APBN Tanpa Defisit Harus Dimulai dari Pembersihan Skandal BLBI BCA

Jurnalis: Zulfikar Rasyid
Kabar Baru, Jakarta – Pakar Hukum dan Pembangunan Universitas Airlangga, Hardjuno Wiwoho, mengapresiasi langkah Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa yang menargetkan APBN tanpa defisit. Ia menilai komitmen itu sebagai sinyal keseriusan menjaga keberlanjutan fiskal.
Hardjuno mengatakan “Komitmen Menkeu patut diapresiasi. Defisit nol berarti ada kesadaran agar beban fiskal tidak diwariskan ke generasi berikut,” ujarnya, Jumat (26/9/2025).
Namun, ia mengingatkan bahwa target itu harus dibarengi langkah nyata menutup kebocoran keuangan negara. Termasuk penyelesaian kasus besar Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Hardjuno menyoroti kewajiban BLBI di Bank Central Asia (BCA) senilai Rp26,596 triliun berdasarkan catatan Pansus BLBI DPD RI. “Kalau serius ingin defisit nol, kasus BLBI tidak bisa dihindari. Publik berhak tahu apakah kewajiban itu sudah tuntas,” ujarnya.
Ia juga mendorong moratorium pembayaran bunga obligasi rekap sambil menunggu audit transparan. Menurutnya, langkah itu penting agar APBN tidak terus terbebani. “Momentum ini harus jadi bukti keberanian politik Menkeu. Penyelesaian BLBI akan memperkuat defisit nol,” tegas Hardjuno.
Sebelumnya, Menkeu Purbaya menilai Satgas BLBI yang dibubarkan pada 2024 gagal memberi hasil. “Satgas itu sudah hidup tiga tahun. Kalau hasilnya nol, berarti memang tidak ada uang,” katanya di Istana Presiden, Jumat (19/9/2025).
Ia menilai Satgas BLBI terlalu banyak janji, tetapi gagal menagih piutang. Masa tugas satgas berakhir 31 Desember 2024 sesuai Keppres 30/2023. Hingga kini, belum ada aturan perpanjangan. Pemerintah masih mempertimbangkan pembentukan Komite Penanganan Hak Tagih Dana BLBI.
Ekonom UGM sekaligus Ketua LPEKN, Sasmito Hadinegoro, menyebut dana BLBI di BCA mencapai Rp780 triliun jika dihitung obligasi rekap, bunga, dan nilai saham. “Kalau Purbaya berani mengejar, APBN bisa sangat terbantu,” katanya. Namun, ia pesimistis Menkeu akan melakukannya.
Sasmito juga menyoroti akuisisi 51 persen saham BCA oleh Farallon, yang belakangan diketahui milik Djarum Group. Hartono disebut hanya membayar Rp5 triliun, jauh di bawah nilai aset Rp117 triliun pada 2002. Ia mendesak KPK memanggil pihak-pihak terkait, termasuk Budi Hartono dan eks pejabat BPPN.
Pihak BCA melalui Sekretaris Perusahaan, I Ketut Alam Wangsawijaya, membantah tuduhan itu. Ia menjelaskan angka Rp117 triliun yang disebut publik adalah total aset, bukan nilai pasar perusahaan. “Harga saham ditentukan mekanisme pasar sejak IPO 2000. Jadi, nilai BCA sah terbentuk melalui bursa,” jelasnya.