Berita

 Network

 Partner

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store

NU di Persimpangan Elite, Ketika Jam’iyah Dikapling Ego Sektoral

kabarbaru.co
Mohammad Iqbalul Rizal Nadif, Pengurus PB PMII. (Foto: Ist).

Jurnalis:

Kabar Baru, Opini — Konflik yang belakangan muncul di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyisakan kegelisahan di kalangan jamaah. Di pesantren, di kampung-kampung, bahkan di ruang digital, warga Nahdliyin menyampaikan keprihatinan yang sama: mengapa organisasi sebesar NU, yang sejak kelahirannya menjadi jangkar moral bangsa, justru tampak sibuk mengurus gesekan internal elit? Pertanyaan ini mencuat bukan karena warga NU alergi terhadap dinamika organisasi, tetapi karena keretakan itu terjadi saat umat justru membutuhkan arah, keteduhan, dan kepemimpinan yang berdiri di atas kepentingan kolektif.

Untuk membaca fenomena ini, kita tidak cukup hanya menggunakan kacamata politik praktis. Dua pemikir besar dalam ilmu sosial, Anthony Giddens dan Pierre Bourdieu, menawarkan perangkat analitis yang membantu kita mencerna mengapa konflik elite NU dapat muncul dan mengapa ia tampak semakin jauh dari denyut kebutuhan jamaah. Giddens lewat teori strukturasi menjelaskan bahwa struktur—dalam hal ini tradisi NU, tata organisasi, dan nilai adab pesantren—tidaklah statis. Struktur hidup melalui agen-agen yang menggunakannya, dan pada saat yang sama, agen juga membentuk struktur itu kembali. Ketika elite PBNU memanfaatkan struktur organisasi untuk memperkuat posisi, melakukan manuver politik, atau membangun lingkaran eksklusif, mereka sesungguhnya sedang menciptakan struktur baru yang mungkin bertentangan dengan nilai-nilai asal NU. Tradisi musyawarah, kearifan kolektif, dan etika kerendahan hati yang menjadi fondasi NU pelan-pelan tergeser oleh budaya kompetisi kekuasaan yang lebih modern tetapi kurang beradab.

Jasa Penerbitan Buku

Di sisi lain, Bourdieu memberikan penjelasan atas mengapa elite tampak semakin dominan dalam percaturan internal. Menurutnya, setiap arena sosial selalu dipenuhi oleh pertarungan modal—modal simbolik, modal budaya, modal sosial, hingga modal ekonomi—yang diperebutkan oleh para aktor. Arena NU yang dulunya identik dengan kredibilitas keilmuan pesantren kini berubah menjadi ruang di mana modal digital, akses politik, dan jejaring ekonomi ikut menentukan posisi seseorang. Elite yang memiliki akses ke modal-modal tersebut dapat dengan mudah memproduksi “dominasi”, termasuk melalui wacana, framing media, atau penguasaan struktur organisasi. Ketika pertarungan modal inilah yang lebih menonjol daripada pelayanan kepada umat, maka konflik internal menjadi tak terhindarkan.

Dalam konteks ini, kritik terhadap elite PBNU tidak hanya relevan tetapi mendesak. Bukan karena elite tidak boleh berperan, tetapi karena sebagian dari mereka tampak lebih sibuk mengakumulasi modal simbolik—mengatasnamakan NU untuk kepentingan kelompok—ketimbang memanfaatkan posisinya untuk menguatkan pelayanan kepada jamaah. Inilah yang membuat sebagian warga NU merasa bahwa konflik PBNU hari ini bukan sekadar perselisihan manajemen, melainkan perebutan pengaruh di antara segelintir elite yang menegasikan nilai keumatan. Dalam istilah Bourdieu, arena NU seolah telah terkapitalisasi oleh kelompok kecil yang mempertahankan hegemoninya lewat reproduksi modal. Sementara dalam perspektif Giddens, agen-agen ini menciptakan struktur baru yang jauh dari semangat pendiri NU yang menekankan maslahat umat sebagai orientasi utama.

Namun demikian, terlalu mudah menyalahkan individu. Persoalan PBNU hari ini adalah masalah struktural sekaligus kultural. Struktur organisasi memberikan ruang yang longgar bagi tafsir kekuasaan, sementara kultur politik Indonesia yang penuh patronase membuat kontestasi jabatan menjadi medan basah yang menggiurkan. Ketika dua faktor ini bertemu, elite PBNU masuk dalam pusaran yang menggoda: memperluas jaringan, memperkuat loyalitas, dan memastikan dominasi pada muktamar atau pemilihan struktur. Sementara itu, jamaah di akar rumput—yang memerlukan pendidikan, penguatan ekonomi, dan bimbingan keagamaan—sering tidak menjadi prioritas dalam perumusan agenda.

Untuk keluar dari perangkap ini, NU perlu kembali pada dua prinsip dasar yang justru dibantu dijelaskan oleh Giddens dan Bourdieu. Pertama, struktur harus diperkuat agar tidak mudah dimanipulasi oleh agen. AD/ART, mekanisme pengawasan, batasan masa jabatan, dan tata kelola keuangan harus diperjelas. Transparansi bukan ancaman bagi tradisi; ia justru memastikan tradisi tetap hidup dalam ruang modern. Kedua, arena internal NU perlu diperluas agar modal-modal umat di tingkat bawah dapat berperan. Jika ruang pengambilan keputusan hanya dikuasai oleh pemilik modal simbolik dan politik, maka NU akan menjauh dari jamaahnya. Tetapi jika diaspora NU—akademisi, pelaku UMKM, santri digital, komunitas perempuan, hingga aktivis lingkungan—dilibatkan, maka arena PBNU menjadi lebih sehat dan lebih merepresentasikan wajah umat.

Pada akhirnya, NU bukan milik elite. Ia milik jamaah. Konflik internal seharusnya tidak menggeser orientasi besar NU: menjaga tradisi, melayani umat, dan menjadi penyangga moral bangsa. Jika elite PBNU mau sejenak menurunkan ego-sektoral dan melihat kembali mandat sejarah NU, maka mereka akan sadar bahwa perebutan pengaruh bukanlah jalan untuk memperkuat jam’iyah. Yang lebih penting adalah mengembalikan NU sebagai rumah besar yang teduh, bukan arena perebutan modal segelintir orang. Dengan begitu, struktur dan agen, modal dan arena, semuanya kembali bekerja untuk umat—sebagaimana dulu dimaksudkan para muassis.

Penulis adalah Mohammad Iqbalul Rizal Nadif, Pengurs PB PMII.

Kabarbaru Network

https://beritabaru.co/

About Our Kabarbaru.co

Kabarbaru.co menyajikan berita aktual dan inspiratif dari sudut pandang berbaik sangka serta terverifikasi dari sumber yang tepat.

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store