Berita

 Network

 Partner

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store

Tren Investasi Bertebaran, Tapi Apakah Mahasiswa Siap?

Adzra Dzakiyahni Saputri
Adzra Dzakiyahni Saputri.

Editor:

Penulis : Adzra Dzakiyahni Saputri – Universitas Bangka Belitung

Belakangan ini, semangat berinvestasi semakin merebak ke dalam kalangan mahasiswa. Dari obrolan tempat tongkrongan, warung kopi hingga unggahan story Instagram, istilah seperti saham, reksadana, crypto, dan cuan telah menjadi bagian dari percakapan sehari-hari. Seolah-olah, siapa yang belum berinvestasi dianggap ketinggalan zaman, tidak visioner, atau bahkan “kurang melek finansial”. Namun kembali ke pertanyaan awal: apakah semua mahasiswa memang perlu berinvestasi sekarang juga?

Jasa Pembuatan Buku

Secara prinsip, literasi keuangan adalah hal yang positif. Semakin dini seseorang memahami pentingnya mengelola uang, semakin siap pula ia menghadapi realitas pasca-kampus. Namun, euforia investasi yang kian merebak ini kerap menyisakan beberapa pertanyaan: banyak mahasiswa yang terjun ke dunia investasi tanpa pengetahuan yang memadai. Lebih parahnya lagi, beberapa melakukannya hanya karena tergiur testimoni influencer, janji keuntungan cepat, atau takut dicap sebagai “bukan anak muda produktif”.

Fenomena ini berisiko menimbulkan kerugian yang justru kontraproduktif dengan semangat berinvestasi itu sendiri. Banyak contoh nyata mahasiswa yang mengalami kerugian besar karena masuk ke investasi berisiko tinggi seperti crypto atau saham gorengan tanpa analisis yang matang. Tidak sedikit juga yang menjadi korban penipuan berkedok investasi. Modus yang digunakan antara lain berupa peer-to-peer lending ilegal, platform trading tanpa izin, serta skema money game.

Permasalahan utama dalam investasi bukan terletak pada aktivitas investasinya itu sendiri, melainkan pada niat dan cara yang digunakan sejak awal. Mahasiswa, yang umumnya belum memiliki penghasilan tetap dan masih mengandalkan biaya dari orang tua, bisa terjebak dalam tekanan untuk terlihat “dewasa secara finansial”. Akibatnya, mereka kerap memaksakan diri berinvestasi dengan dana yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan pokok atau pendidikan, bukan dari dana dingin.

Perlu dipahami bahwa investasi bukanlah satu-satunya cara untuk meraih kestabilan finansial atau yang sering disebut sebagai “financial freedom”. Bagi mahasiswa, langkah awal yang lebih penting adalah membangun fondasi keuangan yang kuat, seperti membiasakan diri menabung, mencatat pengeluaran, menyusun anggaran, serta memahami dasar-dasar manajemen risiko. Tanpa bekal ini, investasi justru berpotensi menjadi sumber kerugian daripada keuntungan.

Keterlibatan perguruan tinggi juga tidak bisa diabaikan. Pembekelan wawasan keuangan seharusnya bukan hanya menjadi tanggung jawab organisasi kemahasiswaan atau komunitas ekonomi, melainkan perlu diintregasikan ke dalam kurikulum dasar yang menjangkau semua jurusan. Pokok bahasan seperti manajemen keuangan pribadi, pemahaman risiko, dan cara menghindari penipuan finansial penting untuk disampaikan secara sistematis. Dengan pendekatan ini, mahasiswa tidak sekadar menjadi investor karena tren, tetapi karena mereka memiliki pemahaman yang benar atas tindakan yang mereka ambil.

Meski sering dianggap belum matang secara finansial, tak dapat dipungkiri bahwa antusianisme mahasiswa dalam dunia investasi justru menjadi sinyal positif. Ketertarikan ini menunjukkan adanya perubahan pola pikir: dari konsumtif ke produktif, dari “habiskan uang” menjadi “kelola uang.” Ini adalah langkah awal yang menunjukkan potensi. Jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya yang cenderung tertutup terhadap isu keuangan, mahasiswa saat ini jauh lebih terbuka dan lebih tertarik mencari peluang finansial sejak usia muda.

Sayangnya, semangat ini sering kali tidak diiringi oleh pemahaman yang memadai. Banyak mahasiswa yang ikut-ikutan investasi tanpa benar-benar mengerti apa yang mereka lakukan. Mereka membaca satu-dua thread di media sosial, langsung membuat akun di aplikasi trading, dan memasukkan sejumlah uang, berharap keuntungannya datang secepat upload-an viral. Ketika kenyataan tidak seindah ekspektasi, barulah muncul rasa kecewa dan trauma finansial. Lebih parah lagi, ada yang justru menyalahkan investasi itu sendiri, bukan pendekatan mereka yang keliru.

Perlu ditekankan, bahwa investasi bukan soal keberanian, melainkan soal kesiapan. Bukan hanya siap secara materi, tapi juga siap secara mental dan pengetahuan. Dunia investasi dipenuhi dengan ketidakpastian. Naik-turunnya pasar bisa membuat orang yang tidak siap menjadi panik, terburu-buru menjual asetnya saat harga jatuh, atau bahkan terjerumus dalam keputusan yang lebih buruk. Oleh karena itu, memahami instrumen investasi, mengenali profil risiko diri, serta memiliki tujuan finansial yang jelas adalah langkah awal yang tidak boleh dilewatkan.

Dalam hal ini, peran lingkungan sekitar juga sangat besar. Teman sebaya, media sosial, bahkan dosen dan keluarga, bisa menjadi sumber inspirasi atau justru tekanan. Ketika banyak orang di sekitar kita mulai “bermain saham” atau “cuan dari kripto”, ada dorongan emosional untuk ikut terlibat, agar tidak merasa tertinggal. Fenomena fear of missing out (FOMO) ini sangat nyata, dan bisa jadi pemicu utama mahasiswa terjun ke investasi tanpa perhitungan.

Sebagai seseorang yang juga masih bergelut dengan tugas kuliah, deadline tugas, dan anggaran bulanan yang pas-pasan, saya pribadi juga merasa dilema saat melihat tren investasi yang kian marak di media sosial. Di satu sisi, saya ingin ikut merasa “maju” dan terlihat produktif secara finansial. Tapi di sisi lain, realita hidup saya belum tentu sejalan dengan narasi “cuan dari mana saja” yang sering digaungkan para influencer keuangan. Rasanya seperti dipaksa berlari padahal baru saja belajar berjalan.

Saya sadar, bahwa mengelola uang dengan bijak bukan soal ikut tren. Bukan juga demi konten story atau ingin terlihat keren di depan orang lain. Kadang yang lebih penting adalah bisa mengatur pengeluaran bulanan tanpa harus gali lubang tutup lubang. Bisa menabung walau sedikit, dan tidak stres setiap kali akhir bulan datang. Dan menurut saya, itu juga bentuk dari keberhasilan finansial, meski tidak se-glamor jadi trader harian.

Opini saya, mahasiswa tidak perlu merasa terpaksa berinvestasi hanya karena “takut ketinggalan”. Yang penting adalah tahu diri dan tahu situasi. Kalau memang belum mampu, tak ada salahnya menunggu sampai kondisi benar-benar siap. Dunia investasi tidak ke mana-mana. Tapi kesehatan mental dan keuangan kita bisa ambruk kapan saja kalau dipaksakan.

Yang paling penting adalah membangun kesadaran finansial sejak dini. Mulai dari belajar mencatat pengeluaran harian, menyisihkan uang jajan untuk tabungan, sampai memahami bahwa tidak semua “cuan cepat” itu benar-benar aman. Jika sudah paham dasar-dasarnya, maka saat waktunya datang untuk berinvestasi, kita akan jauh lebih siap—bukan hanya siap modal, tapi juga siap mental. Banyak juga komunitas atau UKM di dunia perkuliahan yang bisa diikuti mahasiswa sebagai sarana belajar untuk wawasan yang lebih luas seperti, Kelompok Studi Pasar Modal (KSPM).

Saya percaya, menjadi cerdas secara finansial itu bukan tentang siapa yang paling dulu investasi, tapi siapa yang paling konsisten dan bijak dalam mengelola uangnya. Tidak perlu buru-buru kaya. Lebih baik pelan-pelan tapi paham arah, daripada cepat-cepat tapi malah tersesat. Karena dalam hidup, seperti halnya dalam finansial, yang penting bukan siapa yang mulai duluan, tapi siapa yang bisa bertahan sampai akhir.

Kabarbaru Network

https://beritabaru.co/

About Our Kabarbaru.co

Kabarbaru.co menyajikan berita aktual dan inspiratif dari sudut pandang berbaik sangka serta terverifikasi dari sumber yang tepat.

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store