Bandara Trunojoyo Kembali Mengudara: Momentum Ekonomi Madura di Persimpangan Jalan

Editor: Bahiyyah Azzahra

Kabar Baru, Opini – Setelah penantian panjang, Bandara Trunojoyo kembali melayani penerbangan komersial. Kabar ini disambut gegap gempita oleh masyarakat Madura, yang berharap kembalinya konektivitas udara akan menjadi katalisator pertumbuhan ekonomi. Namun, di balik euforia ini, tersembunyi pertanyaan mendasar: apakah kehadiran bandara akan benar-benar membawa kemakmuran bagi masyarakat lokal, atau justru memperlebar jurang ketimpangan?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita dapat menelaah kasus Bandara Trunojoyo melalui lensa Teori Ekonomi Politik Pembangunan, khususnya pendekatan Modernisasi. Teori ini, yang menekankan pada dimensi kekuasaan dan kepentingan dalam alokasi sumber daya, mengingatkan kita bahwa pembangunan ekonomi bukanlah proses yang netral dan apolitis.

Sebaliknya, ia selalu melibatkan pertarungan kepentingan antara berbagai kelompok, mulai dari pemilik modal, pemerintah, hingga masyarakat sipil. Teori Modernisasi sendiri melihat pembangunan sebagai sebuah proses linier di mana negara-negara berkembang (seperti Madura) dapat mencapai kemajuan dengan meniru model pembangunan negara-negara maju, melalui investasi, teknologi, dan perubahan nilai-nilai tradisional.

Kembalinya Bandara Trunojoyo dapat dilihat sebagai arena pertarungan kepentingan tersebut. Di satu sisi, kita memiliki pemilik modal yang berinvestasi di sektor penerbangan, perhotelan, dan pariwisata. Mereka tentu berharap dapat meraup keuntungan sebesar-besarnya dari kehadiran bandara.

Di sisi lain, ada pemerintah daerah yang berkepentingan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dan menciptakan lapangan kerja. Dan yang paling penting, ada masyarakat Madura yang berharap dapat meningkatkan kesejahteraan mereka melalui aksesibilitas yang lebih baik, peluang usaha baru, dan peningkatan kualitas hidup.

Namun, kepentingan-kepentingan ini tidak selalu selaras. Pemilik modal cenderung mencari keuntungan maksimal dengan biaya minimal, yang seringkali mengabaikan kepentingan masyarakat lokal dan kelestarian lingkungan.

Pemerintah daerah, di bawah tekanan untuk meningkatkan PAD, mungkin tergoda untuk memberikan insentif yang berlebihan kepada investor tanpa memperhatikan dampaknya bagi masyarakat. Akibatnya, masyarakat lokal bisa saja termarginalkan dan hanya menjadi penonton di tengah hiruk pikuk pembangunan. Proses modernisasi ini, jika tidak dikelola dengan baik, justru dapat menciptakan ketergantungan ekonomi dan hilangnya identitas lokal.

Oleh karena itu, agar Bandara Trunojoyo benar-benar menjadi mesin pertumbuhan ekonomi yang inklusif, pemerintah daerah harus memprioritaskan pemberdayaan UMKM lokal, memberikan mereka akses terhadap pelatihan, pendampingan, dan permodalan yang terjangkau. Pemerintah daerah harus mendorong pengembangan pariwisata berkelanjutan yang berbasis pada kearifan lokal dan melibatkan masyarakat dalam pengelolaan objek wisata.

Pemerintah daerah juga harus meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui program-program pendidikan dan pelatihan yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja. Dan yang paling penting, pemerintah daerah harus menjaga kelestarian lingkungan dan budaya Madura, memastikan bahwa pembangunan ekonomi tidak mengorbankan nilai-nilai luhur yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.

Bandara Trunojoyo adalah momentum emas bagi Madura. Namun, agar momentum ini tidak berlalu begitu saja, kita perlu memastikan bahwa pembangunan bandara benar-benar berpihak pada kepentingan masyarakat, bukan hanya segelintir elit. Hanya dengan pendekatan yang inklusif dan berkelanjutan, Madura dapat meraih kemakmuran yang hakiki.

Penulis : Ameliya Nurdiana Putri (Mahasiswa FISIP Universitas Wiraraja Madura)