IWD Sebagai Refleksi Pemetaan Gerakan Perempuan Baru
Editor: Ahmad Arsyad
KABARBARU.CO, OPINI – Perempuan merupakan sumberdaya manusia yang mempunyai peran fungsional dan juga strategis dalam pembangunan di masyarakat. Tidak hanya itu, fakta sejarah mencatatkan bahwa sejarah perjuangan bangsa Indonesia tidak lepas dari peran penting gerakan perempuan. Jumlah kaum perempuan yang cukup dominan, menjadi faktor penting yang tak boleh diabaikan. Akan tetapi kondisi itu, tidak membuat perempuan lepas dari berbagai bentuk persoalan kemasyarakatan. Beberapa persoalan yang masih membayangi perempuan Indonesia seperti diskriminasi , ketidak-adilan, pengabaian yang dialami, merupakan persoalan-persoalan yang harus segera diselesaikan melalui program pemberdayaan terhadap Perempuan.
Ada dua hal yang bisa dilakukan dalam rangka pemberdayaan terhadap perempuan yaitu Pendidikan dan juga pengorganisasian. Pemberdayaan terhadap perempuan harus terus dilakukan untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi serta mencari pemecahan persoalan-persoalan perempuan. Tentu hal ini tidak saja berdampak positip terhadap dirinya, tetapi juga untuk masyarakat.
Cukup menarik untuk menyimak persoalan-persoalan yang dihadapi kaum perempuan dari masa ke masa. Beberapa permasalahan yang diidentifikasi sebagai paling berat dirasakan kaum perempuan seperti pendidikan perempuan, pernikahan dini, partisipasi perempuan di ranah publik, pendidikan seks, upah yang sama untuk pekerjaan yang sama, kesejahteraan ekonomi perempuan, subordinasi dalam distribusi kekuasaan, mitos, stereotipe, dan pelabelan negatif, beban kerja panjang dan berat, dan kekerasan dalam berbagai bentuk.
Momentum Internasional Women Day (IWD) yang diperingati setiap tanggal 8 maret dimana selalu disambut oleh seluruh perempuan dipenjuru dunia, harus melahirkan gagasan baru dalam menyikapi isu keperempuanan. IWD telah resmi diperingati sejak tahun 1911 dalam sejarah yang mana pada hari itu untuk pertama kalinya menandai kepada semua orang tentang kesetaraan. IWD diperingati setiap satu tahun sekali untuk menghidupkan kembali semangat pencapaian kaum perempuan dalam setiap sektor kehidupan.
Lebih dari 1 abad perjuangan perempuan dalam segala sektor kehidupan perempuan untuk mendapatkan haknya sebagai warga negara yang seringkali terabaikan karena berbagai hambatan, terutama hambatan yang berasal dari kuatnya nilai ideologi patriarki. Bila kita cermati permasalahan yang teridentifikasi pada awal abad XX dengan apa yang terjadi di awal abad XXI ini, ternyata beberapa hal masih merupakan isu sentral yang belum banyak mengalami perubahan. Kekuatan perempuan sebagai kelompok baru benar-benar diperhitungkan setelah Kongres Perempuan Indonesia pada tahun 1928, dimana hal itu dianggap sebagai era kebangkitan kaum perempuan Indonesia yang pada saat itu pertama kali memunculkan kesadaran perempuan Indonesia atas kepentingannya yang berbeda dari rekan pejuang laki-laki.
Beberapa penelitian menyoroti gerakan kaum perempuan melalui berbagai organisasi, dimana menyimpulkan bahwa organisasi perempuan di Indonesia mengalami kemajuan dalam kuantitas, namun mengalami kemunduran dalam kualitas sejak orde baru. Kemampuan organisasi untuk mencapai tujuan penyadaran dan partisipasi perempuan serta pemecahan persoalan-persoalan tentang perempuan ini semakin pudar, lebih banyak menitikberatkan pada kegiatan yang hanya berbentuk seremonial bukan target oriented. Merefleksi ataupun merevitalisasi arah gerakan perempuan saat ini adalah sesuatu yang harus dilakukan, pertanyaan-pertanyaan “apa yang telah dilakukan dalam rangka pemberdayaan kaum perempuan? Kegiatan apakah yang dirasakan cukup efektif untuk meningkatkan posisi tawar perempuan yang dapat meningkatkan akses dan peluang dalam berbagai bidang kehidupan” menjadi sesuatu yang perlu dikaji oleh perempuan secara bersama. Saat ini dibutuhkan adanya suatu pemetaan kekuatan organisasi perempuan yang ada di setiap komunitas, sebagai data dasar dapat melakukan kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan.
Setidaknya terdapat lima kerangka pemberdayaan perempuan yang meliputi lima tingkatan, yakni, pemerataan tingkat kesejahteraan, pemerataan tingkat akses, pemerataan tingkat penyadaran, pemerataan tingkat partisipasi aktif, pemerataan tingkat kontrol/penguasaan (Sarah Longwe :1991). Konsep pemberdayaan perempuan mengandung paling tidak tiga pokok pikiran, pertama adalah pemenuhan hak-hak konstitusional secara holistik, yang mencakup pemberdayaan ekonomi, sosial-budaya, politik, dan psikologis. kedua, penanggulangan hambatan struktural yang menghambat kemajuan perempuan dan terwujudnya kesetaraan gender. Ketiga, penguatan secara kultural, yakni perlu adanya pemberdayaan yang dilaksanakan bersama-sama antara laki-laki dan masyarakat umumnya.
Sejauh ini gerakan perempuan hanya sebatas meningkatkan pengetahuan dan kemampuan perempuan untuk terlibat aktif pada domain publik, namun belum bisa mengubah kepincangan pada ketimpangan-ketimpangan gender.
Gerakan perempuan saat ini adalah gerakan yang harus menyuarakan adanya “kekhususan” atau katakanlah potensi pada diri dan posisi perempuan dalam masyarakat, dan kekhususan yang ada tersebut perlu dihormati dan diberi ruang untuk lebih berkembang, bukannya dilecehkan dan disubordinasikan.
Menyediakan ruang-ruang yang lebih terbuka agar potensi yang dimiliki perempuan itu bisa terdengar dan terartikulasikan sebagai suara dan wacana, dan bahkan menjadi praktek hidup sehari-hari, yang memang berasal dari perempuan itu sendiri. Momentum International women day kali ini harus menjadi refleksi bagi setiap organisasi perempuan untuk melakukan pemetaan kembali arah gerakan organisasi dalam melakukan pemberdayaan perempuan.
*) Penulis adalah Umiroh Fauziah Ketua Umum Kohati PB HMI Periode 2021-2022
*) Tulisan opini sepenuhnya tanggung jawab penulis, tidak menjadi tanggung jawab redaksi, Kabarbaru.co