Berita

 Network

 Partner

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store

Hidupkan Spirit Perjuangan Sukarno!

Sukarno
Penulis: Muhammad Aufal Fresky, Mahasiswa Prodi Magister Administrasi Bisnis Universitas Brawijaya.

Editor:

Kabar Baru, Opini- Dialah Putra Sang Fajar, yang kisah hidupnya pernah saya pelajari beberapa tahun silam. Dalam buku karangan Cindy Adam berjudul ‘Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia’, saya mendapatkan siraman inspirasi. Diketahui, gerak-geriknya saat muda membuat penjajah Hindia-Belanda ketar-ketir. Orasinya menggemparkan; menyulutkan api nasionalisme ke dalam jiwa pribumi.

Tidak hanya dikenal sebagai singa podium, dia juga masyhur sebagai penulis andal. Sejak belia, bakatnya di bidang karang-mengarang mulai terlihat. Terbukti, dia kerap kali mencurahkan beragam gagasannya melalui majalah Oetoesan Hindia milik HOS. Cokroaminoto, mentornya. Di dalam majalah tersebut, ia menggunakan nama samaran: Bima, salah satu tokoh pewayangan epos Mahabharata. Bima merupakan kesatria pemberani prajurit besar sekaligus seorang pahlawan.

Jasa Pembuatan Buku

Sekitar 500 artikel telah dituliskannya di majalah tersebut. Tulisannya bernas, tajam, dan menusuk; membongkar kebobrokan para imprealis. Dalam waktu singkat, Bima menjadi buah bibir di seluruh penjuru negeri. Tulisannya memuat realitas kehidupan rakyat yang terjajah. Di satu sisi, Bima juga mengutuk keras kerakusan penjajah.

Sukarno sengaja tidak menampilkan nama aslinya, sebab ia sadar pemikiran-pemikirannya radikal dan akan membuat penjajah kebakaran jenggot. Tentu saja, hal itu menjadi ancaman baginya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya. Sebab, kemungkinan besar penjajah tidak segan-segan memupus harapannya tersebut. Bahkan, mengerangkeng hingga membunuhnya, bukan hal yang tidak mungkin.

Namun, Sukarno tidak bisa ditekan oleh penjajah. Dia memberontak dengan caranya sendiri. Dari jalur jurnalistik, dia melawan hegemoni penjajahan. Sajian tulisannya semakin bergema; membangun persatuan nasional dan membentuk jiwa patriotisme di kalangan rakyat.

Dengan pena, dia menunjukkan keberpihakannya kepada rakyat. Seiring berjalannya waktu, dia tidak hanya menulis di majalah Oetoesan Hindia, namun juga beberapa majalah lainnya; seperti: Suluh Indonesia Muda, Persatuan Indonesia, dan Fikiran Ra’jat. Tidak hanya itu, dia mulai berani membuka identitasnya yang selama ini disamarkan.

Lantas, yang menjadi pertanyaan kita, dari mana Sukarno mendapatkan kemampuan menulisnya tersebut? Hemat saya, kemahirannya dalam hal mengarang dibangun dari kebiasaannya membaca beragam literatur. Ya, sejak belia dia tergolong sebagai ‘kutu buku’ alias pembaca yang ‘rakus’. Dia melahap berbagai jenis bacaan. Mulai dari bidang politik, sosial, budaya, ekonomi, agama, dan lain-lain. Pantas saja, wawasan dan cakrawala berpikirnya luas. Hal itu kemudian menjadi bekal baginya untuk menulis. Selain itu, dia juga sangat peka terhadap kondisi masyarakat.

Tidak hanya aktif menulis. Dia juga jago berpidato. Bahkan, sejak tinggal di kamar kosnya, di Jalan Peneleh Gang 7, Surabaya, ia melatih kemampuan orasinya. Tak peduli olok-olokan dari teman-temannya. Ia meyakini sepenuh hati, kelak dia akan berbicara di depan orang banyak sebagai pemimpin besar. Berapa tahun kemudian, imajinasi itu menjadi nyata. Ia terkenal sebagai orator ulung.

Ringkas cerita, Sukarno muda menginisiasi berdirinya Partai Nasional Indonesia (PNI). Aktivitas politiknya tidak lepas dari pengawasan penjajah. Propaganda dan agitasi politiknya semakin membuat penjajah kalang kabut dan kebakaran jenggot. Berkali-kali Sukarno diintimidasi. Bahkan, ia pernah mendekam di penjara Banceuy dan Sukamiskin, Bandung. Karena gerakannya dianggap mengkhawatirkan. Ia juga sempat dibuang ke Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur.

Jeruji besi dan pengasingan tidak melemahkan mentalnya. Justru semakin membara. Tidak ada kata menyerah baginya. Kemerdekaan Indonesia adalah harga mati. Jiwa dan raga dikorbankan untuk Ibu Pertiwi. Dia bukan hanya politisi dan organisatoris kawakan. Lebih dari itu, dia adalah pahlawan sejati. Generasi kini, wajib kiranya meneladani spirit perjuangannya. Mengimplementasikan dalam keseharian.

Akhir kata, izinkan saya mengutip pernyataan Filsuf India, Swami Vivekananada: “Jangan bikin kepalamu menjadi perpustakaan. Pergunakan pengetahuanmu untuk diamalkan.”

*) Penulis adalah Muhammad Aufal Fresky, Mahasiswa Prodi Magister Administrasi Bisnis Universitas Brawijaya/Penulis buku ‘Empat Titik Lima Dimensi’.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kabarbaru.co

Kabarbaru Network

https://beritabaru.co/

About Our Kabarbaru.co

Kabarbaru.co menyajikan berita aktual dan inspiratif dari sudut pandang berbaik sangka serta terverifikasi dari sumber yang tepat.

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store