Reformasi Usai: Menuju Politik Substansial dan Peran Strategis PMII

Editor: Khansa Nadira
Kabar Baru, Opini — Peta politik nasional Indonesia telah mengalami transformasi dramatis pasca-Orde Baru. Era Reformasi, yang dulu dielu-elukan sebagai babak pembebasan, telah melahirkan ekosistem politik baru yang tidak sepenuhnya kita antisipasi. Hal itu ditandai dengan bermunculannya partai politik bak “cendawan di musim penghujan.”
Pada titik inilah demokrasi prosedural berkembang pesat, tetapi substansi politik justru tersandera oleh logika pasar. Political marketing tumbuh sebagai “industri” baru, tempat citra dan persona kandidat dijual layaknya produk komersial, seringkali bahkan lebih penting daripada gagasan yang mereka bawa . Airlangga Pribadi dalam Jejak Kekuasaan Kaum Oligarki (2015) mengingatkan bahwa liberalisasi politik pasca-1998 membuka ruang kompetisi, namun sekaligus memberi jalan bagi ekspansi kapital dalam menguasai arena politik. Politik tidak lagi semata kontestasi gagasan, tetapi juga komoditas.
Pada dekade awal 2000-an, political marketing mulai mengambil alih pusat gravitasi politik. Lembaga survei tumbuh sebagai aktor kunci, konsultan politik menjadi “arsitek” kemenangan elektoral. Namun dalam sepuluh tahun terakhir, lanskap itu bergeser drastis. Digitalisasi menghadirkan medan perang baru. Seperti dicatat oleh Hikmat Budiman dalam Lubang Hitam Kebudayaan (2002), teknologi selalu membentuk cara baru manusia melihat realitas. Kini, media sosial bukan lagi sekadar alat komunikasi, melainkan infrastruktur politik itu sendiri. Personal branding, meme, hingga konten berbasis AI membentuk persepsi publik secara instan, menyasar milenial dan Gen Z yang menjadi demografi strategis.
Maka, kita perlu berkata secara terang, bahwa era Reformasi, sebagai proyek pembaruan politik, telah selesai. Bukan karena tujuannya tercapai, tetapi justru karena ia telah kehilangan vitalitasnya. Demokrasi prosedural berlanjut, namun demokrasi substansial—mengutip istilah Miriam Budiardjo—tidak ikut tumbuh. Politik terjebak dalam estetika pencitraan, sementara pendidikan politik, kaderisasi ideologis, dan perdebatan gagasan yang mendalam justru menyempit.
Pandangan ini sejalan dengan analisis peneliti politik dari Leiden, Ward Berenschot, yang menilai bahwa nafas Reformasi telah habis dan Indonesia sedang memasuki masa redupnya demokrasi, ditandai melemahnya institusi demokrasi dan menyempitnya ruang kebebasan (Metro, 2024).
Pandangan serupa datang dari filsuf Martin Suryajaya yang membaca perjalanan politik Indonesia sebagai rangkaian siklus sejarah yang berulang. Ia membaginya ke dalam empat fase: fase kemajuan (1945–1965), fase reaksi balik yang konservatif (1966–1998), fase kemajuan berikutnya pasca-Reformasi (1999–2025), dan fase reaksi balik baru yang mulai terlihat sejak 2025.
Di sinilah, dalam titik balik zaman ini, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) hadir sebagai titik strategis untuk meniupkan nafas baru. Sebagai organisasi mahasiswa dengan akar sejarah yang kuat dan tradisi intelektual yang kaya, PMII memiliki posisi yang unik dan tanggung jawab historis untuk memimpin transisi ini.
Pertama, PMII menjadi benteng terhadap politik yang semakin personal dan artifisial. Melalui pendidikan kader yang sistematis dan berkelanjutan, PMII wajib melahirkan kader-kader yang tidak hanya pandai bermedia sosial, tetapi lebih dari itu, memiliki kedalaman ideologi, integritas moral, dan visi kebangsaan yang jelas. Kader PMII adalah antitesis dari politisi pencitra—mereka adalah calon pemimpin yang substansial.
Kedua, PMII menjadi jembatan antara politik elektoral dan politik ideasional. Dalam setiap dinamika, baik di kampus maupun di masyarakat, PMII harus aktif mentransformasikan wacana-wacana publik yang dangkal menjadi diskusi yang berbasis pada data, nilai-nilai keislaman Ahlussunnah Wal Jama’ah, dan semangat kebhinekaan.
Ketiga, PMII menjadi pusat reproduksi kepemimpinan substantif. Seperti dikatakan Yudi Latif dalam Inteligensia Muslim dan Kuasa, bangsa besar membutuhkan elite moral-intelektual. Kaderisasi PMII tidak boleh berhenti pada pembentukan “SDM organisatoris”, tetapi harus bergerak menuju pembentukan “SDM pemikul peradaban”—mereka yang mampu membaca zaman dan menawarkan arah.
Penulis melihat momentum ini dengan jelas. Tugas kita sekarang adalah tidak lagi sekadar merespons perubahan, tetapi memimpin arah perubahan tersebut. Konsolidasi internal, pembaruan kurikulum kaderisasi, dan penguatan tradisi intelektual harus menjadi prioritas utama. PMII tidak boleh puas menjadi penonton di tengah perubahan besar dalam politik Indonesia.
Maka, setiap kader PMII adalah agen pencerahan yang siap melampaui euforia marketing politik menuju politik yang beradab, substantif, dan membawa kemaslahatan nyata bagi rakyat Indonesia. Era Reformasi sebagai babak pembukaan telah usai. Kini, saatnya kita menulis babak baru—sebuah era politik Indonesia, dan PMII adalah salah satu penulis utamanya.
Penulis adalah Acep Jamaludin, Ketua Kaderisasi Nasional PB PMII.
Insight NTB
Berita Baru
Berita Utama
Serikat News
Suara Time
Daily Nusantara
Kabar Tren
IDN Vox
Portal Demokrasi
Lens IDN
Seedbacklink







