Berita

 Network

 Partner

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store

Diseminasi Pahlawan dan Pengangkatan Tanpa Sungkan

kabarbaru.co
Arya Firmansyah, Kabid HPKP  Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Pimpinan Komisariat Ekosentris Universitas Muhammadiyah Gresik. (Foto: Ist).

Editor:

Kabar Baru, Opini — Isu pengangkatan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional kembali membuka perdebatan klasik antara legitimasi kekuasaan dan ingatan sejarah bangsa. Dalam perspektif ilmu politik, kebijakan simbolik seperti pemberian gelar pahlawan tidak pernah netral ia merupakan bentuk politik memori, yakni upaya negara menafsirkan ulang masa lalu demi kepentingan identitas nasional masa kini.

Soeharto adalah figur paradoks dalam sejarah Indonesia. Di satu sisi, ia berperan besar dalam pembangunan ekonomi, stabilitas nasional, dan konsolidasi pemerintahan pasca-1965. Namun di sisi lain, kekuasaannya juga ditandai oleh pelanggaran HAM, represi politik, dan pembungkaman kebebasan sipil. Ketika negara mempertimbangkan gelar kepahlawanan bagi sosok seperti Soeharto, yang dipertaruhkan bukan hanya penghargaan semata, tetapi integritas moral sejarah itu sendiri.

Jasa Penerbitan Buku

Ironi mencuat ketika nama Soeharto kerap disejajarkan dengan Marsinah sosok buruh perempuan yang menjadi simbol perjuangan kelas pekerja dan korban dari rezim yang sama. Dalam kerangka politik etis, tindakan semacam ini bukan hanya menciptakan distorsi nilai kepahlawanan, tetapi juga melemahkan kepekaan publik terhadap keadilan historis. Menyandingkan keduanya seolah menyamarkan luka yang belum sembuh, sekaligus menafikan keberanian rakyat kecil yang berani menuntut haknya di tengah represi.

Pahlawan sejati bukanlah mereka yang sekadar membangun gedung dan jalan, melainkan mereka yang membangun martabat kemanusiaan. Kepahlawanan sejati lahir dari keberpihakan terhadap nilai-nilai keadilan, kebebasan, dan kemanusiaan bukan dari kekuasaan yang menanamkan ketakutan. Maka, sebelum bangsa ini mengangkat seseorang sebagai pahlawan, pertanyaan mendasarnya adalah: apakah ia meninggalkan warisan keadilan, atau justru jejak penindasan?

Sebagai kader intelektual dan bagian dari Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, kita memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga objektivitas sejarah. Politik yang berkeadaban harus berdiri di atas kebenaran, bukan di atas pelupaan. Sebab sejarah yang dilupakan akan melahirkan generasi yang kehilangan arah moral dan gagal memahami makna sejati dari perjuangan.

Soeharto mungkin bagian penting dari sejarah bangsa, tetapi Marsinah adalah suara nurani yang mengingatkan kita agar tidak menukar pembangunan dengan penindasan. Di tengah arus pelupaan dan romantisasi kekuasaan, tugas kita bukan mengangkat tanpa sungkan, tetapi menyuarakan kebenaran dengan keberanian.

Penulis adalah Arya Firmansyah, Kabid HPKP  Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Pimpinan Komisariat Ekosentris Universitas Muhammadiyah Gresik.

Kabarbaru Network

https://beritabaru.co/

About Our Kabarbaru.co

Kabarbaru.co menyajikan berita aktual dan inspiratif dari sudut pandang berbaik sangka serta terverifikasi dari sumber yang tepat.

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store