Para Suami Jadi Pelaku Mayoritas Kasus KDRT di Jakarta Timur

Jurnalis: Rifan Anshory

Kabar Baru, Jakarta Timur — Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) masih menjadi salah satu pemicu perceraian di Jakarta Timur, DKI Jakarta.

Data Pengadilan Agama (PA) setempat mencatat, jumlah perkara dengan alasan KDRT berfluktuasi sepanjang 2023 hingga pertengahan Oktober 2025.

Panitera Muda Hukum PA Jakarta Timur, Hisni Mubarok, mengatakan meski jumlahnya kecil, KDRT tetap menjadi isu penting yang perlu diwaspadai.

“Pada tahun 2023, kita mencatat adanya 11 perkara perceraian yang disebabkan oleh KDRT, kemudian pada tahun 2024 datanya meningkat menjadi 14 perkara. Namun, hingga pertengahan Oktober 2025, terjadi penurunan jumlah kasus KDRT yang dilaporkan menjadi 8 perkara,” ujar Hisni Mubarok pada Senin (10/11)

Meski demikian, KDRT jauh di bawah faktor dominan perceraian, yakni perselisihan atau pertengkaran terus-menerus, yang mencapai ribuan kasus setiap tahun. Misalnya, pertengkaran terus-menerus tercatat 3.732 perkara pada 2023, 2.898 pada 2024, dan 3.170 hingga pertengahan 2025.

Pola pengajuan cerai juga konsisten: mayoritas diajukan pihak istri (cerai gugat). Tahun 2023, dari 4.410 perkara, 3.354 diajukan istri; tahun 2024, 2.495 dari 3.336; dan tahun 2025, 2.524 dari 3.240 perkara.

Selain KDRT fisik, kekerasan non-fisik seperti kekerasan verbal juga menjadi alasan kuat perceraian. Dalam proses perceraian, hak asuh anak paling banyak diberikan kepada istri.

Data menunjukkan perceraian umumnya terjadi pada pernikahan yang sudah matang, rata-rata 11–12 tahun, menandakan masalah KDRT biasanya muncul setelah lama hidup bersama, bukan pada pernikahan dini.

“Rata-rata pasangan yang bercerai itu sudah menikah cukup lama, yaitu sekitar 11 sampai 12 tahun. Ini berarti, kasus KDRT yang memicu perceraian bukan terjadi pada pernikahan yang masih baru, tapi seringkali merupakan puncak dari masalah yang menumpuk setelah mereka hidup bersama lebih dari satu dekade,” tandasnya. (Magang/Maria Helena)