Standar Ganda Gerakan Mahasiswa Islam

Editor: Khansa Nadira
Kabar Baru, Opini — Slogan agen of change atau agen perubahan itu hanya kata-kata iklan penarik semangat belaka, tak ada benar-benar nyata di lakukan ataupun konsisten diterapkan. Bak semangat muda yang membara dan penuh geliat pergerakan tetapi ironisnya sering ditunggagi atau dipesan gerakan yang dilakukan tersebut.
Inkonsistensi selalu nampak diperlihatkan dalam momen-momen yang krusial. Misal terlindas nya masyarakat sipil oleh oknum polisi yang membuat elemen masyarakat dimanapun melakukan protes hingga berujung pada banyak nya pembakaran. Pada saat kejadian gerakan mahasiswa islam tampak apatis dan cendrung wait and see atau melihat dan menunggu hingga kehilangan momen. Beberapa nampak hanya bergelora di sosial media dan surat-surat pernyataan. Kondisi ini menunjukan sikap yang tak sungguh-sungguh dalam menyikapi suatu peristiwa secara mendalam.
Kondisi yang lain berbeda cerita ketika masyarakat mulai ramai dengan narasi mengenai penghinaan pada salah satu pesantren dangan budaya didalam nya. Seketika muncul ke permukaan dan masif melakukan pergerakan dengan tidak ada tanda-tanda sikap wait and see atau menunggu dan melihat. Gejolak gerakan mahasiswa islam lantas membara bukan hanya selebaran surat-surat atau kajian-kajian di sosial media akan tetapi langsung aksi nyata ke pihak yang dituju. Bahkan dengan segala cara dilakukan seperti intruksi gerakan ke seluruh daerah, pelaporan pada pihak berwenang hingga aksi didepan gedung pun dilakukan.
Sikap ini menunjukkan standar ganda dalam gerakan mahasiswa islam yang condong pada golongan sendiri dan apatis pada golongan yang lain. Standar ganda merupakan perbedaan perlakuan di situasi yang sama. Dalam frasa latin standar ganda didefinisikan sebagai Quod licet lovi, non licet bovi yang di maknai Dewa boleh melakukan apa yang tidak diperbolehkan oleh sapi. Asal usul frasa tersebut terdapat dalam Novel Memoirs of a Good-for-Nothing (1826) karya Joseph Freiherr von Eichendrff.
Nilai Idealisme mungkin boleh memudar pada mahasiswa saat ini dengan alasan ekonomi, tidak relevan dengan zaman atau bahkan pragmatis pada suatu peristiwa. Sikap standar ganda tersebut dapat berakibat kerusakan gerakan pada generasi berikutnya yang menganggap gerakan menjadi pilih – pilih. Api pergerakan itupun tidak muncul dari percikan keresahan yang timbul dari penindasan dan ketidakadilan rakyat tetapi dari percikan pihak-pihak atau golongan tertentu yang ingin menunggagi dan memesan gerakan tersebut.
Sebetulnya akar permasalahan ini ada pada sistem organisasi yang perlu di evalusi ulang, stabilitas ekonomi pengurus, kebebasan berfikir dan bergerak. Tak mudah mencapai semua itu dikarenakan waktu yang singkat saat menjadi mahasiswa, tetapi upaya tersebut perlu di mulai dan di tetapkan sebagai dasar gerakan mahasiswa islam untuk generasi yang akan datang.
Penulis adalah Doni Yusuf Bagaskara, Founder Indo Academy.