M. Syukur: Saatnya Membangun Demokrasi Lebih Berkualitas

KABARBARU, BOGOR – Tak bisa dipungkiri, sejak era reformasi bergulir hingga kini telah terjadi perkembangan demokrasi yang luar biasa, bahkan terkategori melampaui batas.
Karenanya, banyak elemen bangsa ini menilai demokrasi saat ini sudah kebablasan dan akhirnya cenderung tidak demokratis lagi, setidaknya dipertanyakan kualitas demokrasinya.
“Dinamika demokrasi yang terjadi saat ini memang mengandung dua sisi, positif dan negatif. Salah satu satu sisi positifnya adalah lahirnya lembaga tinggi negara yang bernama Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), pengganti Utusan Daerah yang menjadi komponen anggota MPR RI,” tegas M. Syukur.
Seperti kita ketahui lanjut anggota DPD RI asal Provinsi Jambi empat anggota DPD RI dari setiap provinsi dipilih secara langsung oleh rakyat, melalui sistem pemilihan umum legislatif dan itu beda dengan Utusan Daerah yang bersifat penunjukkan oleh Pemerintahan Provinsi.
Karena itu, posisi politik dan keberadaan para anggota DPD RI jelas-jelas melalui mekanisme politik demokratik.
Namun demikian, dinamika demokrasi yang berkembang saat ini di negeri ini juga mengalami deviasi yang cukup memprihatinkan.
M. Syukur, anggota DPD RI sejak 2009 itu mencontohkan spirit pemilihan presiden, dimana ia dipilih secara langsung oleh rakyat.
Landasan filosofis perubahan sistem pemilihan presiden itu bagus, yakni agar seluruh elemen rakyat merasakan hak politiknya (memilih dan dipilih) terakomodasi secara konstitusional.
“Namun, ketika bicara prosedur pemilihan calon pasangan presiden yang harus diusung partai politik dan atau gabungan partai politik sebagaimana yang digariskan Pasal 6A Ayat 2 UUD 1945, hal ini menjadi persoalan politik tersendiri,” ujar M. Syukur.
Di hadapan kalangan pemuda peserta ToT itu, Syukur menggarisbawahi bawahi, partai politik merupakan salah satu pilar demokrasi dan karenanya harus dirawat.
Namun, adalah hak setiap warga negara yang ingin memilih dan atau dililih untuk tidak berpartai politik.
Karena itu, negara melalui konstitusi harus memberikan ruang bagi warga negara yang tidak berpartai politik manakala dirinya ingin maju sebagai calon presiden (capres).
Inilah ruang demokrasi yang harus dibuka, bukan sebaliknya. Atas nama dan atau kualitas demokrasi yang lebih berkualitas, calon nonpartai haruslah mendapat ruang untuk capres, seperti halnya calon gubernur atau calon bupati dan calon walikota independen (non partai).
“Ketika calon independen untuk cagub atau cabup/cawalkot diberi ruang menurut UU Pemilu, mengapa untuk ruang yang sama tidak diberikan untuk capres?,” tanya Syukur.
Dirinya menegaskan bahwa ada logika politik pemilihan pimpinan yang tidak konsisten.
“Inkonsistensi ini haruslah direvi, apakah melalui amandemen Pasal 6A Ayat 2 itu, atau mereview salah satu pasal UU Pemilu yang terkait dengan prosedur pilpres,” ucapnya.
“Jika ketentuan PT masih dijadikan prosedur yang harus diikuti oleh Komisi Penyelenggaraan Pemilihan Umum (KPU), maka kontestasi piplres tahun 2024 ini diperkirakan hanya satu pasangan capres-cawapres. Hal ini jika koalisi yang terjadi hari ini tidak berubah. Sebuah pertanyaan mendasar, jika atas nama demokrasi lalu kontestasi pilpres dijawab dengan kotak kosong dan ternyata kotak kosong pemenang, bagaimana nasib tata negara ke depan?, akan seperti apa sebuah negara yang dihasilkan oleh hasil politik kotak kosong?, Memprihatinkan dan karena itu harus dicegah potensi tak sehat itu,” tegas Syukur.
Memang, tambahnya, hasil kontestasi politik tersebut juga merupakan hasil demokrasi. “Tapi, masa yo, hasil demokrasi seperti itu yang dikehendaki? Sesuai prinsip, mekanisme demokrasi dirancang untuk menghasilkan calon pemimpin yang terbaik dan kredibel,” tuturnya.
Karena itu, menurutnya menjadi krusial pula untuk mengubah serangkaian proses politik yang memandulkan demokrasi dan tujuan utama kontestasi pilpres itu.
“Karena itu, DPD RI – sesuai dengan suara kebanyakan berbagai elemen masyarakat – sepakat untuk menihilkan (0%) PT, karena ketentuan ini dinilai sangat tidak produktif bagi kepentingan demokrasi. Jika suara ini diakomodasi secara konstitusional, maka sudah pada tempatnya calon perseorangan diberi ruang yang sama seperti partai politik. Sekali lagi, hal ini bukan untuk kepentingan DPD semata, tapi untuk seluruh pihak yang menghendaki demokrasi yang lebih berkualitas,” pangkasnya.