Kebijakan Kesejahteraan Sosial Berbasis Penguatan Social Capital Tenaga Kerja Gen Z

Editor: Ahmad Arsyad
Kabar Baru, Kolom – Fenomena kesulitan mendapatkan pekerjaan di Indonesia kini meningkat, selain karena tingginya persaingan antara jumlah pencari kerja melebihi lowongan, dengan penurunan penyerapan tenaga kerja di sektor formal. Selain itu diakui terdapat kesenjangan keterampilan antara lulusan dan kebutuhan industri, khususnya di sektor digital/energi hijau, dan kondisi ekonomi pasca-pandemi.
Pemerintah berupaya menciptakan lapangan kerja lebih banyak dan kebijakan yang mendukung, diantaranya dengan kebijakan Program Magang – Hub yang diresmikan dan telah memasuki angkatan ketiga. Hal ini memperlihatkan hambatan struktural yang tidak tertangkap indikator konvensional, misalnya: tingkat pengangguran terbuka atau tingkat partisipasi angkatan kerja (sumber: Labor Market Brief, LPEM FEB UI, 2025).
Seiring dengan perkembangan ekonomi pengetahuan (knowledge economy) dimana produksi ilmu pengetahuan yang sangat pesat memberikan akselerasi perkembangan pengetahuan yang pada akhirnya mencapai tujuan ekonomi (Powell & Snellman, 2004).
Akselerasi perkembangan ilmu pengetahuan, baik secara produksi maupun layanan, membawa konsekuensi terhadap perubahan perkembangan teknologi sehingga membutuhkan pengendalian manajemen di organisasi. Hal ini membawa konsekuensi diantaranya terdapat ketidakselarasan kebijakan perusahaan dengan kebutuhan aspirasi angkatan kerja diantaranya menyebabkan penurunan produktivitas, iklim komunikasi organisasi, konflik lintas generasi, menampilkan perilaku kontra – produktif dengan menunjukkan kinerja di bawah kapasitas potensi yang sebenarnya dimiliki (atau disebut dengan istilah ‘quit quitting’), hingga berdampak pada tren tingkat turnover.
Gen Z mengalami tingkat stres dan ketidakpuasan kerja yang lebih tinggi dibanding generasi sebelumnya, antara lain latarbelakang penyebabnya adanya pemahaman akan kondisi ketidakstabilan ekonomi (Powel & Snellman, 2004), tingginya biaya hidup, gaji awal stagnan, ekspektasi terhadap work-life balance, monitoring pekerjaan berbasis data, dukungan kesehatan mental di tempat kerja dan hambatan aspirasi atas kesempatan pengembangan diri dan kepastian kejelasan jalur karier (Smola & Sutton, 2002).
Penguatan Social Capital pada angkatan kerja Gen Z sebagai kebijakan kesejahteraan sosial menjadi alternatif usulan rekomendasi dari adanya fenomena putus pencarian kerja kesehatan pasar kerja di Indonesia. Smola & Sutton (2002) Gen Z sebagai angkatan kerja saat ini memasuki dunia kerja dengan nilai, ekspektasi, dan kebutuhan kesejahteraan yang berbeda dari generasi – generasi sebelumnya (baby boomers, x, dan y/milenials). Pemberi pekerjaan maupun Gen Z menghadapi beragam tantangan dalam situasi saat ini, mulai dari ketidakstabilan ekonomi, keresahan terhadap lingkungan kerja, kebutuhan akan fleksibilitas hingga burnout (Boyas & Wind, 2010).
Di sisi lainnya, Gen Z menunjukkan sikap fleksibilitas pencapaian karir daripada orientasi pada penghasilan, memiliki preferensi fleksibelitas waktu kerja, kesehatan mental sebagai prioritas (Scroth, 2019). Tenaga kerja Gen Z membutuhkan bantuan pendampingan fasilitas kebijakan wellness (Coaching 1 on 1, atau Group Coaching, Counseling dan Mentoring) yang saat ini masih terbatas. Felicio & Couto (2014), menilai angkatan kerja Gen Z memberikan apresiasi terhadap pemahaman atas kebutuhan terhadap makna dan tujuan dalam menjalankan pekerjaan. Hal ini pula menjadi pedoman yang mendasari kecenderungan memilih perusahaan dengan nilai – nilai/filosofi dan prinsip – prinsip sosial yang berorientasi dan peduli pada isu pertumbuhan keberlanjutan.
Diperlukan antisipasi mengoptimalkan kinerja tenaga kerja Gen Z di organisasi dengan menyusun kebijakan kesejahteraan sosial berbasis penguatan social capital, diantaranya: group membership dan social networks (Bourdieu, 1986, dalam Siisiainen, 2000), trust, reciprocity, network connections, social participation, social norms & values, social cohesion dan tolerance in diversity (Tsounis, Xanthopoulou, Demerouti, Kafetsios, dan Tsaounis, 2022).
Dengan merumuskan kebijakan diantaranya:
Bagi Pemerintah:
- Melakukan review terhadap standar ketenagakerjaan guna memastikan relevansi keberlangsungan seiring dengan perkembangan konteks terkait dengan tenaga kerja
- Merumuskan pedoman secara mandatory tentang program kesehatan mental dan pengembangan karier berbasis kompetensi pengelolaan hijau (Green Human Capital) ke depannya
- Mendorong riset secara integrasi meliputi lintas pemangku kepentingan mengenai kesejahteraan sosial berbasis social capital pada angkatan kerja generasi muda sebagai dasar tata kelola pegawai di tingkat kebijakan nasional
Bagi Perusahaan:
- Merumuskan sistem sosial capital terintegrasi dengan pengelolaan SDM (sistem human capital), diantaranya: proses kerja berfokus pada berorientasi pada strategi bisnis organisasi dan kejelasan deskripsi (peran dan fungsi) di pekerjaan, dan evaluasi kinerja, serta budaya kerja yang inklusif – komunikasi dua arah, umpan balik tatap muka dan rutin, serta figur pemimpin yang empatetik (Scroth, 2019).
- Membangun sistem dukungan kesehatan mental, misalnya: program mentoring lintas generasi, penyediaan konselor, cuti, dan pendampingan bantuan wellbeing bagi tenaga kerja, hingga penyelenggaraan adaptasi hybrid work dan inovasi sebagai alternatif pola kerja konvensional
Bagi Institusi Pendidikan:
- Menyusun kurikulum yang relevan dengan peluang dan tantangan angkatan kerja Gen Z di dunia kerja sebagai respons adaptif menghadapi globalisasi saat ini
- Menjalin beragam kemitraan strategis dengan lintas industri guna memastikan transisi kerja generasi muda berjalan lancar.
Sebagai bentuk komitmen dukungan sistem manajamen dan kepastian bagi para tenaga kerja Gen Z sehingga memiliki peluang lebih besar menghasilkan produktivitas kerja yang jauh lebih optimal. Kesejahteraan sosial angkatan kerja Gen Z di tempat kerja bukan hanya isu generasional, tetapi investasi dalam keberlanjutan tenaga kerja. Organisasi pun mendapat manfaatnya dengan peningkatan produktivitas dan sekaligus memperkuat daya saing di era yang semakin kompetitif.
*) Penulis adalah Niken Ardiyanti, Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Kesejahteraan Sosial Tahun 2025, FISIP UI.
Daftar Pustaka
Boyas, Javier., & Wind., Leslie H. (2010). Employment – based social capital, job stress and employee burnout; a public child welfare employee structural model. 2010. Children & Youth Services Review (2010), pp. 380 – 388
Felicio, J. Augusto., & Couto, Eduardo., (2014). Human capital, social capital and organizational performance. Management: Decision Vol. 52 No. 2, 2014, pp. 350 – 364, Emerald Group Publishing Limited 0025 – 1747
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), 2025. Membaca Sinyal Putus Asa di Pasar Kerja Indonesia Labor Market Brief, Volume 6, Nomor 11
Siisiainen, Martti., (2000). Two Concept of Social Capital: Bourdieu vs Putnam. Paper presented ata ISTR Forth International Conference, “The third sector – for what & for whom ? Trinity Collage, Dublin, Ireland, 5 – 8 Juli, 2000
Smola, Karen Wey., & Sutton, Charlotte D., (2002). Generational differences; revisiting generational work values for the new millenium. Journal of Organizational Behavior, 23, 363 – 382. DOI: 10.1002/job.147
Scroth, Holly., (2019). Are You Ready For Gen Z In The Workplace? California Management Review 1 – 14. Barkeley Haas. Sagepub.com/journals-permissions
Tsounis, Andreas, Xanthopoulou, Despoina., Demereouti, Evangelia., Kafetsios, Konstantino., & Tsaousis, Ioannis., 2022. Social Indicators Research
Powell, Walter W., & Snellman. Kaisa., (2004). The Knowledge Econnomy. Annv. Rev.Sociol
Insight NTB
Daily Nusantara
Suara Time
Kabar Tren
Portal Demokrasi
IDN Vox
Lens IDN
Seedbacklink







