Ikhtiar Melestarikan Bahasa Madura
Editor: Ahmad Arsyad
KABARBARU, OPINI- Tentunya kita mafhum bahwa Madura bukan sekadar nama sebuah pulau. Lebih dari itu, Madura identik dengan keragaman budaya yang unik, estetik, dan sepertinya tiada duanya di muka bumi ini. Kebanggaan ini, tidak serta merta muncul sebab saya sendiri bergelar MA: Madura Asli. Catatan ini bukan berarti saya memandang rendah budaya lain dari luar Madura. Tidak, bukan itu tujuannya. Saya mencatat secuil tentang Madura selain sebagai ekspresi kebanggaan, juga sebagai ikhtiar saya melestarikan keanekaragaman budaya Madura. Salah satunya yaitu dengan Ikhtiar Melestarikan Bahasa Madura. Sebab, saya sendiri melihat, sebagian anak-anak muda asli Madura mulai enggan menggunakan bahasa ibu dalam percakapan sehari-hari. Entah karena merasa malu, atau memang lebih senang berbahasa Indonesia, entahlah. Sebab, mereka yang bercakap-cakap itu adalah sama-sama orang Madura.
Bukankah keakraban bisa terbangun ketika sesama orang Madura berkomunikasi menggunakan bahasa Madura. Lebih-lebih ketika berada di tanah rantau. Biasanya, ketika bertemu sesama orang Madura, mereka seperti saudara lama yang tidak bertemu. Seperti tretan dhibi’ (saudara sendiri). Sebagai putra-putri Madura, kita tidak boleh merasa inferior dengan bahasa ibu yang kita miliki. Justru ini adalah kebanggaan kita sebagai asli Madura. Menggunakan bahasa Madura adalah bukti konkret kita mengapresiasi budaya lokal. Sebagai cara untuk menunjukkan identitas kita sebagai bagian dari suku Madura. Terutama anak-anak muda Madura. Mereka memiliki peran untuk terus melestarikan bahasa Madura. Sebab, jika anak-anak mudanya abai atau enggan untuk menggunakannya. Bisa jadi bahasa Madura akan punah dan hanya tinggal sejarahnya saja.
Saya tidak mau hal itu terjadi. Sebab, bahasa Madura adalah warisan leluhur. Bagian dari kekayaan bangsa Indonesia. Jika punah, maka otomatis bisa dikatakan kita gagal melestarikan kekayaan bangsa. Padahal, UNESCO pun juga mewanti-wanti agar bahasa daerah gencar dipromosikan. Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB itu, pada tahun 2009, juga telah menetapkan tanggal 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional. Hal tersebut dalam rangka mempromosikan bahasa daerah, pemahaman mulitikulturalisme dan multilingualisme. Tanggal tersebut dipilih untuk memperingati unjuk rasa mahasiswa Bengali dari Universitas Dhaka dan masyarakat umum pada tahun 1952. Saat itu, Bandladesh menajdi bagian dari Pakistan. Mereka berdemonstrasi dalam rangka memperjuangkan bahasa Bengali, bahasa tradisional mereka di Pakistan. Sebab, pemerintah kala itu hanya menetapkan bahasa Urdu sebagai satu-satunya bahasa resmi Pakistan.
Dari peristiwa di atas, kita bisa melihat bahwa publik internasional pun mengakui keberadaan bahasa tradisional atau bahasa daerah di masing-masing negara. Selain itu, kita juga bisa belajar bahwa pernah ada sekeompok masyarakat yang rela mati-matian untuk memperjuangkan bahasa daerahnya agar diakui oleh negaranya. Kita sebagai warga Indonesia patut bersyukur kejadian semacam itu tidak terjadi di negara ini. Sebab, bahasa daerah yang ada di negara ini dapat hidup berdampingan dengan bahasa nasional. Termasuk bahasa Madura di dalamnya.
Kelestarian bahasa Madura sebenarnya bergantung pada kesetiaa penuturnya. Sejauh mana ia membiasakan diri menggunakan bahasa Madura. Jika kesetiaan penuturnya lemah, bukan tidak mungkin bahasa Madura akan semakin tergerus. Hal tersebut dikuatkan oleh kajian yang pernah dikeluarkan oleh harian KOMPAS yang pernah menyebutkan bahwa kondisi bahasa daerah di Indonesia mengalami degradasi dan ancaman kepunahan.
Bahasa Madura sendiri termasuk bahasa daerah dengan jumlah penutur terbanyak di Indonesia. Sebab itu, kondisi semacam ini menjadi kekuatan dan potensi kelestarian bahasa Madura. Mengutip buku karangan Dr. Kadarisman Sastrodiwirjo, M.Si, yang berjudul Konye’ Ghunong: Persepektif Budaya dalam Pemerintahan, disebutkan bahwa sekitar 10 juta orang yang menjadi penutur bahasa Madura. Empat juta berada di Madura dan kepulauan. Selebihnya, tersebar di Jawa Timur bagian tengah dan timur, Yogyakarta, Bogor, Bandung, Jakarta, dan wilayah luar Jawa, utamanya Kalimantan.
Dalam bukunya tersebut, mantan wakil bupati Pamekasan tersebut juga memaparkan bahwa dalam melestarikan bahasa Madura, diperlukan peran tiga unsur. Di antaranya; pertama yaitu unsur pemerintah termasuk Balai Bahasa Jawa Timur termasuk Bakorwil dan Pemerintah kabupaten/kota baik yang ada di Madura maupun luar Madura yang penduduknya mayoritas orang Madura seperti Jember, Probolinggo, Lumahang, Pasuruan, Malang. Kedua, unsur fungsional, seperti lembaga pendidikan dan pera penduduk termasuk pondok pesantren, akademisi dan perguruan tinggi, pengusaha/dunia usaha serta pers dan media massa. Ketiga, unsur kultural, yaitu masyarakat /keluarga dan tokoh sastrawan dan budayawan, ulama/mubaligh, utamanya pimpinan pondok pesantren.
Ketiga unsur tersebut menurut Pak Dadang (panggilan akarab Dr. Kadarisman) memiliki peran dan fungsinya masing-masing. Seperti halnya Balai Bahasa Jawa Timur yang memiliki peran dalam menetapkan kebijakan dan arah pengembangan bahasa Madura, sertta mengadakan penelitian dan pengkajian terkait bahasa Madura. Begitu pula dengan unsur-unsur lainnya yang pastinya bisa mempromosikan bahasa Madura di tengah masyarakat semakin dilestarikan.
Saya pribadi juga berharap agar generasi muda Madura bisa berkontribusi aktif dalam melestarikan dan mengembangkan bahasa Madura. Mulai dari hal yang terkecil yaitu dengan membiasakan diri berkomunikasi memakai bahasa Madura meskipun berada di luar kota. Dengan catatan, itu sesama punutur bahasa Madura tentunya. Jangan pernah merasa malu terhadap bahasa Madura. Kita harussnya bangga memiliki kekayaan lokal yang masih eksis. Tidak hanya itu, generasi muda bisa juga aktif mempromosikan bahasa Madura lewat jejaring sosial yang dimilikinya seperti Facebook, Twitter, Instagram, Youtube, dan semacamnya. Saya yakin, jika anak-anak muda Madura peduli terhadap kelestarian bahasa Madura, insya Allah, bahasa terebut akan tetap lestari.
Desa Klampar, Pamekasan
Sabtu, 5 Maret 2022
16.31 WIB.
*) Penulis adalah Muhammad Aufal Fresky, Mahasiswa Program Studi Magister Administrasi Bisnis Universitas Brawijaya, sekaligus penulis buku Empat Titik Lima Dimensi.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kabarbaru.co