Hak K3 Buruh di Tengah Korupsi: Siapa yang Bertanggung Jawab?

Editor: Khansa Nadira
Kabar Baru, Opini — Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah hak fundamental buruh, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 86 Undang-Undang Ketenagakerjaan. K3 tidak boleh dipandang sekadar syarat administrasi, transaksi pelatihan, atau tumpukan sertifikat yang memuaskan birokrasi. Namun, realitas di lapangan justru memperlihatkan sebaliknya.
Buruh seringkali menjadi korban dua kali. Pertama, mereka bekerja dalam kondisi rentan tanpa jaminan keselamatan yang memadai. Kedua, hak mereka atas lingkungan kerja aman justru diperdagangkan melalui praktik-praktik rente, pungutan, bahkan korupsi di lingkaran elit kementerian.
K3: Dari Hak Dasar Menjadi Komoditas
Praktik K3 di banyak perusahaan masih sebatas formalitas. Pelatihan diselenggarakan, sertifikat dikeluarkan, laporan disusun tetapi tanpa jaminan nyata di lapangan. Buruh tetap berhadapan dengan mesin tanpa pengaman, terpapar bahan berbahaya, atau ditekan dengan jam kerja berlebihan.
Lebih ironis lagi, pelatihan dan sertifikasi K3 sering dijadikan komoditas. Biaya yang tidak murah justru dibebankan kepada pekerja atau lembaga, padahal seharusnya menjadi tanggung jawab perusahaan dan negara. K3 yang seharusnya menjadi perlindungan, berubah menjadi transaksi.
Skandal Korupsi Wamenaker: Cermin Buram Sistem Ketenagakerjaan
Belum lama ini publik dikejutkan oleh kasus korupsi di Kementerian Ketenagakerjaan yang menyeret nama Wakil Menteri Ketenagakerjaan. Dugaan suap dan penyalahgunaan anggaran program pelatihan serta sertifikasi buruh menegaskan bahwa urusan ketenagakerjaan termasuk K3 rentan dijadikan ladang bisnis segelintir elit.
Bagaimana mungkin negara serius melindungi keselamatan buruh jika pejabatnya justru memperjualbelikan program yang seharusnya menjadi hak rakyat? Kasus ini bukan hanya persoalan hukum, tetapi juga moral. Ia menunjukkan bahwa buruh bukan diperlakukan sebagai manusia yang harus dijaga martabat dan keselamatannya, melainkan sebagai komoditas dalam proyek rente politik.
Dampak Nyata bagi Buruh
Korupsi di sektor ketenagakerjaan membawa dampak langsung:
1. Anggaran K3 terpangkas, sehingga buruh minim perlindungan di tempat kerja.
2. Program pelatihan fiktif, buruh kehilangan kesempatan untuk mendapat pengetahuan keselamatan kerja yang layak.
3. Beban biaya sertifikasi tetap dibebankan kepada pekerja.
4. Rasa tidak percaya buruh terhadap negara semakin dalam.
Sementara itu, data BPJS Ketenagakerjaan mencatat lebih dari 280 ribu kasus kecelakaan kerja tiap tahun. Angka ini seharusnya membuat pemerintah fokus memperkuat K3, bukan justru memperdagangkannya.
K3 adalah hak dasar buruh yang menyangkut nyawa manusia. Kasus korupsi di Kementerian Ketenagakerjaan menjadi alarm keras bahwa paradigma K3 di negeri ini sedang salah arah dari perlindungan menjadi bisnis, dari amanat konstitusi menjadi proyek rente.
Sudah saatnya negara dan perusahaan berhenti melihat K3 sebagai transaksi administratif. Buruh berhak bekerja dengan aman, sehat, dan bermartabat. Jika pejabat masih bermain-main dengan uang pelatihan dan sertifikasi, maka yang sesungguhnya dipertaruhkan bukan hanya dana negara, tetapi nyawa jutaan buruh Indonesia.
Penulis Adalah Muhammad Anwarul ‘Izzat, Wasekjen PB PMII Bidang Kaderisasi Nasional.