Percayakan Penanganan Kasus Pembunuhan Mata Elang Pada Polisi

Editor: Khansa Nadira
Kabar Baru, Opini — Menjelang akhir tahun 2025, Jakarta sebagai ibu kota negara yang menjadi barometer bagi daerah-daerah lain di Indonesia, masih menghadapi berbagai potensi gangguan keamanan.
Maraknya aksi demonstrasi, seperti tuntutan dari Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI), peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia, serta demo mahasiswa yang menuntut Menteri Kehutanan, menunjukkan dinamika sosial yang tinggi.
Di tengah situasi ini, peristiwa tragis terjadi pada Kamis, 11 Desember 2025, di wilayah Kalibata, Jakarta Selatan, yang berujung pada kerusuhan hingga malam hari.
Insiden ini dimulai dari pengeroyokan terhadap dua anggota Mata Elang (Matel), sebuah kelompok yang sering terlibat dalam penagihan hutang kendaraan.
Satu korban meninggal di tempat kejadian perkara (TKP), sementara yang lain menghembuskan napas terakhir di rumah sakit.
Peristiwa ini bermula ketika Matel menghentikan seorang pengendara motor yang diduga menunggak angsuran, namun tiba-tiba lima orang turun dari mobil di belakang dan mengeroyok mereka, menyeret korban ke pinggir jalan.
Peristiwa ini tidak berhenti di situ. Solidaritas dari rekan-rekan Matel yang mendatangi TKP memicu bentrok antar kelompok, yang kemudian meluas menjadi pembakaran di beberapa titik.
Dampaknya, gangguan keamanan meluas, mengganggu ketertiban umum di area tersebut. Sebagai pemerhati sosial politik, saya melihat ini sebagai sinyal bahaya yang harus segera ditangani secara profesional.
Jika tidak, konflik semacam ini berpotensi menyebar dan meluas ke daerah lain, mengingat Jakarta adalah tempat berkumpulnya multi etnis pemuda dari berbagai daerah di Indonesia.
Kita tidak ingin mengulangi tragedi seperti peristiwa Ketapang di Jakarta Pusat pada tahun 1998, di mana konflik yang awalnya lokal antara sekelompok pemuda Ambon dan warga setempat eskalasi menjadi kerusuhan berdarah.
Hal ini bisa memicu konflik horizontal di Ambon dan daerah-daerah lain, menyebabkan belasan korban jiwa dan penghancuran fasilitas umum seperti gereja dan sekolah.
Untuk memahami risiko ini secara lebih mendalam, kita dapat merujuk pada teori eskalasi konflik sosial, khususnya model yang dikembangkan oleh Friedrich Glasl.
Teori ini menggambarkan eskalasi konflik sebagai proses bertahap yang terdiri dari sembilan tingkatan, mulai dari ketegangan awal (hardening of positions) hingga tahap akhir berupa perang total (together into the abyss), di mana pihak-pihak terlibat kehilangan kendali dan konflik menjadi destruktif secara massal.
Dalam konteks insiden Kalibata, tahap awal terlihat dari perubahan internal pihak yang berkonflik—seperti solidaritas kelompok Matel—dan keterlibatan pihak lain yang memperburuk situasi, sebagaimana dijelaskan dalam teori eskalasi konflik yang menekankan bahwa perubahan hubungan antar pihak dapat mempercepat peningkatan agresi hingga mencapai kekerasan fisik.
Teori ini juga selaras dengan pendekatan Ramsbotham, yang menyatakan bahwa konflik bersifat dinamis, bisa naik (eskalasi) atau turun (de-eskalasi), dan sering kali dari bentuk laten menjadi manifest jika tidak ditangani.
Selain itu, teori konflik sosial dari Ralf Dahrendorf menambahkan bahwa masyarakat selalu berada dalam proses perubahan yang disertai pertikaian, di mana ketidakadilan atau persepsi ketidakadilan—seperti dalam kasus penagihan hutang—dapat menjadi pemicu.
Dalam perspektif ini, penanganan kasus pembunuhan anggota Matel harus sepenuhnya diserahkan kepada kepolisian sebagai institusi yang berwenang.
Semua pihak, termasuk kelompok Matel dan masyarakat sekitar, mesti menahan diri dari aksi balas dendam atau vigilante justice, yang justru akan mempercepat eskalasi seperti dalam model Glasl.
De-eskalasi konflik, sebagaimana diuraikan dalam teori Steinberg dan Miller, melibatkan strategi untuk mencegah peningkatan konflik melalui intervensi pihak ketiga yang netral, seperti aparat hukum.
Dengan menyerahkan penyelidikan dan penindakan pelaku kepada polisi, kita dapat mencegah konflik horizontal yang meluas, sebagaimana terjadi di Ketapang 1998, dan menjaga stabilitas sosial di Jakarta yang multi etnis.
Pada akhirnya, mari kita jaga bersama kondusifitas Jakarta secara khusus dan Indonesia secara umum. Percayakan proses hukum kepada polisi untuk mencari dan menindak pelaku pengeroyokan yang menyebabkan kematian ini.
Hanya dengan pendekatan rasional dan institusional, kita dapat mencegah tragedi masa lalu terulang, serta membangun masyarakat yang lebih aman dan harmonis menjelang akhir tahun ini.
*Penulis adalah Surya Fermana, Pemerhati Sosial Politik.
Insight NTB
Suara Time
Kabar Tren
IDN Vox
Portal Demokrasi
Lens IDN
Seedbacklink







