Kontrak Diputus, Juru Parkir Lokal Tersingkir dari Stasiun Purwakarta

Jurnalis: Deni Aping
Kabar Baru, Purwakarta – Belasan juru parkir lokal di Stasiun Kereta Api Purwakarta kehilangan mata pencaharian setelah PT Kereta Api Indonesia (KAI) secara sepihak memutus kontrak kerja sama pengelolaan parkir dan menyerahkannya kepada anak perusahaannya, PT Reska Multi Usaha (RMU), per 1 Februari 2025.
Ironisnya, para juru parkir yang telah mengabdi dan mengelola area tersebut selama puluhan tahun tidak mendapat tempat dalam sistem baru yang diberlakukan. Tanpa kejelasan nasib dan tanpa kompensasi, mereka terpaksa angkat kaki dari lahan yang selama ini menjadi sumber utama penghidupan.
“Ini seperti diusir dari rumah sendiri,” ungkap Bambang Sugiharto, salah satu juru parkir terdampak. Bersama sejumlah warga dari Kampung Karanganyar, Kelurahan Nagri Tengah, Bambang mengaku telah bertahun-tahun bekerja di lahan parkir tersebut dengan membayar sewa resmi kepada PT KAI.
Kasus ini menyoroti persoalan serius mengenai etika pengelolaan aset negara dan tanggung jawab sosial terhadap masyarakat lokal yang selama ini menjadi bagian dari ekosistem layanan stasiun. Keputusan sepihak ini pun memicu kecaman dan meninggalkan luka sosial di tengah masyarakat.
Dalam keterangannya kepada awak media, Jumat (9/5/2025), Bambang menjelaskan bahwa sejak 2018 mereka rutin membayar sewa lahan sebesar Rp13 juta per tahun kepada PT KAI. Hubungan kerja berjalan lancar hingga kontrak mereka tiba-tiba diputus tanpa alasan jelas, dan pengelolaan diserahkan kepada RMU.
Menurutnya, sejak 2024 RMU sudah menunjukkan minat terhadap lahan parkir tersebut. Seorang perwakilan RMU bernama Rasyid bahkan sempat melakukan negosiasi dan berjanji akan merekrut empat dari dua belas juru parkir lokal. Namun, janji itu tidak pernah dituangkan dalam perjanjian tertulis.
“Kesepakatan itu menguap begitu saja. Kami tetap mengelola parkir sampai akhir 2024. Lalu muncul tagihan baru. Kami sempat minta penundaan pembayaran hingga setelah Lebaran, tapi awal 2025 RMU datang lagi dengan syarat yang lebih berat,” ujar Bambang yang akrab disapa Kang Bebeng.
Dalam pertemuan berikutnya yang melibatkan perwakilan RMU, Yudi, dan Kepala Stasiun Purwakarta, Supriadi, warga ditawari pekerjaan dengan syarat yang dinilai memberatkan dan diskriminatif. Di antaranya jam kerja 12 jam per hari, syarat kepemilikan ijazah (padahal dua warga tidak memilikinya), serta pembatasan usia bagi pekerja lansia.
“Lebih parah lagi, saya diminta memotong upah empat warga yang katanya akan direkrut. Ini jelas tidak adil dan sangat merugikan kami yang sudah puluhan tahun bekerja di sini,” tegasnya.
Akibat penolakan warga terhadap syarat tersebut, sejak Februari 2025 RMU resmi mengelola sistem parkir baru dengan tenaga kerja dari luar daerah.
Masalah baru pun muncul. RMU memasang palang parkir otomatis di pintu masuk stasiun, yang dinilai mengganggu akses utama masyarakat. Permintaan warga untuk penyediaan jalur alternatif tak kunjung direspons.
“Memang lahan itu milik KAI, tapi jalan sudah diaspal dan diperbaiki oleh Pemda sejak era Bupati Dedi Mulyadi. Palang ini justru menutup akses yang sudah lama digunakan warga,” ujar Bambang.
Pemasangan palang sempat dihentikan sementara setelah Bambang meminta kontraktor menunjukkan izin tertulis. Insiden ini menggarisbawahi pentingnya komunikasi terbuka dan kesepakatan yang adil antara perusahaan dan masyarakat dalam pengelolaan ruang publik.
Kasus ini menjadi cermin perlunya perusahaan, khususnya BUMN, untuk mempertimbangkan dampak sosial dalam setiap kebijakan yang mereka ambil, terlebih ketika menyangkut penghidupan masyarakat lokal.
Hingga berita ini diterbitkan, belum ada tanggapan resmi dari pihak PT KAI maupun RMU terkait nasib belasan juru parkir yang kini kehilangan pekerjaan.