Pelajaran Mahal dari Proyek Infrastruktur Mangkrak di Jakarta

Jurnalis: Bahiyyah Azzahra
Kabar Baru, Jakarta – Jakarta adalah etalase kemajuan Indonesia. Dalam satu dekade terakhir, wajahnya berubah drastis dengan hadirnya infrastruktur modern seperti MRT yang membelah kota dan LRT yang menghubungkan wilayah-wilayah strategis. Proyek-proyek ini adalah bukti bahwa Indonesia mampu mengeksekusi pembangunan yang kompleks. Namun, di antara gedung-gedung pencakar langit dan jalur layang yang baru, terselip “monumen” kegagalan—proyek-proyek yang terhenti, mangkrak, dan menjadi pengingat mahal atas kesalahan perencanaan. Kegagalan ini, sama pentingnya dengan kesuksesan, adalah Studi kasus proyek infrastruktur di Indonesia yang paling berharga.
Jika proyek sukses mengajarkan kita apa yang harus dilakukan, proyek mangkrak mengajarkan kita apa yang mutlak tidak boleh diulangi. Seringkali, akar masalahnya bukanlah pada ketidakmampuan teknis atau rekayasa, melainkan pada fondasi yang jauh lebih fundamental: persiapan proyek, struktur pembiayaan, tata kelola, dan kapasitas kelembagaan. Artikel ini akan menelaah beberapa pelajaran mahal dari proyek infrastruktur yang mangkrak di Jakarta, sebagai justifikasi mengapa kesiapan internal adalah segalanya.
“Tiang Mangkrak” Monorel: Anatomi Kegagalan Klasik
Tidak ada simbol kegagalan infrastruktur Jakarta yang lebih ikonik daripada deretan tiang-tiang beton yang berdiri canggung di sepanjang Jalan HR Rasuna Said. Itulah sisa-sisa dari megaproyek Monorel Jakarta, sebuah ambisi yang gagal dieksekusi, tidak hanya sekali, tetapi dua kali.
Proyek Monorel adalah kerangka raksasa tanpa jiwa; sebuah monumen mahal yang mengingatkan kita bahwa ambisi tanpa persiapan matang adalah awal dari kegagalan.
Kegagalan proyek ini adalah studi kasus sempurna karena ia menyentuh hampir setiap aspek kesalahan manajemen proyek.
1. Kegagalan Studi Kelayakan (Feasibility Study)
Setiap proyek triliunan rupiah dimulai dari satu dokumen: Studi Kelayakan (FS). Dokumen ini adalah “kitab suci” yang memvalidasi apakah proyek ini layak secara teknis, ekonomi, dan finansial. Pada kasus Monorel, FS-nya sejak awal sudah diragukan. Proyeksi ridership (jumlah penumpang) diduga terlalu optimis, dan model bisnisnya tidak jelas. Investor tidak berinvestasi pada “ide bagus”, mereka berinvestasi pada “data yang solid”. FS yang lemah menghasilkan proyek yang unbankable (tidak layak didanai bank).
2. Kegagalan Model Finansial dan Financial Close
Kegagalan kedua, yang merupakan turunan langsung dari FS yang lemah, adalah kegagalan financial close (pemenuhan pendanaan). Konsorsium swasta yang ditunjuk (PT Jakarta Monorail) gagal meyakinkan investor dan bank untuk mencairkan dana. Mengapa? Karena bank melihat risiko yang terlalu besar. Arus kas (cash flow) proyek tidak jelas. Tidak ada jaminan yang memadai atas pinjaman raksasa tersebut. Proyek ini pada dasarnya “mati” di atas kertas keuangan jauh sebelum tiang pertama dipancang.
3. Ketidakpastian Hukum dan Kontrak
Proyek ini terhenti, lalu dihidupkan lagi dengan konsorsium baru, lalu terhenti lagi. Setiap siklus “stop-start” ini menciptakan kerumitan hukum dan kontrak yang luar biasa. Aset yang sudah terlanjur dibangun (tiang-tiang) menjadi sengketa. Perjanjian antara Pemprov DKI, BUMD, dan swasta menjadi tumpang tindih dan tidak jelas siapa yang bertanggung jawab atas apa. Bagi investor baru, masuk ke dalam proyek dengan “dosa bawaan” legal yang rumit adalah sebuah langkah bunuh diri.
4. Risiko Politik dan Diskontinuitas
Proyek infrastruktur jangka panjang sangat rentan terhadap risiko politik. Pergantian kepemimpinan (Gubernur) seringkali berarti pergantian visi dan prioritas. Proyek yang didukung penuh oleh gubernur A, mungkin dievaluasi ulang atau bahkan dihentikan oleh gubernur B. Tanpa payung hukum dan kontrak yang sangat kuat yang mampu “mengisolasi” proyek dari perubahan politik jangka pendek, proyek sebesar Monorel akan selalu menjadi “bola” yang ditendang ke sana-kemari.
Proyek Lain: Kompleksitas yang Menjebak
Selain Monorel yang “mangkrak” total, Jakarta juga memiliki contoh proyek yang “tertatih-tatih” atau berjalan sangat lambat, seperti Proyek 6 Ruas Tol Dalam Kota. Meskipun tidak sepenuhnya mangkrak, proyek ini menghadapi penolakan publik, evaluasi ulang desain, dan tantangan pembiayaan yang membuktikan satu hal: kerumitan teknis dan sosial.
Tantangan terbesar yang sering muncul dalam proyek seperti ini adalah pembebasan lahan. Di Indonesia, ini adalah risiko nomor satu yang paling ditakuti investor swasta. Kegagalan pemerintah (PJPK) dalam menyediakan lahan yang “bersih dan jelas” (clean and clear) adalah penyebab utama proyek molor bertahun-tahun dan biaya membengkak (cost overrun).
Pelajaran Inti: Apa yang Kita Pelajari dari Kegagalan?
Melihat tiang-tiang Monorel, kita tidak boleh hanya melihatnya sebagai pemandangan buruk. Kita harus melihatnya sebagai “biaya sekolah” yang sangat mahal. Pelajaran apa yang harus kita ambil?
Pelajaran 1: Bedakan “Ide Proyek” dengan “Proyek Siap” (Bankable Project)
Pemerintah (PJPK) seringkali terlalu cepat “menjual” sebuah ide atau desain awal. Padahal, investor dan bank hanya tertarik pada bankable project—proyek yang FS-nya solid, model keuangannya teruji, risiko teridentifikasi, dan struktur hukumnya jelas. Proyek mangkrak adalah proyek yang ditenderkan saat statusnya masih “ide”, bukan “proyek siap”.
Pelajaran 2: Alokasi Risiko adalah Kunci
Inilah inti dari skema KPBU (Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha) yang sukses. Kontrak harus secara eksplisit menjawab: “Siapa menanggung apa?”
- Siapa yang menanggung risiko lahan? (Seharusnya Pemerintah/PJPK)
- Siapa yang menanggung risiko konstruksi molor? (Seharusnya Swasta/Kontraktor)
- Siapa yang menanggung risiko permintaan sepi? (Tergantung skema, bisa Pemerintah atau Swasta)
Proyek Monorel gagal karena alokasi risiko ini kabur, membuat semua pihak (terutama bank) ketakutan.
Pelajaran 3: PJPK (Pemerintah) adalah Nahkoda, Bukan Penumpang
Dalam banyak kegagalan, PJPK (Penanggung Jawab Proyek Kerjasama) bertindak pasif. Mereka “melempar” proyek ke swasta dan berharap yang terbaik. Ini adalah resep bencana.
PJPK adalah “nahkoda” proyek. Merekalah yang harus menyiapkan FS yang kuat, merancang struktur tender yang adil, dan yang terpenting, memiliki kompetensi teknis untuk mengawasi dan mengelola kontrak jangka panjang (20-30 tahun).
Mencegah “Monorel Baru” dengan Capacity Building
Kegagalan proyek infrastruktur di Jakarta dan di tempat lain mengajarkan kita bahwa masalah terbesarnya seringkali adalah kesenjangan kapasitas (capacity gap) di sisi PJPK. Pejabat pemerintah mungkin ahli dalam birokrasi, tetapi mereka belum tentu ahli dalam project finance, hukum kontrak KPBU, atau negosiasi alokasi risiko yang kompleks.
Bagaimana cara mencegah “Monorel baru” muncul di masa depan? Jawabannya adalah Capacity Building (Peningkatan Kapasitas).
Ini adalah “vaksin” untuk proyek mangkrak. PJPK (Kementerian, Lembaga, Pemda, BUMN) harus berinvestasi dalam meningkatkan kemampuan tim mereka untuk:
- Menyusun FS yang Bankable: Memahami “bahasa” dan apa yang dicari oleh investor.
- Menstrukturkan KPBU: Merancang skema yang adil dan feasible, termasuk mengkalkulasi Value for Money (VfM).
- Manajemen Kontrak: Mampu memonitor Kinerja Utama (KPI) swasta dan mengeksekusi penalti jika layanan tidak sesuai.
Tanpa capacity building yang serius, kita hanya akan mengulang kesalahan yang sama dengan proyek yang berbeda. Kegagalan adalah Studi kasus proyek infrastruktur di Indonesia yang paling berharga, hanya jika kita mau belajar darinya.
Jika Anda adalah pemangku kepentingan yang berkomitmen untuk tidak mengulangi kesalahan masa lalu dan ingin meningkatkan kesiapan internal tim Anda dalam mempersiapkan proyek infrastruktur yang bankable dan sukses, Institute IIGF adalah mitra yang tepat untuk program Capacity Building Anda.
Insight NTB
Berita Baru
Berita Utama
Serikat News
Suara Time
Daily Nusantara
Kabar Tren
IDN Vox
Portal Demokrasi
Lens IDN
Seedbacklink







