Rusak Lingkungan! Masyarakat Adat Papua Tolak PSN PT Jhonlin Group di Merauke

Jurnalis: Rifan Anshory
Kabar Baru, Merauke — Aktivitas PT Jhonlin Group milik pengusaha nasional Andi Syamsuddin Arsyad alias Haji Isam di wilayah adat Wanam, Kabupaten Merauke, Papua Selatan, menuai perlawanan keras dari masyarakat adat.
Sebagai bentuk protes, Masyarakat Adat Malind Maklew menanam Salib Merah dan memasang sasi adat sebagai bentuk pelarangan total seluruh aktivitas perusahaan, Senin (15/12).
Aksi tersebut dilakukan di sejumlah titik lahan yang telah digusur dan dibuka menggunakan alat berat PT Jhonlin Group untuk pembangunan infrastruktur Proyek Strategis Nasional (PSN) Merauke.
Proyek yang dikerjakan mencakup pembangunan jalan sepanjang 134 kilometer, cetak sawah baru, pelabuhan, dan bandar udara.
Meski mengantongi penugasan pemerintah pusat di sektor ketahanan pangan dan energi, kehadiran PT Jhonlin Group di Wanam dinilai berjalan dengan mengabaikan hak-hak dasar masyarakat adat.
Pembukaan lahan secara masif disebut telah menghancurkan hutan adat, rawa, serta sumber pangan dan mata pencaharian tradisional masyarakat setempat.
Sebelumnya, pada Jumat (5/12), sejumlah marga pemilik hak ulayat di Wanam, Kahol, Basik-basik, Moiwend, Balagaize, dan Gebze, lebih dulu melakukan penancapan Salib Merah di area perempatan jalan penghubung Kampung Wanam, Wogikel, Nakias, hingga dermaga baru yang dibangun perusahaan.
Dalam aksi tersebut, masyarakat secara terbuka menyatakan penolakan dan menuntut PT Jhonlin Group menghentikan seluruh aktivitasnya di wilayah adat.
Direktur LBH Papua Merauke, Johnny Teddy Wakum, menyatakan bahwa pelaksanaan PSN Merauke selama lebih dari satu tahun telah menimbulkan berbagai dampak serius bagi masyarakat adat.
Dampak tersebut antara lain penggusuran paksa, hilangnya sumber pangan dan mata pencaharian tradisional, kerusakan lingkungan, serta kehilangan hutan dengan ekosistem penting di wilayah Wanam dan daerah lain seperti Nakias, Jagebob, serta Kampung Soa, Distrik Tanah Miring.
“Masyarakat adat pemilik hak ulayat telah berulang kali menyampaikan penolakan kepada pemerintah daerah hingga pusat, namun tidak mendapat respons. Sementara itu, aktivitas pembongkaran dan pembukaan lahan justru terus meluas,” kata Johnny dalam keterangan persnya, dikutip Jumat (19/12).
LBH Papua Merauke juga merujuk hasil pemantauan Komnas HAM RI sepanjang 2024–2025 yang menemukan sejumlah dugaan pelanggaran hak asasi manusia dalam pelaksanaan PSN Merauke.
Temuan tersebut meliputi pengabaian prinsip FPIC, tidak diakuinya hak ulayat masyarakat adat, menyempitnya ruang hidup dan sumber penghidupan, penggusuran paksa, kerusakan lingkungan dan budaya lokal, serta keterlibatan aparat keamanan.
Menurut Johnny, aksi penanaman Salib Merah memiliki makna simbolik sebagai bentuk perlawanan ekologis dan spiritual, penegasan batas wilayah adat, serta peringatan adanya potensi konflik apabila larangan adat tersebut dilanggar.
“Salib Merah dipasang sebagai upaya perlindungan ruang hidup masyarakat adat,” ujarnya.
Atas situasi tersebut, LBH Papua Merauke bersama Solidaritas Merauke mendesak pemerintah dan PT Jhonlin Group untuk menghormati aksi penanaman Salib Merah dan sasi adat, menghentikan seluruh aktivitas pembukaan lahan di wilayah adat Wanam, menarik seluruh alat berat dari wilayah tersebut, serta memulihkan dan merehabilitasi kerusakan lingkungan yang telah terjadi.
Selain itu, mereka juga meminta pemerintah segera melakukan pemetaan dan pengakuan hak ulayat, serta menjamin rasa aman bagi masyarakat adat yang terdampak PSN Merauke.
Insight NTB
Daily Nusantara
Suara Time
Kabar Tren
Portal Demokrasi
IDN Vox
Lens IDN
Seedbacklink







