Berita

 Network

 Partner

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store

Diplomasi Peci Hitam Ala Soekarno Diterapkan di Era Prabowo, Akankah Indonesia Kebali Disegani Dunia?

Prabowo Subianto (Sumber : media faktual indonesia).

Editor:

Penulis: Nauval Trian Putra (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Siliwangi)

Di tengah kembalinya Prabowo Subianto sebagai tokoh sentral politik Indonesia pasca kemenangan Pemilu 2024, pertanyaan yang muncul di kalangan pemerhati hubungan internasional adalah: Akankah Indonesia kembali disegani dunia seperti di era Soekarno? Apalagi dengan sinyal-sinyal gaya diplomasi yang mulai menampakkan “aroma” khas diplomasi simbolik, vokal, dan pembelaan Bung Karno terhadap negara-negara berkembang, muncullah istilah baru, diplomasi peci hitam.

Jasa Pembuatan Buku

Bagi generasi milenial atau Gen Z yang mungkin sudah tidak asing lagi, peci hitam bukan sekadar penutup kepala. Ia merupakan simbol nasionalisme, identitas Islam yang inklusif, dan keunikan pemimpin Indonesia yang ingin “sejajar” dengan bangsa lain.

Diplomasi peci hitam ini pertama kali digaungkan oleh Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Sukarno. Beliau memperkenalkan peci hitam sebagai identitas diri dan menjadikannya sebagai simbol kebangsaan. Bung Karno menjelaskan bahwa istilah peci berasal dari singkatan pet yang berarti topi dan je (bahasa Belanda) yang menunjukkan sifat kecil. Hal ini mencerminkan Indonesia secara umum, yaitu bangunan antarbudaya.

Soekarno menjadikan peci hitam sebagai bagian dari diplomasi visual. Menyapa pemimpin Barat dengan tatapan tajam dan kepala berpeci, menyampaikan pesan “Saya bukan bawahanmu”.

Hal itu dituturkan Sukarno dalam buku Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang ditulis Cindy Adams. “Salah satu egoisme itu adalah berkat keberhasilan saya mengenakan peci, peci hitam yang menjadi tanda pengenal saya, dan menjadikannya simbol negara kita. Tersingkapnya jilbab ini terjadi pada pertemuan Jong Java, sesaat sebelum saya meninggalkan Surabaya,”

Menurut Michael Leifer (1983), kebijakan luar negeri Indonesia pada masa-masa awal kemerdekaan sebagian besar ditentukan oleh komitmen ideologis terhadap anti-imperialis, yang tercermin dalam peran aktif Indonesia di forum-forum internasional seperti Gerakan Non-Blok (Leifer, 1983). Kebijakan luar negeri ini juga dipersonifikasikan melalui gaya pribadi Sukarno, yang retoris, penuh simbol, dan diplomatis dengan gaya Asia.

Memasuki abad ke-21, diplomasi Indonesia semakin pragmatis. Era pasca-Reformasi ditandai dengan politik luar negeri “seribu kawan, nol musuh” yang menekankan dialog, kerja sama ekonomi, dan peran aktif dalam menyelesaikan konflik internasional melalui diplomasi lunak. Namun, muncul kritik bahwa sikap ini terlalu pasif dan menjadikan Indonesia “hanya menjadi penonton” dalam dinamika global, terutama dalam isu-isu strategis seperti Laut Cina Selatan, Palestina, maupun konflik Rusia-ukraina (The Diplomat, 2023)

Prabowo Subianto, dengan latar belakang militer dan nasionalismenya yang kuat, dipandang sebagai sosok yang dapat mengembalikan karakter yang kokoh dalam politik luar negeri Indonesia. Dalam berbagai pernyataannya, Prabowo menekankan pentingnya menjaga kedaulatan, memperkuat pertahanan, dan memperluas jaringan internasional secara strategis, mirip dengan prinsip-prinsip diplomasi Sukarno, tetapi dengan konteks global yang sangat berbeda.

Soekarno dan Prabowo dalam Cermin Negara-Bangsa

Jika kita melihat Prabowo sebagai representasi negara-bangsa yang ingin memperbarui arah politik luar negeri, maka politik luar negeri yang diambilnya harus mencerminkan semangat kebangsaan sekaligus menanggapi kepentingan global yang baru. Wawancara eksklusif dengan Bloomberg (2024) mencatat bahwa Prabowo mengatakan Indonesia perlu “memperoleh kembali posisi tawar strategis di kawasan” dan “tidak hanya menjadi pasar bagi negara-negara besar, tetapi menjadi pemain penting dalam rantai geopolitik dan geoekonomi dunia.”

Soekarno menempatkan Indonesia sebagai pemimpin Dunia Ketiga. Melalui Konferensi Asia Afrika, Gerakan Non-Blok, dan pidato-pidato berapi-api yang menyerang hegemoni Barat, Soekarno menunjukkan bahwa negara-negara pascakolonial juga bisa bersuara lantang, asalkan punya landasan moral dan politik yang jelas. Namun, semua itu muncul bukan hanya karena kharisma pribadi, tetapi karena Indonesia saat itu punya posisi strategis dalam Perang Dingin dan memilih sikap non-blok yang tegas.

Kini, Prabowo masuk ke lanskap internasional yang berbeda. Dunia tidak lagi bipolar, tetapi multipolar. Negara-negara besar seperti China, Rusia, dan Amerika berlomba-lomba mencari pengaruh. Di sinilah Indonesia kembali dicari. Posisi geografis, sumber daya, dan jumlah penduduknya membuat Indonesia menarik. Dalam konteks ini, diplomasi peci hitam bukan sekadar gaya, tetapi strategi korelatif: membangun posisi tawar yang setara dengan kepentingan nasional kita.

Lalu bagaimana dengan “peci hitam”? Meski tidak harus diartikan secara harfiah, peci hitam dalam konteks Prabowo dapat dimaknai sebagai simbol kedaulatan diplomatik. Prabowo dikenal tidak ragu berbicara terus terang di forum internasional dan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan. Saat menghadiri forum-forum internasional seperti saat menghadiri forum-forum internasional yang dihadiri para kepala negara. Seperti pertemuan di KTT APEC di Peru, KTT G20 di Brasil, MIKTA Leader’s Gathering, dan Forum Bisnis Indonesia-Brasil.

Tak hanya Prabowo, jajaran kabinet yang mendampingi Prabowo juga tampak mengenakan peci hitam, seperti Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Luar Negeri Sugiono, Sekretaris Kabinet Teddy Indra, bahkan Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono. Peci hitam itu dikenakan saat rapat.

Peci Hitam sebagai Narasi dari Simbol ke Soft Power

Gaya berdiplomasi Prabowo yang kini tampak lebih kalem, penuh perhitungan, namun tetap nasionalis, menunjukkan adanya pergeseran dari retorika militeristik ke simbolisme sipil-nasional. Ia tetap tampil dengan gaya yang tegas, namun belakangan tampak lebih nyaman mengenakan batik di forum internasional dan menyuarakan isu-isu global dari perspektif Selatan.

Dalam analisis korelasional, gaya diplomasi ini merupakan refleksi langsung dari kepentingan nasional Indonesia, yakni menjaga kedaulatan, memperkuat ekonomi, dan tetap relevan di kancah global. Sama seperti Soekarno, Prabowo juga melihat diplomasi bukan sekadar masalah protokoler, melainkan ajang pertarungan narasi.

Misalnya, ketika Indonesia menolak menjadi perpanjangan tangan negara adikuasa dalam konflik Laut Cina Selatan, atau ketika aktif menjembatani isu Palestina dan dunia Islam, gaya diplomasi Indonesia mencerminkan kepentingan nasional yang mendambakan otonomi strategis tanpa harus menjadi yang paling lantang, namun tetap didengar.

Antara Kenyataan dan Harapan

Namun, pertanyaan awal masih relevan, apakah dunia akan kembali menghormati Indonesia seperti yang pernah terjadi pada masa Soekarno?

Jawabannya, hanya jika diplomasi simbolik disertai dengan konsistensi politik luar negeri, kekuatan ekonomi dalam negeri, dan kejelasan posisi dalam konflik internasional. Dunia menghormati bukan karena simbol, tetapi karena kekuatan di balik simbol tersebut.

Soekarno dihormati karena selain simbol, ia memiliki jaringan internasional, dukungan dari dunia ketiga, dan keberanian konfrontatif yang konsisten. Prabowo dapat mencapai itu jika ia mampu memadukan diplomasi topi hitam dengan realitas diplomasi ekonomi, teknologi, dan pertahanan. Dunia saat ini tidak hanya mendengarkan retorika, tetapi mempertimbangkan potensi investasi, stabilitas politik, dan arah diplomasi jangka panjang.

Peci ini dapat dikenakan oleh siapa saja, tanpa memandang asal usul dan agamanya. Peci bukan hanya simbol agama, tetapi lebih luas lagi, simbol budaya Indonesia khususnya dan Melayu pada umumnya.  Penggunaan peci bagi umat Islam saat beribadah seperti salat bertujuan untuk menutup kepala agar saat bersujud, rambut tidak menghalangi. Seperti penggunaan kain sorban seperti orang Arab, Pakistan, India, dan Bangladesh.

Diplomasi peci hitam adalah simbol yang kuat. Ia berbicara tentang identitas, kedaulatan, dan kedudukan moral. Namun dalam konteks hubungan internasional kontemporer, simbol tanpa substansi akan cepat terlupakan.

Analisis ini mengingatkan kita bahwa gaya diplomasi, jika sejalan dengan karakter dan kepentingan nasional, dapat menjadi jalan menuju penghormatan global. Soekarno membuktikannya. Kini, giliran Prabowo untuk menjawab tantangan, akankah Indonesia kembali disegani dunia?

Kabarbaru Network

https://beritabaru.co/

About Our Kabarbaru.co

Kabarbaru.co menyajikan berita aktual dan inspiratif dari sudut pandang berbaik sangka serta terverifikasi dari sumber yang tepat.

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store