Dialog Publik LAVEDA Kupas Tuntas Tantangan Demokrasi Pasca Pemilu
Jurnalis: Arif Muhammad
Kabar Baru, Jakarta — Kekuatan besar pemilih muda dalam Pemilu 2024 menjadi pisau bermata dua: sebuah potensi besar sekaligus tantangan serius bagi masa depan demokrasi Indonesia. Isu inilah yang menjadi sorotan utama dalam “Dialog Publik Sumpah Pemuda” yang diselenggarakan oleh LAVEDA Institute di Hotel Syahida Inn UIN Ciputat, Selasa, 28 Oktober 2025.
Acara tersebut menghadirkan tiga narasumber yang mengupas tuntas peran pemuda dari berbagai sudut pandang, dan mengerucut pada satu pesan kuat: saatnya generasi muda bergerak dari aktivisme digital menuju keterlibatan nyata di dalam sistem.
Direktur LAVEDA Institute, Muhaemin Ilyas, dalam sambutannya menegaskan tujuan acara tersebut. “Demokrasi substantif bukan hanya soal prosedur, tapi bagaimana nilai keadilan dan partisipasi terwujud. Kami berharap dialog ini dapat menyulut semangat kritis pemuda untuk menjadi aktor utama, bukan sekadar penonton,” ujarnya.
Narasumber pertama, Rachmat Ferdian Andi Rosidi, membuka diskusi dengan menepis anggapan bahwa Generasi Z adalah generasi yang apolitis dan malas bergerak. Menurutnya, fenomena sosial dan digital justru menunjukkan karakteristik pemuda yang cair dan adaptif. Tantangan utamanya, kata Rachmat, adalah memobilisasi potensi besar ini di tengah ancaman kemunduran demokrasi global.
Pandangan ini diperkuat oleh Wira Wirawan, Ketua Umum AMPD, yang menyoroti fenomena “no viral, no justice” di media sosial. Ia mengingatkan bahwa meski viralitas bisa mendorong keadilan, pemuda harus membekali diri dengan literasi digital yang kuat agar tidak mudah terprovokasi hoaks. “Tantangan kita adalah mengatasi krisis kepercayaan terhadap sistem. Mari bersuara bukan hanya sebagai pengkritik dari luar, tetapi juga sebagai bagian dari sistem itu sendiri,” ajak Wira.
Puncak analisis datang dari Muhammad Rafly Setiawan, Manager Pemantauan Nasional NETFID Indonesia, yang memaparkan data konkret pasca-pemilu. “Demokrasi tanpa pemuda ibarat mobil tanpa bensin,” ucapnya.
Rafly mengungkapkan bahwa 52% pemilih pada Pemilu 2024 adalah anak muda, dan 65% di antaranya memilih berdasarkan isu serta integritas kandidat. Namun, data juga menunjukkan sisi lain yang mengkhawatirkan. Sebanyak 58% pemuda memilih karena insentif jangka pendek, menandakan adanya pergeseran ke arah pragmatisme.
Selain itu, meski aktivisme digital meningkat 47%, hanya 23% dari gerakan tersebut yang berhasil berlanjut menjadi aksi nyata yang mempengaruhi kebijakan publik. “Keterwakilan pemuda di DPR juga masih rendah, hanya sekitar 15%. Ini menjadi pekerjaan rumah kita bersama,” tambah Rafly.
Pada akhirnya, ketiga narasumber sepakat bahwa masa depan demokrasi substantif bergantung pada keberanian pemuda untuk berevolusi. Tidak cukup hanya menjadi kekuatan pendobrak di media sosial, tetapi juga harus menjadi agen perubahan yang bekerja dari dalam, mengawal kebijakan, dan mengisi ruang-ruang kepemimpinan publik dengan integritas.
Berita Baru
Berita Utama
Serikat News
Suara Time
Daily Nusantara
Kabar Tren
Indonesia Vox
Portal Demokrasi
Lens IDN
Seedbacklink







