Banyak Polisi yang Terseret Kasus Sambo, Aktif Lagi dan Naik Pangkat

Jurnalis: Listiani Safitri
Kabar Baru, Jakarta – Indonesia Police Watch (IPW) mendesak Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) untuk segera memutus mata rantai praktik silent blue code.
Praktik ini merujuk pada budaya internal yang mentoleransi pelanggaran anggota, bahkan memberikan ruang bagi aparat bermasalah untuk mendapatkan kenaikan pangkat usai menjalani sanksi.
Ketua IPW, Sugeng Teguh Santoso, menyampaikan kritik keras tersebut dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi III DPR RI bersama Panitia Kerja (Panja) Reformasi Polri di kompleks parlemen, Jakarta.
Sugeng secara spesifik menunjuk fenomena kembalinya karier sejumlah perwira yang sempat terseret kasus Ferdy Sambo sebagai contoh nyata.
“Silent Blue Code ini adalah praktik menoleransi pelanggaran. Saat publik menyorot tajam, institusi memang menjatuhkan sanksi. Namun, seiring berjalannya waktu, masyarakat kemudian mengetahui para pelanggar ini justru naik pangkat dan menduduki jabatan baru,” tegas Sugeng di hadapan anggota dewan.
Sugeng menilai reformasi Polri membutuhkan lebih dari sekadar perombakan struktur. Hal yang paling mendesak adalah membangun kultur positif yang menolak impunitas.
Ia memperingatkan bahwa kembalinya perwira bermasalah ke posisi strategis, termasuk mereka yang pernah terlibat dugaan pemerasan, akan menggerus kepercayaan publik terhadap fungsi pengawasan kepolisian.
Reformasi Kultural Jadi Kunci
Merespons pandangan tersebut, Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman menyepakati bahwa perbaikan institusi Polri harus menyasar aspek kultural, bukan struktural.
Menurutnya, posisi Polri di bawah Presiden sudah tepat sesuai amanat reformasi dan TAP MPR RI Tahun 2000. Masalah utama justru terletak pada perilaku oknum anggota di lapangan.
Politikus Gerindra tersebut lantas membeberkan sejumlah kasus yang mencederai citra Korps Bhayangkara.
Mulai dari rekayasa kasus kematian tahanan di Polres Palu, polemik Ronald Tannur, hingga lambatnya penanganan kasus penganiayaan karyawan toko roti di Jakarta Timur.
Semua insiden tersebut menunjukkan lemahnya integritas anggota, bukan kesalahan struktur lembaga.
“Kita ingin mengimplementasikan pemisahan kekuasaan yang jelas. Persoalannya bukan pada struktur, melainkan pengendalian anggota,” ujar Habiburokhman.
Senada dengan itu, Anggota Komisi III DPR RI Bimantoro Wiyono mendorong penerapan sistem reward and punishment yang tegas.
Negara wajib memberi penghargaan bagi aparat berintegritas, namun harus menjatuhkan hukuman berat tanpa kompromi bagi pelanggar aturan.
Penyesuaian Aturan Pasca KUHP Baru
Selain sorotan budaya kerja, pertemuan tersebut juga membahas aspek regulasi.
Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri, Jimly Asshiddiqie, merekomendasikan Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo untuk segera mengevaluasi Peraturan Kapolri (Perkap) dan Peraturan Kepolisian (Perpol).
Langkah evaluasi ini menjadi krusial menyusul persetujuan DPR RI atas Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan KUHAP serta pengesahan KUHP baru.
Jimly berharap tim internal Polri dapat menyelaraskan aturan kepolisian dengan instrumen hukum nasional yang kini lebih progresif dan berorientasi pada keadilan restoratif serta perlindungan hak asasi manusia.
Insight NTB
Suara Time
Kabar Tren
IDN Vox
Portal Demokrasi
Lens IDN
Seedbacklink







