Sekapitalis Itukah Birokrasi Kita, Efisiensi dan Memangkas Pegawai

Jurnalis: Muh Arif
Kabar Baru, OPINI- Negara semakin tampak seperti korporasi besar yang mengejar efisiensi dan memangkas apa pun yang dianggap tidak produktif. Ketika pemerintah daerah mengeluarkan surat resmi pemutusan kontrak bagi ribuan tenaga honorer non-database, yang terlihat bukan lagi wajah negara sebagai pelayan publik, melainkan sebagai bos yang dingin dan berhitung. Logika yang bekerja bukan lagi keadilan sosial, tetapi rasionalitas biaya, siapa yang memberi nilai tambah dipertahankan, siapa yang tidak segera dikeluarkan dari sistem industri.
Inilah tahap lanjut dari kapitalisme birokratik, ketika logika produksi nilai lebih (surplus value) tidak hanya terjadi di pabrik, tetapi juga di lembaga pemerintahan. Negara seolah beroperasi sebagai alat reproduksi kapitalisme, mengatur, menyeleksi, dan mengendalikan tenaga kerja demi menjaga efisiensi sistem. Dalam situasi ini, para tenaga honorer menjadi proletariat administratif, mereka menjual tenaga dan waktu mereka tanpa kepastian, diperas nilainya oleh sistem yang mengklaim bekerja untuk publik. Ketika kontrak mereka diputus, bukan karena kesalahan pribadi, melainkan karena tidak masuk “database saja!”, kita melihat bagaimana nilai manusia didefinisikan oleh mekanisme akumulasi, bukan oleh kemanusiaannya.
Istilah “non-database” terdengar teknis, tapi sejatinya adalah cara baru untuk memisahkan yang kelas 1 dengan kelas rendah dan yang dianggap tidak berguna, sebuah bentuk baru dari alienasi abad ini. Mereka yang tidak tercatat kehilangan pengakuan sosial; hidup mereka tak lagi menjadi bagian dari kesadaran kolektif negara.
Kondisi ini yg disebut sebagai keterasingan manusia dari dirinya sendiri, ketika individu tidak lagi dilihat sebagai subjek yang berhak atas kehidupan, tetapi hanya sebagai angka dalam sistem produksi yang tak mereka kuasai.
Dalam tatanan seperti ini, warga tidak lagi dipandang sebagai pemegang hak, melainkan sebagai sumber daya yang bisa disubstitusi. Administrasi menjadi mesin rasionalitas kapitalistik yang bergerak dengan wajah birokrasi. Negara berhenti menjadi rumah bersama dan berubah menjadi kantor raksasa dengan sistem evaluasi dan target kinerja yang ketat. Para pejabat bukan lagi pelayan rakyat, melainkan bos yang memimpin perusahaan bernama “Negara Republik”.
Inilah wujud negara borjuis dalam era neoliberal bukan lagi menghisap melalui alat produksi, tetapi melalui alat administratif. Padahal di balik setiap nama yang terhapus itu ada kehidupan, keluarga, dan mimpi sederhana tentang kepastian hidup dan kehidupan.
Dalam dunia seperti itu, kehilangan pekerjaan bukan hanya soal ekonomi, tapi juga kehilangan pengakuan sebagai bagian dari republik, yang setiap kali upacara bendera mereka menangis karena nasionalismenya.