Meningkatnya Bullying Verbal, Ancaman Bagi Kesehatan Mental Pekerja Indonesia
Editor: Bahiyyah Azzahra
Kabar Baru, Opini – Bayangkan setiap hari di kantor Anda disambut bukan dengan senyum rekan kerja, melainkan hinaan pedas, kritik merendahkan, atau gosip sinis dari atasan yang merasa “lebih pintar”. Realitas bullying verbal ini kian marak di tempat kerja Indonesia, dari sektor formal hingga informal. Studi Buletin Psikologi UGM (SINTA 4) ungkap fakta mencengangkan: banyak pekerja alami perundungan berulang, picu stres kerja parah, kelelahan emosional, hingga gelombang resign massal. Hierarki kaku dan kultur “senior-junior” bikin fenomena ini menjamur, di mana pelaku anggap hinaan sebagai “disiplin” biasa.
Mengapa “Superioritas Intelektual” Jadi Bumerang?
Pelaku bullying verbal sering posisi struktural tinggi, masa kerja panjang, atau klaim kompeten superior—merasa berhak bentak, ejek, atau malukan bawahan di depan umum “untuk tingkatkan kinerja”. Persepsi ini, lahir dari relasi kuasa timpang, jadi pemicu utama. Intensitasnya—frekuensi, durasi, konsistensi—diukur NAQ-R, gebus harga diri korban secara perlahan.
Penelitian SINTA 3-4 tegas: pekerja garmen Bekasi dan konstruksi Jakarta Barat alami korelasi kuat bullying verbal-stres-burnout-turnover. Konflik peran ambigu tambah parah, ubah kantor jadi arena agresi verbal antar karyawan atau atasan ke bawahan.
Ancaman Serius bagi Kesehatan Mental, Tapi Resiliensi Selamatkan!
Dampaknya brutal: kesehatan mental anjlok, performa turun, organisasi rugi produktivitas dan reputasi. Tapi, resiliensi psikologis—daya tahan, bangkit, adaptasi pasca-stres—jadi pahlawan. Korban resilien punya self-view positif, dukungan sosial solid, skill atur emosi & problem-solving. Studi internasional buktikan: resiliensi mediasi bullying vs kesehatan mental/kinerja, ringankan beban.
Di Indonesia, pelatihan resiliensi sukses pada siswa korban bullying—naikkan ketahanan emosi. Tanpa intervensi, bahkan karyawan tangguh riskan burnout kronis, bikin perusahaan bleber.
Solusi Segera: Ubah Kantor Jadi Tempat Aman Mental!
Waktunya aksi! Organisasi wajib kebijakan anti-bullying tegas: definisi jelas, lapor aman anonim, sanksi berat—ubah “superioritas pintar” jadi mentoring empati. Training leader: modul kekuasaan, empati, komunikasi asertif, transformasi atasan jadi coach suportif.
Rollout program resiliensi massal: latihan regulasi emosi, bangun efikasi diri, peer support—adaptasi model teruji sekolah-ke-kantor. Peneliti lanjut uji kuantitatif model ini multi-industri, tambah mediasi dukungan sosial, dukung kebijakan Kemenaker RI. Yuk, ciptakan workplace sehat—karena karyawan bahagia, bisnis maju!
Penulis : Firdha Fabrina, Mahasiswa Magister Sains Psikologi, Soegijapranata Catholic University (UNIKA – SCU).
Insight NTB
Berita Baru
Berita Utama
Serikat News
Suara Time
Daily Nusantara
Kabar Tren
IDN Vox
Portal Demokrasi
Lens IDN
Seedbacklink







