Ajakan untuk Gubernur Khofifah Dari Mentalitas Menteri Sosial Menuju Pemimpin Pemberdayaan Sejati

Jurnalis: Masudi
Kabar Baru, Opini- Dua periode ini, pola relasi antara pemimpin dan masyarakat di Jawa Timur, seperti juga di banyak daerah lain di Indonesia, sering terjebak dalam paradigma yang simplistis dan usang. Masyarakat selalu dianggap sebagai objek belas kasihan yang pasif, sementara pemimpin berperan sebagai “Menteri Sosial” yang dermawan.
Hal ini membuktikan tugas gubernur seolah-olah hanya membagikan bingkisan, sembako, dan bantuan sosial lainnya ketika terjadi sesuatu, terutama dalam momen-momen seperti hari raya atau menjelang pemilihan dan anehnya terjadi juga saat masyarakat hadir menuntut haknya di Grahadi rumah dinas gubernur, KIP datang memberikan bingkisan seolah harga tuntutan masyarakat sebatas bingkisan.
Pendekatan ini tidak hanya merendahkan martabat masyarakat, tetapi juga menunjukkan ketidakpahaman yang mendalam terhadap karakter hakiki orang Jawa Timur. Sudah dua periode ini Khofifah Indar Parawansa menjadi Gubernur Jawa timur tapi gayanya masih seperti menteri sosial.
Padahal masyarakat Jawa Timur, dengan semangat Arek-arek Suroboyo yang gigih, keuletan oreng Madura, keteguhan wong Mataraman, dan semangat bahari masyarakat pesisir, pada hakikatnya bukanlah masyarakat yang menghargai pemberian cuma-cuma. Mereka adalah masyarakat pekerja keras, mandiri, dan punya harga diri yang tinggi.
Gubernur mestinya berfikir tentang bagaimana menghargai kesempatan berinovasi daripada belas kasihan. Sebuah bingkisan, sebesar apa pun, hanya akan dirasakan sebagai pelecehan jika diberikan tanpa pemahaman bahwa yang mereka butuhkan adalah alat untuk berdikari, bukan sekadar santunan untuk bertahan hidup.
Mentalitas “Menteri Sosial” ini justru menciptakan budaya ketergantungan (dependency syndrome) yang merusak. Alih-alih membangun, bantuan yang bersifat karitatif dan seremonial ini dalam jangka panjang melumpuhkan inisiatif dan mematikan daya juang.
Masyarakat menjadi terbiasa menengadahkan tangan, menunggu uluran sang pemimpin, alih-alih berusaha dengan kemampuan sendiri. Ini adalah pengkhianatan terhadap semangat kerja keras dan kemandirian yang justru menjadi jiwa dari masyarakat Jawa Timur.
Oleh karena itu, Gubernur Jawa Timur harus segera mengubah mindset-nya dari yang karitatif menjadi visioner, dari yang bersifat sosial jangka pendek menjadi pemberdayaan ekonomi jangka panjang.
Peran pemimpin bukanlah sebagai penjual eceran bingkisan, melainkan sebagai arsitek pembangunan yang menciptakan ekosistem yang memungkinkan setiap warga untuk tumbuh dan sejahtera dengan usaha mereka sendiri.
Beberapa langkah konkret yang harus diambil dan dilakukan oleh KIP adalah:
1. Mengalihkan Anggaran dari Bingkisan ke Modal Usaha. Daripada menganggarkan dana ratusan atau miliyaran rupiah untuk paket sembako, lebih baik dialihkan menjadi modal usaha ultra mikro, pelatihan kewirausahaan, dan pendampingan bisnis yang berkelanjutan. Program seperti KUR (Kredit Usaha Rakyat) harus dipermudah dan ditargetkan dengan lebih tepat tanpa prosedur yang ruwet dan mbulet.
2. Memperkuat Infrastruktur Ekonomi Rakyat. Fokus pada pembangunan infrastruktur yang mendukung ekonomi produktif, seperti irigasi untuk petani, cold storage untuk nelayan, akses pasar digital untuk UMKM, dan konektivitas logistik yang menghubungkan sentra produksi di pedesaan dengan pasar urban, tanpa pilih kasih daerah tertentu.
3. Membangun Ekosistem Inovasi. Jawa Timur adalah rumah bagi puluhan perguruan tinggi terbaik dan ratusan start-up potensial. Gubernur harus menjadi fasilitator yang menghubungkan dunia akademis, bisnis, dan komunitas untuk menciptakan inovasi yang memecahkan masalah lokal dan menciptakan lapangan kerja baru. Mengingat masih banyak ketimpangan kemiskinan dan pengangguran hampir diseluruh daerah di Jawa Timur.
4. Memperkuat Nilai Budaya Kerja Keras. Sebagai pemimpin, Gubernur harus menjadi juru bicara yang menggaungkan kembali nilai-nilai kejujuran, kemandirian, dan kerja keras sebagai kebanggaan, bukan mempromosikan budaya menerima bantuan apalagi hanya kegiatan-kegiatan seremonial lebay atau yang penting foto dan vidio viral.
Memberi bantuan sosial memang perlu dalam kondisi tertentu, seperti untuk penyandang disabilitas, lansia terlantar, atau korban bencana. Namun, menjadikannya sebagai program andalan dan brand image kepemimpinan adalah sebuah kesalahan strategis dan filosofis.
Masyarakat Jawa Timur tidak butuh bingkisan, mereka butuh keadilan tanpa dihantui oleh berita pemimpinnya yang berada dalam pusaran kasus korupsi, kesempatan, dan penghargaan atas kerja keras mereka.
Seorang Gubernur yang bijak akan memahami bahwa kehormatan terbesar seorang pemimpin bukanlah ketika ia membagikan beras kepada ribuan orang, melainkan ketika ia mampu menciptakan sistem di mana setiap keluarga bisa membeli beras mereka sendiri dengan hasil keringat dan kecerdasan mereka.
Sudah waktunya mindset “Menteri Sosial” ini ditinggalkan dan beralih menjadi Gubernur Pemberdayaan yang sejati. Hanya dengan demikian, Jawa Timur bukan hanya akan menjadi provinsi yang makin sejahtera, tetapi juga provinsi yang kembali pada jati dirinya yaitu mandiri, berdaya, dan penuh harga diri.
Penulis: Mahrus Ali