Memasuki Tahun ketiga Tanpa Mubes, PPMI-Sulteng Gorontalo Jadi Organisasi Tanpa Arah

Jurnalis: Pengki Djoha
Kabar Baru, Gorontalo -Persatuan Pelajar Mahasiswa Indonesia Sulawesi Tengah (PPMI-Sulteng) Gorontalo tengah berada di ujung tanduk. Hampir tiga tahun lamanya, organisasi pelajar dan mahasiswa rantau asal Sulawesi Tengah di Gorontalo ini tak kunjung melaksanakan Musyawarah Besar (Mubes), forum tertinggi yang menjadi amanat konstitusi. Padahal, aturan organisasi dengan jelas membatasi masa jabatan pengurus hanya berlangsung satu tahun.
Mandeknya roda organisasi ini memperlihatkan betapa PPMI-Sulteng telah kehilangan roh perjuangan. Organisasi yang dulu digagas oleh para founding fathers sebagai wadah konsolidasi dan advokasi mahasiswa rantau, kini justru terjebak dalam kubangan stagnasi. Bagi sebagian kalangan, kondisi ini menandakan PPMI-Sulteng sedang mengalami “mati suri”.
Kritik keras datang dari Jamaludin B. Hamsa, kader Persatuan Pelajar Mahasiswa Indonesia Buol-Gorontalo (PPMIB-G). Dalam pernyataannya, ia mendesak agar pengurus segera melaksanakan Mubes demi mengembalikan marwah organisasi. “PPMI-Sulteng tidak boleh dibiarkan lumpuh hanya karena ketidakmampuan satu figur. Kalau hampir tiga tahun tidak demisioner, ini jelas pelanggaran serius terhadap konstitusi,” tegas Jamal.
Ia menilai, kepemimpinan PPMI-Sulteng saat ini berada pada titik nadir. Ketua umum yang semestinya menjadi motor penggerak, justru berubah menjadi simbol kelemahan. “Ketua umum ini loyo, tidak punya power, dan tidak mampu memimpin. PPMI-Sulteng di bawahnya ibarat kapal kehilangan nakhoda, dibiarkan terapung tanpa arah,” ujarnya dengan nada menukik.
Menurut Jamal, PPMI-Sulteng seharusnya berdiri di garda terdepan dalam mengawal kepentingan mahasiswa Sulawesi Tengah di Gorontalo. Namun kenyataannya, berbagai isu penting justru dibiarkan lewat begitu saja. “Di mana peran PPMI-Sulteng ketika mahasiswa menjerit karena terbentur biaya kuliah? Bukankah organisasi ini punya tanggung jawab moral untuk memberi advokasi? Kenyataannya, yang ada hanya diam dan absen,” sindirnya.
Ia mencontohkan, program Berani Cerdas yang dicanangkan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah, hingga layanan kesehatan gratis untuk masyarakat sulteng, mestinya menjadi perhatian serius. Namun, PPMI-Sulteng tak terlihat mengambil langkah apapun untuk memastikan kebijakan itu benar-benar dirasakan mahasiswa dan masyarakat. “Hilangnya fungsi advokasi ini membuktikan organisasi ini sudah kehilangan taring,” tegasnya.
Tak hanya soal program, Jamaludin juga menyoroti absennya konsolidasi internal. Sembilan paguyuban daerah di bawah naungan PPMI-Sulteng merasa terpinggirkan karena tidak pernah lagi diajak duduk bersama. Diskusi, gerakan kolektif, hingga konsolidasi akbar yang dulu menjadi tradisi, kini seolah sirna. “PPMI-Sulteng tidak lagi menjadi rumah besar, melainkan bangunan kosong yang rapuh tanpa penghuni,” katanya.
Bagi Jamal, kegagalan pengurus saat ini bukan hanya soal teknis, melainkan juga soal itikad. “Saya tidak melihat adanya niat baik dari pengurus sekarang untuk memperjuangkan organisasi ini. Mereka lebih sibuk menjaga eksistensi pribadi daripada memikirkan keberlangsungan organisasi. PPMI-Sulteng kehilangan ruh perjuangan yang dulu menjadi dasar kelahirannya,” paparnya.
Kondisi ini, menurutnya, sangat memalukan jika terus dibiarkan. “Organisasi sebesar ini seharusnya jadi kebanggaan mahasiswa Sulawesi Tengah di Gorontalo. Tapi kalau faktanya mandek dan tanpa arah, maka sejarah akan mencatat generasi pengurus hari ini sebagai pengkhianat cita-cita para pendiri,” ucapnya tegas.
Ia pun menegaskan pentingnya regenerasi kepemimpinan melalui Mubes. “Mubes adalah forum tertinggi, tempat kita menyegarkan kembali ide perjuangan dan melahirkan kepemimpinan baru yang sah. Menunda Mubes sama artinya menunda perbaikan. Kalau pengurus sekarang tidak berani, berarti mahasiswa Sulawesi Tengah sendiri yang harus mengambil sikap tegas,” ujarnya.
Lebih jauh, Jamaludin mengingatkan bahwa organisasi tidak boleh dikendalikan oleh kepentingan sempit. “Kalau PPMI-Sulteng hanya dijadikan panggung eksistensi, maka ia akan kehilangan legitimasi di mata kader dan paguyuban. Organisasi ini bukan milik satu orang, tapi milik bersama. Dan kita semua punya kewajiban moral untuk menyelamatkannya,” katanya.
Menurutnya, mahasiswa rantau Sulawesi Tengah hari ini butuh wadah perjuangan yang nyata, bukan simbol kosong. “PPMI-Sulteng harus kembali ke ruh awalnya: konsolidasi, advokasi, dan perjuangan kolektif. Kalau tidak, maka organisasi ini hanya akan menjadi catatan sejarah yang memalukan,” tegasnya.
Ia pun menutup pernyataannya dengan seruan keras kepada seluruh kader. “Kalau pengurus masih enggan melaksanakan Mubes, maka mahasiswa Sulteng di Gorontalo harus bersatu mengambil alih arah organisasi ini. Jangan biarkan rumah perjuangan kita dikubur dalam kehampaan. Kita tidak boleh mewariskan organisasi yang mati suri kepada generasi berikutnya,” pungkasnya.