Kaderisasi Itu Bukan Mencetak Pengikut, Tapi Melahirkan Pemimpin

Jurnalis: Azzahra Bahiyyah
Kabar Baru, Gorontalo, 18 Desember 2025 – Jika dalam rangkaian kaderisasi hanya dilakukan satu arah dan kader hanya mendengarkan, kemudian hanya nurut dan menerima. Lalu yang jadi pertanyaan kemudian hari, “jika semua mengikuti, lalu siapa yang berpikir?”
Banyak organisasi hari ini bangga menyebut dirinya berhasil melakukan kaderisasi. Pesertanya banyak, acaranya rapi, sertifikat keikutsertaan dibagikan. Tapi ada satu pertanyaan yang jarang diajukan dengan jujur apa yang sebenarnya kita lahirkan dari proses itu?
Di titik inilah kaderisasi sering kehilangan maknanya. Ia berubah dari proses pembebasan kesadaran menjadi alat reproduksi kekuasaan internal.
Realitanya, banyak kaderisasi hari ini lebih sibuk mencetak loyalitas daripada kesadaran. Di mana yang dihargai bukan yang kritis, tapi yang nurut/patuh. Forum kaderisasi jadi ruang satu arah senior bicara, kader mendengar. Senior benar, kader belajar menerima. Akhirnya organisasi penuh orang baik, rajin, dan sopan—tapi minim inisiatif, minim keberanian, dan takut mengambil keputusan. Struktur jalan, tapi regenerasi kepemimpinan terhenti.
Padahal kaderisasi tidak pernah bertujuan melahirkan pengikut, melainkan menyiapkan pemimpin—bahkan pemimpin yang suatu hari bisa melebihi seniornya sendiri.
Pemimpin lahir dari proses berpikir, berdebat, gagal, lalu bangkit dengan kesadaran. Kaderisasi yang sehat justru memberi ruang untuk diskusi, bertanya, bahkan menggugat. Kalau kader hanya diajarkan “ikut”, maka organisasi sedang menyiapkan krisis masa depan. Ketika senior pergi, yang tersisa hanyalah kebingungan: tidak ada yang berani memutuskan, tidak ada yang siap memikul tanggung jawab.
Kaderisasi yang benar tidak pernah netral. Ia selalu berpihak pada pembebasan kesadaran, atau pada pelanggengan kekuasaan. Sayangnya, banyak organisasi hari ini tanpa sadar memilih yang kedua—atau perlahan menurunkan standar kaderisasinya sendiri.
Kaderisasi bukan hanya soal mentransfer pengetahuan organisasi, tetapi mewariskan cara berpikir: cara membaca situasi, cara memutuskan dalam keterbatasan, dan cara bersikap ketika nilai organisasi berbenturan dengan kepentingan pribadi atau tekanan eksternal.
Organisasi yang sehat justru tidak takut melahirkan kader yang suatu hari akan mengkritiknya. Kritik adalah tanda kesadaran tumbuh. Sebaliknya, organisasi yang hanya nyaman dengan kader patuh sedang menyiapkan kehancurannya sendiri: struktur tetap berdiri, tapi tidak ada pemimpin yang mampu membaca perubahan zaman.
Pemimpin yang Baperan adalah Ancaman Sunyi Kaderisasi
Masalah lain yang sering memperparah kegagalan kaderisasi adalah hadirnya pemimpin yang baperan—pemimpin yang mudah tersinggung, anti-kritik, dan menganggap perbedaan pendapat sebagai ancaman personal. Dalam organisasi seperti ini, kader belajar satu hal: diam lebih aman daripada jujur. Akibatnya, forum kehilangan keberanian intelektual, dan kaderisasi berubah menjadi ruang sensor diri.
Pemimpin yang baperan cenderung memelihara kepatuhan semu. Ia lebih sibuk menjaga wibawa daripada merawat kebenaran. Kritik dibaca sebagai pembangkangan, pertanyaan dianggap perlawanan. Padahal, kepemimpinan yang dewasa justru diuji dari kemampuannya menerima kritik tanpa kehilangan arah. Ketika pemimpin alergi kritik, organisasi kehilangan kompas pembelajaran.
Organisasi tidak kekurangan orang pintar—yang kurang adalah orang yang berani memimpin dengan kesadaran nilai. Dan itu tidak mungkin lahir dari kaderisasi yang menundukkan pikiran dan memanjakan ego pemimpin.
Coba kita jujur pada diri sendiri:
- Apakah kaderisasi kita hari ini memberi ruang tumbuh, atau justru menekan perbedaan?
- Apakah kita membentuk kader agar berani berpikir, atau sekadar pandai mengiyakan?
Jangan-jangan, yang kita sebut “kader ideal” selama ini hanyalah orang yang tidak merepotkan struktur. Dan jangan-jangan, kita takut melahirkan pemimpin karena pemimpin berarti potensi kritik, perubahan, dan ketidaknyamanan. Padahal organisasi yang takut pada kader kritis sesungguhnya sedang takut pada masa depannya sendiri.
Kesimpulan
Kaderisasi bukan soal regenerasi jabatan; ia adalah proses pewarisan kesadaran dan tanggung jawab. Jika yang diwariskan hanya kepatuhan, organisasi akan jalan di tempat. Namun jika yang diwariskan adalah keberanian berpikir dan memimpin, organisasi akan terus hidup bahkan setelah kita tidak ada di dalamnya.
Pemimpin lahir dari proses yang jujur, keras, dan bermakna—bukan dari proses yang rapi tapi mematikan dan menundukkan.
“Organisasi tidak runtuh karena kekurangan pengikut, tapi karena kehabisan pemimpin.” Maka hentikan kaderisasi yang hanya mencetak barisan pengikut. Mulailah melahirkan manusia-manusia yang berani berpikir, mengambil sikap, dan memikul tanggung jawab. Karena kaderisasi bukan soal menjaga kekuasaan hari ini, tapi menyiapkan kepemimpinan untuk hari esok.
Sudah saya tambahkan bagian khusus tentang pemimpin yang baperan sebagai subjudul yang menyatu dengan alur gagasan, tanpa mengulang atau melemahkan argumen utama.
Insight NTB
Daily Nusantara
Suara Time
Kabar Tren
Portal Demokrasi
IDN Vox
Lens IDN
Seedbacklink







