Kesejahteraan dan Keadilan Sosial, Menagih Janji Para ‘Juru Bicara’ Rakyat

Editor: Ahmad Arsyad
Kabar Baru, Opini – Ketika kita membicarakan suatu gagasan, ide atau cita-cita. maka paling tidak ada dua hal yang terkait di dalamnya. Pertama, soal substansi atau isi dari gagasan tersebut dan kedua soal para pihak (manusia) untuk siapa atau oleh siapa gagasan-gagasan tersebut dilaksanakan.
Membicarakan substansi ke dalam definisi bukan saja rumit dan sulit, tetapi juga setiap orang, golongan, waktu dan tempat di mana konsep itu dibicarakan, akan memberikan definisi yang berbeda-beda.
Memang upaya manusia untuk menjerat soal-soal yang abstrak agar ia menjadi konkret, sering mengalami kesulitan karena unsur nuansa-nuansa serta aneka variasi tersebut itu. Namun, ketika kita membicarakan wujud orang, manusia dan masyarakat dari sudut pandang dunia nyatanya, akan lebih mudah.
Karena unsur-unsur dan ciri fisiknya bisa dikenali secara riil, di mana semua orang yang mempunyai indera yang lengkap mau tak mau akan sampai pada kesimpulan yang paling mendekat.
Upaya untuk menangkap gagasan yang abstrak melalui unsur konkret berupa orang, manusia dan masyarakat untuk mana dan dari mana datangnya atau keperluan cita-cita itu dikembangkan, mungkin bisa lebih memudahkan kita untuk bisa sampai pada pengertian yang berguna.
Tentu datang lebih mendesak dari orang atau kelompok orang Dilihat dari unsur konkret manusianya, cita-cita kecukupan yang tidak atau belum berkecukupan. Begitu juga cita-cita dan hasrat tetapi akan lebih mendesak bagi orang kelaparan dan kehausan untuk makan dan minum.
Seluruh manusia membutuhkannya, dari pada orang-orang yang sudah kenyang.
Begitu juga tentang cita-cita keadilan akan lebih mendesak bagi orang-orang yang mengalami ketidakadilan dari pada orang atau kelompok yang sedang menikmati kekuasaan.
Cita-cita tentang keadilan sosial secara alami lebih terdengar di kalangan yang kehidupannya terzalimi, teraniaya, tersingkirkan baik secara sosial maupun secara ekonomi dibanding orang atau kelompok yang sedang berjaya baik secara sosial, politik dan ekonomi.
Namun orang-orang dan golongan masyarakat yang terzalimi dan teraniaya atau kurang beruntung itu, suaranya kurang atau jarang terdengar. Secara konsepsional, kemampuan untuk mendefinisikan soal-soal abstrak berupa keadilan agak sulit mereka ilustrasikan, bukan saja karena secara intelektual mereka tersingkir atau tak mampu meraihnya, tetapi saluran atau media yang ada belum tentu peduli pada substansi keadilan.
Sebab hal itu bertali-temali dengan kedudukan sang media sendiri sebenarnya mewakili siapa, golongan yang di atas atau golongan yang teraniaya tadi?
Juru Bicara Rakyat atau Juru Bicara Kekuasaan
Karena itu, tidak jarang sang juru bicara rakyat tertekan. ketika ia atas dukungan rakyat bisa naik jenjang menduduki lapisan atas yang berkuasa, oleh proses waktu, bukan saja lupa.
Tetapi demi kepentingan kekuasaannya terpaksa mereka harus melupakan gagasan dan cita-cita keadilan, baik di bidang sosial dan politik atau dalam bidang ekonomi, seperti yang mereka perjuangkan dahulu ketika mereka masih belum berkuasa.
Para pemimpin-pemimpin kita dibesarkan oleh harapan rakyat yang menderita pada masa Orde Lama dan rakyat mengelu-elukan mereka. Kemudian ketika sampai ke puncak kekuasaan.
Apakah merasa ingat kepada janji keadilan politik yang didambakan rakyat saat berkampanye tempo lalu? Begitu juga pemimpin kaum sipil yang berpuncak pada diri teknokrat dengan gelar-gelar keilmuan yang membanggakan, apakah penguasaan dan kekuasaan mereka atas perencanaan serta pengawasan ekonomi.
Telah memberikan rasa keadilan kepada rakyat yang dahulu diperjuangkannya? tapi apakah ia dan rekan-rekannya telah memberikan rasa keadilan dalam sector ekonomi?
Rakyat di mana-mana tergeser dan tergusur oleh proses pembangunan yang berjalan, baik dari wilayah tanah miliknya maupun tanah garapannya. Celakanya ketika mereka yang tergusur datang ke kota mencari peluang hidup di tanah airnya kehidupan ekonominya, baik oleh perasan kaum modal yang telah merdeka, ternyata tersingkir dan disingkirkan dari maupun karena kekuasaan birokrat sipil dan militer yang menjaga kelanjutan pembangunan.
Janji itu, Dari Dulu
Dari dulu rakyat belum memeroleh keayeman dan kenyamanan kehidupan sosial dan politik, apalagi kehidupan ekonomi. Rakyat terombang-ambing oleh cita-cita politik dan cita-cita ideology para pemimpin mereka.
Dari dulu rakyat bukan saja terombang- ambing oleh jualan para pemimpin, jualan gagasan politik dan ideologi, tetapi mereka pun diadu demi kepentingan golongan para pemimpin.
Demi kepentingan kelangsungan kekuasaan mereka atau demi tercapainya hasrat mereka untuk berkuasa ketika mereka sampai pada puncak kekuasaan, cita-cita keadilan bukan saja terlupakan oleh proses waktu, tetapi terpaksa dilupakan demi eksistensi dan kelanggengan kekuasaan mereka.
Anehnya rakyat itu, bagaikan kerbau yang tercucuk hidungnya, mau saja di bawah para pemimpin mereka.
Salahkah rakyat yang menurut itu? Kalau tidak menurut kepada siapa mereka menitipkan cita-cita keadilan sosial itu, baik keadilan bermasyarakat dalam tata hubungan sosial, seperti hak asasi dan hak kemerdekaan berpikir.
Kepada siapa mereka menitipkan keadilan ekonomi, baik di atas tanah, di wilayah pabrik maupun di wilayah perkotaan yang telah cantik oleh pemandangan ini?
Setelah saya renungkan rakyat tak bisa menitipkan nasibnya kepada orang-perorang dan kepada para pemimpin, sebab manusia dengan segala nafsu keserakahan akan kekuasaan dan kekayaan, bisa atau terpaksa melupakan cita-cita keadilan sosial, politik dan ekonomi.
Titipan itu diberikan bukan kepada orang, tetapi kepada aturan main, kepada sistem, yang bekerja secara dan objektif. Saya kira dengan segala kekurangannya, prinsip impersonal kedaulatan rakyat, prinsip kekuasaan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat yang diaplikasikan ke dalam sistem yang disebut demokrasi, merupakan pilihan terbaik.
Tetapi apa boleh buat, rakyat pun terbius oleh slogan. Demokrasi bukan berasal dari nenek moyang kita. Maka rakyat kembali menjadi ajang permainan para pemimpin, dan cita-cita keadilan sosial dan keadilan ekonomi pun terbang dibawa angin.
*Penulis adalah Irwan Hidayat, Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga BPL PB HMI