Revitalisasi Aturan Keimigrasian: Penguatan Regulasi dan Keamanan Negara

Editor: Ahmad Arsyad
Kabar Baru, Opini – Pada 19 September 2024, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia akhirnya mengesahkan revisi Undang-Undang Keimigrasian yang kini dikenal dengan Undang-Undang Nomor 63 Tahun 2024. Revisi ini tak hanya sekadar pembaruan regulasi, melainkan sebuah langkah penting dalam menyeimbangkan pengaturan imigrasi dengan perlindungan hak asasi manusia. Perubahan-perubahan yang tercakup di dalamnya menjanjikan lebih banyak kepastian hukum dan keamanan bagi negara, serta berupaya memperbaiki celah-celah yang sebelumnya dianggap merugikan warga negara.
Salah satu alasan utama di balik revisi ini adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang sudah dikeluarkan lebih dari satu dekade lalu, yakni putusan Nomor 40/PUU-IX/2011 dan 64/PUU-IX/2011. Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa beberapa ketentuan dalam UU Keimigrasian bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya terkait dengan kebebasan bergerak. Namun, meskipun sudah ada putusan tersebut, revisi UU Keimigrasian baru terwujud pada 2024—waktu yang cukup panjang untuk merespons tuntutan tersebut.
Peningkatan Pengawasan dan Keamanan Negara
Indonesia adalah negara kepulauan dengan perbatasan yang sangat luas dan strategis. Oleh karena itu, salah satu perubahan penting yang tercantum dalam revisi ini adalah peningkatan kewenangan pejabat imigrasi dalam pengamanan perbatasan. Pasal baru ini memberikan hak bagi pejabat imigrasi untuk dilengkapi dengan senjata api dalam rangka menegakkan hukum dan menjaga keamanan negara. Meskipun bisa menimbulkan pro dan kontra, langkah ini dianggap perlu untuk menghadapi ancaman kejahatan lintas negara yang semakin kompleks. Namun, tentunya kewenangan ini harus dilaksanakan dengan hati-hati dan diatur dengan ketat untuk menghindari penyalahgunaan.
Perubahan ini tercantum dalam Pasal 3 ayat (4) yang menyatakan bahwa pejabat imigrasi tertentu dapat dilengkapi dengan senjata api dalam rangka melaksanakan fungsi keimigrasian di bidang penegakan hukum dan keamanan negara. Kebijakan ini diambil dengan mempertimbangkan kompleksitas dan tantangan yang dihadapi Indonesia dalam mengamankan perbatasan yang sangat luas, sekaligus untuk melindungi petugas dari situasi berisiko tinggi.
Kasus penculikan terhadap WNA Ukraina yang terjadi di Bali menunjukkan pentingnya pengawasan yang lebih ketat terhadap orang asing yang berada di Indonesia, khususnya di kawasan yang banyak dikunjungi turis. Penculikan tersebut menyoroti celah dalam pengawasan terhadap orang asing dan memberikan gambaran tentang pentingnya peningkatan koordinasi antara instansi terkait, seperti imigrasi dan kepolisian. Dalam hal ini, Pasal 72 ayat (1), (2), dan (3) yang mengatur kewenangan pejabat imigrasi dan kepolisian untuk berkoordinasi dan meminta keterangan terkait data orang asing yang tinggal atau menginap di Indonesia menjadi sangat relevan. Koordinasi yang lebih baik antara imigrasi dan kepolisian dapat mempercepat penanganan insiden dan memperkuat sistem keamanan negara.
Selain itu, beberapa kejadian kerusuhan yang melibatkan WNA di Bali juga menjadi bukti bahwa pengawasan terhadap perilaku orang asing di tempat-tempat wisata sangat penting. Misalnya, beberapa kerusuhan yang dipicu oleh oknum WNA di Bali, yang merusak citra Indonesia sebagai destinasi wisata yang aman, mengindikasikan perlunya penanganan yang lebih ketat. Pasal 102 ayat (1) tentang penangkalan menjadi sangat relevan dalam konteks ini. Penangkalan adalah upaya untuk melarang orang asing yang berperilaku buruk atau merusak ketertiban untuk masuk kembali ke Indonesia.
Pasal 102 ayat (1) menetapkan bahwa penangkalan terhadap orang asing yang dilarang masuk ke Indonesia dapat diberlakukan maksimal selama 10 tahun, dan dapat diperpanjang maksimal 10 tahun lagi. Ini berarti jika seorang WNA terlibat dalam kerusuhan atau tindakan yang merusak citra negara, mereka dapat dikenakan penangkalan yang bersifat jangka Panjang, bahkan permanen. Ketentuan ini sangat penting untuk memastikan bahwa tindakan tegas dapat diambil terhadap orang asing yang mengganggu ketertiban umum atau menyalahi hukum, sekaligus memberi efek jera.
Isu Hak Asasi Manusia dalam Pembatasan Kewenangan Penolakan Keluar Negeri
Salah satu poin yang menarik dalam revisi ini adalah pembatasan kewenangan pejabat imigrasi dalam menolak seseorang keluar negeri. Sebelumnya, penolakan bisa dilakukan pada tahap penyelidikan, yang rentan disalahgunakan. Kini, penolakan hanya bisa dilakukan pada tahap penyidikan dan penuntutan, memberikan kejelasan dan perlindungan lebih bagi hak asasi individu. Dengan begitu, kebebasan bergerak warga negara lebih terlindungi, tanpa adanya penahanan sewenang-wenang yang tak memiliki dasar hukum yang jelas.
Revisi ini tercermin dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b, yang menyatakan bahwa penolakan keluar negeri kini hanya dapat dilakukan untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan atas permintaan pejabat yang berwenang. Sebelumnya, penolakan dapat dilakukan pada tahap penyelidikan, yang lebih bersifat awal dan belum tentu diteruskan proses hukumnya. Dengan penghapusan frasa “penyelidikan dan”, kini ada batasan yang lebih jelas yang melindungi kebebasan bergerak warga negara.
Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Warga Negara
Tak hanya untuk orang asing, revisi ini juga memberikan perlindungan lebih bagi warga negara Indonesia. Salah satu perubahan penting adalah penegasan bahwa dokumen perjalanan yang diterbitkan negara, seperti paspor, adalah bukti sah kewarganegaraan. Hal ini tidak hanya memberikan kepastian hukum, tetapi juga memperlancar proses administrasi, baik di dalam negeri maupun saat berada di luar negeri.
Revisi ini tercantum dalam Pasal 24A, yang menyatakan bahwa dokumen perjalanan yang diterbitkan pemerintah, seperti paspor dan SPLP, merupakan dokumen negara yang menjadi bukti sah kewarganegaraan Indonesia. Ini memberikan perlindungan hukum yang lebih kuat bagi WNI baik di dalam negeri maupun saat bepergian ke luar negeri.
Penyederhanaan Administrasi Keimigrasian
Selain soal pengawasan, revisi ini juga menyentuh aspek administrasi yang cukup krusial, terutama bagi orang asing yang tinggal di Indonesia. Salah satunya adalah penyelarasan masa berlaku izin masuk kembali dengan izin tinggal tetap (ITAP). Hal ini bertujuan untuk mempermudah administrasi tanpa menambah beban bagi warga asing yang telah memiliki izin tinggal, sekaligus memberi kejelasan tentang durasi tinggal dan izin masuk mereka.
Perubahan ini dapat ditemukan dalam Pasal 64 ayat (3) yang menyatakan bahwa masa berlaku izin masuk kembali bagi pemegang Izin Tinggal Tetap (ITAP) kini disesuaikan dengan masa berlaku ITAP yang dimiliki oleh orang asing tersebut. Dengan penyelarasan ini, pemegang ITAP tidak perlu lagi mengurus izin masuk kembali secara terpisah, yang tentunya menyederhanakan proses administrasi.
Pembatasan Masa Pencegahan Keluar Negeri
Dalam revisi ini, juga terdapat perubahan yang mengatur kepastian hukum terkait masa pencegahan keluar negeri. Sebelumnya, pencegahan keluar negeri bisa diperpanjang setiap kali selama enam bulan tanpa batasan waktu yang jelas. Kini, Pasal 97 ayat (1) mengatur bahwa jangka waktu pencegahan keluar negeri hanya berlaku selama paling lama enam bulan, dan perpanjangannya hanya bisa dilakukan sekali dengan durasi yang sama.
Dengan perubahan ini, pemerintah memberikan kepastian hukum bagi individu yang dikenai larangan untuk keluar negeri. Pembatasan ini memastikan bahwa pencegahan dilakukan secara proporsional dan tidak berlarut-larut tanpa batas waktu yang jelas, sehingga melindungi hak asasi individu untuk bepergian.
Pendanaan untuk Pelaksanaan Fungsi Keimigrasian
Selain perubahan-perubahan yang bersifat regulasi dan kebijakan, revisi ini juga menyentuh soal sumber pendanaan untuk menjalankan fungsi keimigrasian. Pasal 137 ayat (1) huruf b menambahkan aturan tentang sumber dana lain yang sah untuk mendukung operasional keimigrasian, di luar anggaran negara (APBN), seperti hibah atau kerja sama internasional.
Penambahan sumber pendanaan alternatif ini diharapkan dapat meningkatkan fleksibilitas dan responsivitas dalam melaksanakan berbagai kegiatan keimigrasian, termasuk pengawasan, pengamanan perbatasan, dan pelayanan administrasi. Dengan tambahan dana ini, pemerintah diharapkan dapat meningkatkan infrastruktur dan teknologi yang diperlukan untuk mendukung pengelolaan arus masuk dan keluar orang di Indonesia.
Tantangan dan Harapan ke Depan
Namun, tentunya perubahan ini harus diikuti dengan penerapan yang transparan dan akuntabel. Pemerintah perlu memastikan bahwa revisi ini dapat dilaksanakan dengan benar di lapangan, termasuk dengan membuat aturan turunan yang segera diterapkan agar tidak terjadi kerancuan di tingkat pelaksana. Tanpa aturan yang jelas dan segera disosialisasikan, bisa terjadi ketidakpastian yang akan menyulitkan pelaksanaan hukum yang konsisten. Perlu segera diatur cara koordinasi antarinstansi yang lebih baik untuk meningkatkan keamanan negara dan juga agar tidak ada celah yang bisa dimanfaatkan untuk penyalahgunaan kewenangan.
Selain itu, untuk menghindari kejadian seperti pemerasan terhadap WNA Malaysia selama Djakarta Warehouse Project (DWP) dan WNA Cina di Bandara Soekarno-Hatta, penting bagi pemerintah untuk membangun infrastruktur digital yang memadai. Kejadian ini menjadi contoh nyata bahwa pengawasan terhadap petugas imigrasi dan pengelolaan data orang asing harus diperkuat. Infrastruktur digital yang transparan dan dapat dipantau secara real-time akan membantu menanggulangi praktik-praktik tidak terpuji seperti pemerasan, serta memastikan pelayanan keimigrasian terhadap WNA berjalan dengan relatif lebih cepat.
Revisi UU Keimigrasian ini merupakan langkah positif dalam upaya membangun sistem keimigrasian yang lebih baik dan sesuai dengan kebutuhan zaman. Namun, untuk mewujudkan tujuan ini, dibutuhkan komitmen bersama dari pemerintah, lembaga terkait, dan masyarakat untuk mengawasi serta memastikan pelaksanaannya dijalankan dengan benar.
*) Penulis adalah Muhammad Aga Sekamdo, Dosen STIA Madani Klaten, sekaligus Dewan Pengawas Kolaborasi Pemuda Indonesia (KOPI).