Berita

 Network

 Partner

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store

Perlukah Cara Kuno Dipraktikkan Kembali dalam Menghapus Korupsi di Lingkungan Peradilan Indonesia?

Menghapus Korupsi di Lingkungan Peradilan Indonesia
Penulis: Farah Jihan Subyanti Putri, Mahasiswa S2 FH UGM (Foto: Dok/wikipedia).

Editor:

Kabar Baru, Opini- Pada suatu hari hidup seorang hakim yang selama Ia mengabdi sebagai hakim Ia harus duduk di atas sebuah kursi yang dibuat dengan cara yang “spesial” agar hakim tersebut selalu menjaga integritasnya. Tentu saja pada kalangan hakim, cerita ini bukan lah cerita yang baru saja diketahui. Betul. Ini adalah cerita tentang Sisamnes, seorang hakim pada zaman Persia Kuno di bawah rezim Cambyses II. Sisamnes adalah seorang hakim yang hidupnya berakhir dengan dikuliti secara hidup-hidup sebagai hukuman telah menjatuhkan sebuah putusan yang dipengaruhi adanya uang suap yang Ia terima.

Kulit dari Sisamnes kemudian dijadikan sebagai kulit untuk kursi hakim yang mana kursi tersebut diduduki oleh anak dari Sisamnes, Otanes, yang ditunjuk oleh Cambyses II untuk menggantikan posisi ayahnya agar Ia mengingat konsekuensi yang akan diterimanya jika melakukan hal serupa dan selalu mengingat integritas sebagai penegak keadilan. Tentu saja cara ini merupakan cara yang sangatlah ekstrim untuk memberi hukuman pada zaman modern seperti sekarang ini. Belum lagi dengan penguatan pada perlindungan hak asasi manusia menyebabkan semakin tidak mungkin untuk menjatuhkan hukuman sekejam dan sekeji itu.

Di Indonesia, penerapan hukuman mati sudah sangat meminimalisir adanya rasa sakit atau unsur penyiksaan, sehingga menimbulkan banyak perdebatan dikalangan ahli hukum. Bagaimana penegakan hukum yang tepat sehingga memberikan efek jera bagi para koruptor di Indonesia? Berita aparat penegak hukum yang tertangkap tangan karena menerima dan/atau meminta uang suap selalu mewarnai layar kaca dan mendapatkan sanksi yang tidak memberikan efek jera. Mirisnya di Indonesia, pelaku koruptor sendiri tidak jarang adalah hakim, mulai dari hakim pengadilan tingkat pertama sampai ke Mahkamah Agung, semuanya memiliki “pengalaman” tertangkap tangan menerima suap, baik demi membebaskan terdakwa atau meringankan hukum terdakwa dan tujuan-tujuan lainnya dengan dalih “hakim itu merdeka dan tidak bisa dicampuri oleh pihak manapun”. Mungkin “pihak manapun” yang dimaksudkan adalah pihak-pihak yang tidak memberi keuntungan bagi mereka, who knows? Sebenarnya sejauh apa sih kemerdekaan yang dimiliki hakim? Apakah tidak ada batasannya?

Baca Juga  Tantangan Pemuda dalam Menghadapi Krisis dan Ketahanan Pangan Nasional

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945) Pasal 24 ayat (1) menyatakan “Kekuasaan Kehakiman merupaka kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.” Ayat pada pasal ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Kemerdekaan atau kebebasan yang dimiliki hakim dapat digunakan selama demi menegakkan hukum dan keadilan. Bukan merdeka pada semua hal. Dikatakan hakim memiliki kebebasan cari campur tangan pihak kekuasaan negara lainnya, bebas dari paksaan, direktiva atau rekomendasi dari pihak ekstra yudisial kecuali diatur dalam peraturan perundang-undangan, itupun juga selama demi menegakkan hukum dan keadilan. Ketika ada campur tangan dari pihak luar peradilan yang dapat mempengaruhi hakim dalam memutus sebuah perkara, maka hakim dinyatakan tidak adil dan tidak bertindak sesuai dengan perintah UUD 1945 serta kode etik yang dimiliki oleh hakim itu sendiri. Banyak hal yang mempengaruhi penegakan hukum pada sebuah negara. Menurut Soerjono Soekanto, setidaknya ada 5 (lima) faktor antara lain produk hukum, penegak hukum, sarana atau fasilitas dalam penegakan hukum, masyarakat dan kebudayaan. Kelima faktor ini saling berketerkaitan satu sama lain untuk mewujudkan praktek penegakan hukum yang dapat mewakili keadilan serta kemanfaatan bagi masyarakat umum.

Baca Juga  Tantangan Pemuda dalam Menghadapi Krisis dan Ketahanan Pangan Nasional

Satu faktor saja bercela dapat menyebabkan kekacauan dalam penegakan hukum pada sebuah negara. Hakim di Indonesia merupakan corong undang-undang. Bagaimana sebuah undang-undang tersebut bekerja setelah dibuat oleh pihak legislatif semua tergantung bagaimana hakim menafsirkan dan menerapkannya pada sebuah perkara yang diperiksa olehnya. Sebaik-baiknya sebuah produk hukum dibuat, semua kembali tergantung pada unsur man atau manusia yang menggunakan atau memanfaatkan produk hukum tersebut. Apabila unsur man atau manusianya sendiri, dalam hal ini adalah penegak hukum, tidak memiliki intergitas dan justru mengesampingkan keadilan justru para penegak hukum lebih mengutamakan kepentingan pribadi, produk hukum tersebut tidak akan pernah mewakili keadilan bagi para pihak pencari keadilan. Tindak tanduk aparat penegak hukum, mulai dari polisi, jaksa, pengacara sampai hakim dalam semua tingkatan akan mencerminkan bagaimana sebuah produk hukum tersebut telah dibuat untuk mewakili keadilan bagi masyarakat atau tidak.

Dengan power atau kekuasaan sebesar itu maka para aparat penegak hukum benar-benar harus dapat bertanggung jawab atas setiap perbuatan yang dilakukannya. Perbuatan dari hakim-hakim yang menerima, meminta suap yang kemudian uang suap tersebut mempengaruhi mereka dalam memutus sebuah perkara menunjukkan betapa remehnya mereka menggunakan kuasa yang mereka miliki untuk menyenangkan diri pribadi. Mengesampingkan nilai keadilan demi kenyamanan dan kesenangan sesaat serta mencoreng dunia peradilan di Indonesia. Tidak adanya pemberlakuan sanksi yang berat khusus bagi aparat penegak hukum menambah parah perilaku aparat penegak hukum menjadi seenaknya dalam menegakkan hukum di Indonesia.

Baca Juga  Tantangan Pemuda dalam Menghadapi Krisis dan Ketahanan Pangan Nasional

Hal ini akan memiliki efek domino, dimana masyarakat akan semakin meragukan penanganan perkara di peradilan Indonesia, menanamkan sebuah pemikiran bahwa “halah, beri saja jaksa/hakim tersebut uang, putusannya akan sesuai dengan seberapa uang yang kita berikan.”, sanksi yang tidak seberapa akan membuat aparat penegak hukum menganggap itu sanksi yang ringan dan bisa mereka hadapi dengan besaran uang yang telah mereka terima, pemikiran-pemikiran “kami mendapatkan uang karena kami telah membantu mereka, hal tersebut bukan lah hal yang salah”. Perlu disadari bahwa karakter seseorang akan memberi pengaruh sangat besar bagaimana hukum itu bergerak. Ini merupakan wajah peradilan di Indonesia yang paling nyata dan yang benar-benar terjadi tapi tidak terjamah oleh khalayak umum.

 

Sumber: M. Rum Nessa, dkk. 2016. Membumikan Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia. Yogyakarta: UII Press.

 

*) Penulis adalah Farah Jihan Subyanti Putri, Mahasiswa S2 FH UGM

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kabarbaru.co

Kabarbaru Network

https://beritabaru.co/

About Our Kabarbaru.co

Kabarbaru.co menyajikan berita aktual dan inspiratif dari sudut pandang berbaik sangka serta terverifikasi dari sumber yang tepat.

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store