Berita

 Network

 Partner

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store

Banjir Sumatra dan Rapuhnya Climate Security Governance

kabarbaru.co
Penulis adalah Muhammad Sutisna, Co Founder Forum Intelektual Muda. (Foto: Ist).

Jurnalis:

Kabar Baru, Opini — Banjir bandang dan longsor yang mengguncang beberapa provinsi di Sumatra dalam akhir November–awal Desember 2025 telah menyebabkan kehancuran besar dan duka mendalam bagi banyak komunitas. Hujan ekstrem dalam beberapa hari berturut-turut membuat sungai-sungai meluap dan lereng pegunungan longsor, sehingga ratusan desa dan ribuan rumah terendam atau rusak berat, banjir dan tanah longsor tidak lagi sekadar potensi, melainkan kenyataan pahit.

Menurut laporan awal, korban jiwa sudah mencapai ribuan, dan jumlah pengungsi serta warga terdampak terus bertambah. Infrastruktur vital seperti jembatan, jalan, dan saluran air banyak yang rusak, mempersulit akses bantuan dan penyelamatan. Situasi ini memperlihatkan betapa cepat dan kejamnya tanggapan alam saat sistem lingkungan dan sosial kita lemah.

Jasa Penerbitan Buku

Kondisi di lapangan semakin memburuk karena kejadian ini bukan semata akibat hujan ekstrem, melainkan dampak dari degradasi lingkungan di kawasan hulu: hutan resapan air terkikis, tata kelola lahan kurang memadai, dan konservasi watershed (daerah tangkapan air) diabaikan.

Banyak rumah dan permukiman yang tadinya dianggap aman kini terendam tanpa peringatan memadai, menunjukkan bahwa sistem peringatan dini dan mitigasi bencana belum merata. Sementara para penyintas berjuang menyelamatkan diri dan harta benda, banyak pula keluarga kehilangan tempat tinggal dan akses dasar seperti air bersih dan sanitasi. Kerugian ini memperlihatkan bahwa bencana bukan soal alam saja, tetapi juga soal tanggung jawab manusia terhadap lingkungan yang rapuh.

Mitigasi dan Intelejen

Upaya untuk melakukan pencegahan dan perbaikan terhadap alam, baik itu hutan dan laut memang harus dilakukan sesegera mungkin. Hal ini sebagai upaya dalam rangka tidak akan terjadi lagi kasus bencana alam cum bencana kemanusiaan.

Dan memang jika kita telaah lebih jauh setidaknya ada beberapa institusi atau lembaga yang kiranya dapat menjadi eksekutor atau menjadi bagian dalam upaya tersebut. Seperti Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutanan, Kementerian ESDM, Kementerian Sosial, BNPB, BMKG dan lainnya. Belum ditambah laporan riset sebagai data pelengkap dari NGO atau LSM.

Namun dengan banyaknya institusi itulah ujian sebenarnya sedang diperlihatkan. Ketika terjadi bencana alam dan korban kemanusiaan yang luar biasa. Ditambah akses jalan dan infrastruktur rusak. Negara harus dituntut untuk bergerak cepat efektif dan efesien. Namun birokrasi dan koordinasi antar Kementerian Lembaga membutuhkan waktu yang tidak menentu. Disinilah titik temu masalahnya. Ada dua logika yang saling saling bertentangan. Yaitu logika kemanusiaan dan logika birokrasi.

Jika dua hal tersebut sudah saling bertabrakan maka sudah jelas bahwa akan ada satu dampak yang terjadi. Negara gagap menghadapi dan membantu publik! Maka dari itu perlu adanya suatu hal yang menjadi patokan atau “penunjuk arah” dalam rangka memberi keputusan tepat, cepat, dan akurat. Yaitu intelejen.

Yah benar, intelejen ini hanya berfokus kepada isu lingkungan baik dari pengerusakan lingkungan, dan daerah rawan bencana. Di mana dari focus terhadap dua hal tersebut maka intelejen bencana ini akan melakukan koherensi dengan birokrasi, anggaran, dan yang peling penting Adalah dapat melaporkan kepada presiden mengenai apa rekomendasi keputusan yang harus diambil ketika terjadi bencana.

Intelejen bencana itulah yang menjadi titik temu atau jembatan dari alam dan negara. Sehingga masing-masing Kementerian Lembaga yang mempunyai andil dalam membantu kebencanaan tidak menjadi gagap dan saling mengklaim. Baik itu klaim data maupun bantuan. Karena bagaimana pun bencana alam bukanlah semata-mata bencana dari luar kekuasaaan dan kesanggupan manusia. Sebaliknya adanya bencana alam terdapat andil tangan manusia dan khsususnya negara.

Sebagaimana yang tercantum dalam buku At Risk: Natural Hazards, People’s Vulnerability and Disasters, karya Piers Blaikie dan Kawan-kawan. Buku ini sangat berpengaruh dalam studi bencana dan kerentanan (vulnerability). Argumen utama: “disaster” bukan hanya soal hazard (bahaya alam), tetapi soal bagaimana struktur sosial, politik, dan ekonomi menjadikan kelompok tertentu rentan. Mereka memperkenalkan model analitis seperti “Progression of Vulnerability”, di mana akar penyebab (root causes) seperti kemiskinan, ketidakadilan, struktur kekuasaan, akses sumber daya, kelemahan kebijakan pembangunan, atau marginalisasi sosial menciptakan kondisi “unsafe” yang ketika bertemu hazard alam menghasilkan bencana.

Ahli bencana dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Hatma Suryatmojo, menyebut bahwa kerusakan ekosistem hutan di daerah tangkapan air memperparah efek luapan air dan longsor. Artinya, bencana kali ini bisa dipandang sebagai hasil dari rangkaian kesalahan manusia terhadap alam, bukan semata kesialan cuaca.

Selain itu drama film Korea yang berjudul Forecasting Love and Weather (2025), dapat menjadi suatu referensi bahwa prakiraan cuaca bukan sekadar ramalan, tetapi hasil analisis data kompleks yang sangat menentukan kesiapsiagaan terhadap: banjir; Hujan ekstrem; Angin kencang; Gelombang panas. Pesannya Adalah keputusan mitigasi harus berbasis sains dan data, bukan asumsi.

Selanjutnya peran institusi yang profesional dan koordinatif antar Lembaga juga mesti digalakan dalam rangka memitigasi bencana. Yaitu, bekerja 24/7. Saling berkoordinasi antara divisi. Menangani tekanan publik dan pemerintah. Pesannya adalah pencegahan bencana memerlukan lembaga yang solid, disiplin, dan mampu berkolaborasi.

Dengan demikian, menurut pandangan ini, korban jiwa atau kerusakan besar bukan semata akibat alam, tetapi akibat struktur sosial-politik-ekonomi yang tidak adil atau lemah.

Musibah di Sumatra ini harus menjadi “wake-up call” kolektif: kita tidak bisa lagi berpangku tangan menunggu bencana terjadi. Pemerintah dan masyarakat perlu segera bergerak bersama memperkuat mitigasi. Dari reforestasi, perlindungan kawasan hulu, hingga perbaikan sistem drainase dan peringatan dini yang merata. Khusus untuk Badan Intelijen Negara (BIN), ini harus menjadi pertimbangan matang, bahwa intelijen bencana sangat diperlukan khususnya untuk di Indonesia yang terletak di zona Ring of Fire.

Pendidikan publik tentang risiko lingkungan, perubahan iklim, dan kebiasaan menjaga alam perlu juga digalakkan supaya setiap warga memiliki kesadaran bahwa alam bukan musuh, melainkan mitra yang harus dijaga. Jika kita gagal belajar dari tragedi ini, bukan tidak mungkin bencana akan datang lagi, lebih sering dan lebih buruk.

Bencana Alam dan Climete Security Governance

Climate security governance menjadi elemen kunci dalam kajian strategis ketahanan nasional karena perubahan iklim telah memengaruhi stabilitas ekonomi, sosial, dan politik negara. Dinamika iklim ekstrem berpotensi mengganggu infrastruktur kritis, ketahanan pangan, serta kesiapan militer. Oleh karena itu, negara memerlukan tata kelola yang terintegrasi antara lembaga keamanan, lembaga lingkungan, dan pemerintah daerah. Pendekatan ini telah diperkuat oleh laporan IPCC (Climate Change 2022: Impacts, Adaptation, and Vulnerability. Cambridge University Press). yang menegaskan bahwa risiko iklim secara langsung dapat meningkatkan potensi konflik dan krisis kemanusiaan.

Climate security governance juga penting karena ancaman iklim bersifat lintas-batas dan tidak dapat ditangani oleh satu sektor saja. Integrasi kebijakan ini membantu negara melakukan mitigasi dan adaptasi yang terkoordinasi untuk menghadapi ancaman jangka panjang. Amerika Serikat, misalnya, telah memasukkan perubahan iklim sebagai “threat multiplier” dalam U.S. Department of Defense Climate Risk Analysis tahun 2021. Langkah ini menegaskan bahwa stabilitas keamanan nasional tidak dapat dilepaskan dari kemampuan negara mengelola risiko iklim.

Selain itu, tata kelola keamanan iklim memperkuat mekanisme diplomasi dan kerja sama internasional yang penting bagi ketahanan nasional. Negara seperti Inggris telah membentuk UK Climate Security Strategic Approach (2023) untuk mengintegrasikan analisis risiko iklim dalam kebijakan luar negeri dan pertahanan. Inisiatif ini menunjukkan bahwa ancaman iklim memerlukan respons strategis yang melampaui batas negara. Dengan demikian, governance yang baik membantu negara memperluas jejaring respons dan meningkatkan kemampuan adaptasi kolektif.

 Di tingkat regional, Jerman melalui German Federal Foreign Office telah mengembangkan Climate Diplomacy and Security Policy Framework (2021) yang menempatkan isu iklim sebagai prioritas keamanan global. Kerangka ini digunakan untuk mendorong stabilitas kawasan melalui investasi adaptasi, diplomasi energi, dan mitigasi konflik akibat kelangkaan sumber daya. Pendekatan tersebut membuktikan bahwa negara yang memprioritaskan climate security governance cenderung lebih siap menghadapi risiko geopolitik baru. Oleh sebab itu, kajian strategis ketahanan nasional harus memasukkan tata kelola keamanan iklim sebagai fondasi utama dalam perencanaan jangka panjang.

Penulis adalah Muhammad Sutisna, Co Founder Forum Intelektual Muda.

Kabarbaru Network

https://beritabaru.co/

About Our Kabarbaru.co

Kabarbaru.co menyajikan berita aktual dan inspiratif dari sudut pandang berbaik sangka serta terverifikasi dari sumber yang tepat.

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store