FGD ini menjadi bentuk komitmen PB IKA PMII dalam memperjuangkan sistem pendidikan nasional yang inklusif, adil, dan menghargai pluralitas. Pesantren harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proses pembangunan kebijakan pendidikan nasional agar sistem yang dihasilkan tidak hanya efisien secara teknis, tetapi juga kaya secara spiritual dan nilai.
“RUU Sisdiknas harus mampu menjawab tantangan zaman tanpa menghilangkan warisan pesantren. Pendidikan adalah hak semua, dan harus dibangun di atas fondasi nilai, keadilan, dan partisipasi masyarakat,” pungkas Fathan.