Mahasiswa Mengkritisi, Ada apa di balik Roadmap Jalan Trans Kieraha?

Editor: Khansa Nadira
Kabar Baru, Opini — Pembangunan infrastruktur sering kali dipersepsikan sebagai simbol kemajuan dan kesejahteraan. Jalan baru dibangun, jembatan diresmikan, dan konektivitas wilayah menjadi tolok ukur keberhasilan pemerintah. Namun, di balik narasi optimistis itu, selalu ada pertanyaan mendasar: untuk siapa sebenarnya pembangunan itu dilakukan, dan siapa yang menanggung biayanya baik secara sosial maupun ekologis?
Proyek Jalan Trans Kieraha di Maluku Utara menjadi salah satu contoh nyata dari dilema tersebut. Di satu sisi, proyek ini digadang-gadang akan memperkuat konektivitas antarwilayah dan mendorong aktivitas ekonomi di kawasan Halmahera. Namun di sisi lain, muncul kekhawatiran bahwa pembangunan ini justru memperdalam ketimpangan ekonomi dan membuka ruang bagi ekspansi industri ekstraktif yang berpotensi merusak lingkungan.
Kritik terhadap Paradigma Pembangunan
apakah pembangunan infrastruktur selalu identik dengan kemajuan, atau justru menjadi pintu masuk bagi kerusakan ekologis yang terbungkus dalam narasi “pembangunan nasional”?
Saya berpendapat bahwa proyek Trans Kieraha semestinya tidak hanya dilihat dari sisi konektivitas atau efisiensi transportasi semata, melainkan juga melalui kacamata bisnis berkelanjutan dan Green Constitution. desain pembangunan saat ini belum memperlihatkan adanya value chain yang berpihak pada masyarakat lokal maupun pada keberlanjutan sumber daya alam.
“Kita harus menilai proyek ini bukan hanya dari sisi konektivitas atau efisiensi transportasi, tetapi juga dari prinsip ekonomi hijau. Apakah trase jalan ini menghidupkan ekonomi rakyat, atau justru memfasilitasi ekspansi industri ekstraktif yang mengancam keseimbangan ekologis Halmahera? Green Constitution menegaskan bahwa setiap pembangunan wajib memperhatikan hak generasi mendatang dan kelestarian lingkungan,”
Pandangan ini terasa relevan ketika kita melihat arah kebijakan pembangunan yang kerap menomorsatukan kepentingan ekonomi jangka pendek. Dalam konteks bisnis modern, infrastruktur seharusnya memperhitungkan green investment return pengembalian ekonomi yang tidak hanya diukur dari laba finansial, tetapi juga manfaat sosial dan ekologis. Tanpa perhitungan tersebut, sehingga proyek Trans Kieraha berpotensi kehilangan legitimasi moral dan bahkan konstitusional.
“Kalau hanya mengejar efisiensi logistik industri tambang tanpa green impact assessment, maka jalan ini berpotensi menjadi jalur ekonomi yang timpang. Kita butuh model bisnis hijau yang memastikan rantai pasok lokal hidup, hutan tetap terjaga, dan ekonomi daerah tidak sepenuhnya bergantung pada tambang,”
Masalahnya, arah bisnis dari proyek Trans Kieraha tampak lebih banyak menguntungkan korporasi tambang ketimbang publik. Tanpa adanya transparansi cost–benefit analysis dan kajian daya dukung lingkungan, proyek ini berisiko bertentangan dengan semangat konstitusional Pasal 33 UUD 1945 yang dengan tegas menyatakan bahwa pengelolaan sumber daya alam harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, bukan untuk kepentingan segelintir elit ekonomi.
Kritik ini menyoroti ketidakseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan dalam kebijakan pembangunan tersebut. diskursus ini penting untuk dipahami tentang arah pembangunan Indonesia: apakah kita sedang menuju ekonomi hijau yang inklusif, atau justru melanjutkan pola lama yang mengorbankan alam demi angka pertumbuhan?
Pertanyaan Besar: Mengapa Bukan Proyek Strategis Nasional?
Mengapa Jalan Trans Kieraha — yang menghubungkan tiga wilayah penting, yakni Halmahera Timur, Halmahera Tengah, dan Tidore Kepulauan — tidak dimasukkan dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN)? Padahal, jalur ini menghubungkan tiga wilayah penting — Halmahera Timur, Halmahera Tengah, dan Tidore Kepulauan — kawasan yang menjadi tulang punggung industri pertambangan di Maluku Utara.
Lebih ironis lagi, di tengah besarnya kontribusi Halmahera Timur dan Halmahera Tengah terhadap pendapatan negara, pembangunan jalan vital tersebut justru masih mengandalkan anggaran daerah (APBD). Kondisi fiskal Maluku Utara yang tengah defisit serta pemangkasan dana transfer dari pusat semakin memperlihatkan ketimpangan arah kebijakan pembangunan. Di satu sisi, pemerintah mendorong investasi pertambangan besar-besaran, namun di sisi lain, infrastruktur dasar bagi masyarakat lokal justru terbengkalai tanpa dukungan memadai dari pusat.
Diskusi yang berlangsung hampir tiga jam DI Aula DPD I Partai Golkar berakhir tanpa kesimpulan yang konkret. Namun, satu hal menjadi jelas: publik kini menuntut transparansi penuh atas proyek Trans Kieraha. Apakah proyek ini benar menjadi motor pembangunan wilayah, atau sekadar jalur menuju kepentingan elit tertentu di Maluku Utara?
Pertanyaan itu penting, bukan hanya bagi masyarakat Halmahera, tetapi juga bagi arah pembangunan nasional ke depan. Pembangunan tanpa keberlanjutan hanya akan melahirkan kemajuan semu — sementara rakyat dan alam yang mestinya menjadi subjek utama, perlahan tersisih di pinggir jalan Trans Kieraha.
Penulis adalah Rian Daud S.H., Mahasiswa S2 Ilmu Hukum Unas dan Pengurus PB PMII.
Berita Baru
Berita Utama
Serikat News
Suara Time
Daily Nusantara
Kabar Tren
Indonesia Vox
Portal Demokrasi
Lens IDN
Seedbacklink







