Menjaga Kepercayaan dalam Hukum Gadai: Siapa yang Bertanggung Jawab saat Barang Hilang?

Editor: Bahiyyah Azzahra
Kabar Baru, Opini – Hukum jaminan merupakan instrumen penting dalam menjaga kepentingan kreditur dan debitur. Kebutuhan dana cepat mendorong masyarakat untuk meminjam uang dengan memberikan jaminan. Salah satu jaminan yang kita kenal adalah gadai, sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Pasal 1150. Gadai adalah penyerahan suatu benda bergerak dari debitur kepada kreditur sebagai jaminan utang, dengan ketentuan benda tersebut dapat diambil kembali setelah utang dilunasi.
Secara teoretis, gadai adalah jaminan kebendaan yang sederhana, cepat, dan efektif. Karena sifat gadai mensyaratkan adanya penyerahan fisik benda (inbezitstelling) kepada penerima gadai. Dengan adanya penyerahan fisik, kreditur memperoleh kepercayaan bahwa benda tetap berada di bawah kekuasaannya sampai utang dilunasi, sementara debitur mendapatkan pinjaman uang dengan jaminan yang jelas. Namun, salah satu masalah yang sering timbul yaitu rusak atau hilangnya barang gadai ketika berada di tangan penerima gadai.
Kasus barang gadai rusak atau hilang cukup sering muncul, terutama di lembaga gadai maupun antarindividu. Misalnya, seseorang menggadaikan emas atau barang elektronik ke pegadaian atau kepada pihak ketiga untuk mendapatkan dana cepat. Dalam jangka waktu tertentu, debitur bermaksud melunasi utangnya, namun ketika ia ingin mengambil kembali barangnya, ternyata barang tersebut sudah rusak, bahkan hilang. Persoalan ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai tanggung jawab hukum penerima gadai terhadap benda yang dijadikan jaminan.
Menurut KUHPerdata, penerima gadai berkewajiban untuk memelihara dan menjaga barang yang digadaikan sebaik-baiknya, seolah-olah barang itu miliknya sendiri. Pasal 1157 KUHPerdata menegaskan bahwa kreditur pemegang gadai wajib bertanggung jawab atas kerusakan atau hilangnya barang gadai apabila terjadi karena kelalaiannya.
Dalam praktik, persoalan ini tidak sederhana. Penerima gadai beralasan bahwa kerusakan atau kehilangan bukanlah akibat kelalaiannya, melainkan karena keadaan memaksa (force majeure) seperti bencana alam, kebakaran, atau pencurian yang tidak dapat dicegah meskipun telah dilakukan upaya. Hal ini menimbulkan perdebatan: apakah penerima gadai dapat lepas dari tanggung jawab, atau tetap berkewajiban mengganti kerugian debitur?
Menurut saya, kasus barang gadai rusak atau hilang harus dilihat dari dua sisi: perlindungan terhadap debitur dan kepastian hukum bagi kreditur. Dari sisi debitur, ia telah menyerahkan benda berharga yang menjadi bagian dari aset pribadinya. Jika kemudian benda tersebut rusak atau hilang di tangan penerima gadai, tentu menimbulkan kerugian ganda: utang tetap ada, sementara barang lenyap.
Sebaliknya, dari sisi kreditur, tidak semua kerusakan atau kehilangan dapat dibebankan kepadanya. Jika benar terjadi keadaan memaksa di luar kendalinya, kreditur tidak seharusnya menanggung risiko yang seharusnya tidak bisa diprediksi. Oleh karena itu, penting untuk menilai secara obyektif apakah kerusakan atau kehilangan itu benar akibat kelalaian kreditur atau karena keadaan yang tidak dapat dicegah.
Menurut saya, penerima gadai harus memiliki standar tanggung jawab tinggi dalam menjaga barang gadai. Karena ia memperoleh keuntungan dari pemberian pinjaman, dan barang gadai adalah bentuk kepercayaan yang diberikan debitur kepadanya. Tanggung jawab ini bisa dianalogikan dengan custodian liability, di mana pihak yang menyimpan barang orang lain harus memastikan keamanan barang tersebut dengan cara yang layak. Penerima gadai tidak bisa beralasan bahwa kehilangan terjadi di luar kuasanya tanpa menunjukkan bukti bahwa ia telah melakukan semua langkah pengamanan yang patut.
Dalam lembaga pegadaian formal, biasanya ada aturan internal mengenai ganti rugi jika barang hilang, misalnya mengganti sesuai nilai taksiran. Tapi, dalam gadai perorangan, tidak ada jaminan kepastian hukum seperti itu. Hal ini berpotensi menimbulkan ketidakadilan struktural, di mana debitur sebagai pihak lemah selalu dirugikan.
Menurut saya, perlu adanya penegasan regulasi yang lebih kuat mengenai tanggung jawab penerima gadai. Misalnya, tidak adanya ketentuan rinci mengenai standar penyimpanan barang gadai, bentuk ganti rugi yang harus diberikan, serta mekanisme penyelesaian sengketa yang cepat. Akibatnya, banyak debitur kesulitan menuntut haknya ketika terjadi kerusakan atau kehilangan barang gadai.
Penerima gadai, baik perorangan maupun lembaga, seharusnya dipandang tidak hanya sebagai kreditur, tetapi juga sebagai pihak yang memegang tanggung jawab sosial. Barang gadai yang rusak atau hilang tidak boleh hanya dibebankan kepada debitur. Apabila terbukti ada kelalaian, kreditur wajib mengganti kerugian secara penuh, bahkan ditambah dengan kompensasi moral untuk menjaga kepercayaan publik.
Kasus seperti ini dapat dilihat dari perspektif etika bisnis. Dunia usaha, termasuk lembaga pegadaian, bergantung pada kepercayaan masyarakat. Jika masyarakat sering mendengar kasus barang gadai rusak atau hilang tanpa ganti rugi yang memadai, maka kepercayaan publik akan menurun.
Menurut saya, dari segi hukum perlu revisi aturan gadai dalam KUHPerdata atau bahkan pembentukan undang-undang khusus tentang gadai. Aturan tersebut harus memuat kewajiban penerima gadai untuk menyediakan standar penyimpanan yang layak, ganti rugi yang jelas, serta prosedur penyelesaian sengketa yang sederhana.
Hukum jaminan, khususnya gadai, harus berpijak pada asas keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Keadilan berarti tidak membiarkan debitur menanggung kerugian ganda. Kepastian berarti adanya aturan yang jelas tentang tanggung jawab penerima gadai. Kemanfaatan berarti keberadaan gadai benar-benar memberikan solusi bagi masyarakat yang membutuhkan dana.
Penulis: Sindy Diva Vanisya Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung