Berita

 Network

 Partner

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store

Orientasi Babiisme Menuju Binatang Terpelajar

Penulis adalah Atma Ditya, kader PMII UNIBA Madura.

Editor:

Kabar Baru, Opini – “Selamat datang, binatang liar! Ingat baik-baik, di sini hanya ada satu kebenaran. Jika ingin diakui, ulangi perkataan kami: binatang terpelajar anti binatang liar!”

Suara berat itu menggema dari menara raksasa baja hitam. Getarannya membuat dedaunan bergetar, burung-burung terdiam, dan hutan mendadak sunyi. Sejak saat itu, semua binatang tahu, ada sesuatu yang dipaksa masuk ke telinga mereka.

Jasa Penerbitan Buku

***

Mereka menamai diri mereka Babiisme; himpunan babi yang merasa paling tahu cara dunia bekerja. Dari pusaka mesin dan baja yang mereka bangun, paham bicinsme disebarkan sebagai jalan tunggal menuju kesuksesan.

Setiap musim baru, anak-anak binatang liar diwajibkan mengikuti Orientasi Babiisme—peryaratan wajib agar mereka diakui sebagai binatang terpelajar.

“Jangan salah langkah,” bisik seekor induk burung pipit. “di dalam sana, yang kau butuhkan bukan memperbesar dada, melainkan kemampuan untuk melihat cakrawala,”

Meski sejak kecil binatang liar telah dididik induk mereka dengan Tri Dharma alam liar dan Tri fungsi binatangisme, berpikir kritis, logis, ilmiah, serta menjadi binatang yang baik. Para induk tahu betul, begitu anak-anak mereka melewati dua menara yang menjulang tinggi, suara alam liar tak lagi di hitung.

Nasihat induk binatang liar sangat sederhana: “Jangan hanya meniru, tapi pahami. Jangan hanya menerima, tapi telaah,”

***

Gerbang menara dibuka. Suara engselnya berderit panjang, seperti jeritan yang dipaksa keluar dari logam tua. Dari dalam, kawanan babi memanggil satu persatu nama binatang liar. Digiring ke lapangan. Dikelompokan sesuai jenisnya.

Ketika dirasa sudah rapi, penyematan ikat kepala dan ritual pengulangan pun dimulai. Para pendamping komat-kamit memberi aba-aba. Dari menara, suara kawanan babi menggema.

“Ulangi kata-kata kami! Binatang terpelajar anti binatang liar!”

Kawanan kelinci, burung, kuda, bahkan ayam yang ingin belajar cara hidup bersama, mula-mula mencoba percaya. Mereka mencoba mendengar, menirukan slogan dan menghafal kata-kata yang dipancarkan dari menara.

Tatkala binatang liar mencoba mengulangi, ayam berkokok patah-patah, kuda meringkik terlalu panjang, burung kehilangan suara. Kelinci yang tak memiliki suara lantang hanya mendengus kikuk.

“Wueeekk… Wueeekk… Samakan dengan suara kami!” teriak kawanan babi.

Mustahil. Suara ayam tak akan pernah jadi kokok babi, ringkik kuda tak akan pernah berubah jadi dengus besi.

“Bodoh! Suara kalian masih liar!” maki seekor babi.

Kuda yang heran, mencoba bertanya dengan nada lembut “Kami bukan babi. Mengapa suara kami harus sama.”

“Itu pertanyaan berbahaya. Di luar rumus kami hanyalah kekacauan,” bentak babi gondrong dengan tatapan tajam.

“Barangsiapa tidak mengikuti jejak kami, akan tersesat dan dianggap musuh pembangunan!”

Wueeek… Wueeekk… Wueeekk….

***

Jarum Jam seakan berat untuk berputar. Binatang liar duduk berjajar rapi di ruangan sempit bercat kelabu. Mata mereka lelah. Telinga mereka dijejali suara seragam dari mulut kawanan babi. Setiap jam, babi lain naik ke podium. Menjelaskan tentang kebesaran Babiisme. Tentang bagaiaman dunia luar adalah hutan kacau penuh ancaman.

“Kalian beruntung berada di sisni,” kata babi gemuk dekil “Kami menyelamatkan kalian dari liar yang tak tahu arah. Dari dunia luar yang busuk, penuh kebohongan dan ancaman,”

Susasan hening. Semua binatang muda hanya menatap kosong. Kata-kata itu semakin lama semakin berat, seperti batu besar yang dipaksa masuk ke kerongkongan. Sehari penuh mereka dijejali satu kalimat yang terus diputar. Tentang slogan kosong propaganda.

Di balik keheningan, kelinci berbisik lirih kepada para binatang di sampingnya: “Induk kita mengajarkan kita berpikir. Mengapa di sini hanya diajarkan menelan?”

Kuda menggangguk paham. Ayam yang biasanya heboh tiba-tiba gelisah. Burung yang suka bersiul tak lagi bersuara. Suasana tegang bercampur kebingungan. Mereka rindu hutan. Rindu induk. Rindu suara alam liar yang beragam.

“Kita harus Kembali ke induk kita,” ucap kuda menggebu-gebu.

“Tapi bagaimana? Setiap Langkah kita di awasi. Aku tak ingin seperti bebek. Dianggap pengkhianat. Tak diakui bianatang terpelajar,” sahut ayam dengan nada takut dan gemetar.

“Begini saja,” kelinci mencoba menengahi. Para bintang menatap serius. Maju pelan. Saling merapatkan badan.

“Babi memang terpelajar, tapi mereka malas membaca. Kita adakan konsolidasi untuk melawa…”

Wueeekk… Wueeekk… Wueeekk…

Tak sempat kelinci melanjutkan, kawanan babi dengan sigap menghampiri mereka. Mereka diseret ke kendang babi yang kotor, jorok dengan dinding dipenuh poster keangkuhan babi.

Di sana mereka dipaksa menikmati jargon-jargon diskriminasi. Di paksa membayangankan dan berangan-angan oleh cerita gagak yang pernah hidup di alam liar.

“Aku memilih Babiisme,” katanya lantang. Ia doktrin binatang liar sebagai perusak, pengkhianat, bahkan pemangsa.

“Lihat! Dengarkan!” kata babi ceking dengan sorot mata yang membara. “itu yang menanti kalian jika mencoba keluar. Jangan percaya pada induk kalian. Mereka bodoh. Hanya kami kunci kesuksesan,”

Semua binatang terkejut. Pipit menunduk, kudah marah, ayam terdiam. “Dasar penjilat,” ujar pelan kelinci tak percaya.

Namun, semakin keras babi menanamkan ketakutan, semakin kuat pula benih keraguan tumbuh di hati para binatang muda.

Mereka tahu, dunia luar yang mereka tinggalkan tak pernah seburuk itu. Induk mereka tak pernah anti siapapun. Induk mereka tak pernah menipu.

***

Malam terjerembab dalam sunyi. Angin enggan berhembus, seolah takut pada gelap yang menekan. Di balik hening propaganda itu, binatang-binatang liar berbisik pelan. Merapatkan barisan, membangun konsolidasi dalam bayang-bayang.

Diam bukan lagi damai, melainkan pertanda ada kekuatan yang sedang menunggu untuk dilawan.

“Kita harus melawan!” kata pipit menjadi penghubung suara kecil.

Gerakan itu menyebar. Dari bisik-bisik pipit menjadi diskusi. Dari duskisi menjadi tekad.

Meskipun terlelap dalam dinginnya malam, babi bukan tanpa telinga. Para budak— binatang liar pengikut babi—menyusup, membawa kabar rahasia ke menara baja hitam.

Kawanan babi pun murka. Mereka menggiring para binatang liar ke halaman besar, semabari mengumpat mereka dengan ucapan diskriminasi:

“Binatang liar adalah ancaman. Binatang liar tak tahu arah. Binatang liar hanya perusuh!” Suara-suara keras menggema, mencoba merobek keberanian.

Tetapi malam itu berbeda. Para binatang liar berdiri tegak. Mereka tak gentar. Mata rusa menyala, duri landak tegak, suara serak burung hantu menjawab dingin.

Di sisi lain, gerakan liar kian membesar. Pipit menyatukan semangat, kuda menjadi penopang, kelinci membawa kabar, ayam membangunkan yang lelap.

Mereka tahu, jika bintang masa depan jatuh ke tangan babi, seluruh lembah akan hidup dalam suara tunggal.

Dalam teriakan yang serempak, mereka menyerbu menara baja hitam. Batu-batu dilemparkan, cakar-cakar merobek, suara-suara melawan propaganda. Menara itu bergetar.

Binatang liar menolak tunduk, mereka mendorong pagar besi, menyanyikan lagu-lagu perlawanan. Retakan muncul. Pagar pun roboh.

Babi panik. Berteriak frustasi. Mereka kehilangan kendali. Gagak yang membelot menatap dari atas menara, matanya penuh dilema. Ia telah memilih babi, tapi hatinya diguncang oleh suara harmoni yang tak bisa dipadamkan.

Malam pun pecah. Binatang liar keluar dari kawanan babi, kembali ke induk mereka di alam liar. Mereka menemukan kembali aroma tanah basah tanpa penjaga, dan kebebasan yang tak lagi dikekang oleh propaganda.

“Lihatlah,” kata pipit dengan sayapnya bergetar, “alam liar ini bukan ancaman, melainkan rumah kita,”

“Di sinilah kita tumbuh, di sinilah kita merdeka. Tak ada menara baja yang lebih kokoh dari akar hutan kita sendiri,” sambung kancil penuh keyakinan.

Alam liar menjadi ruang bagi napas yang bebas. Sunyi kembali, tetapi kali ini bukan mencekam melainkan serak kerinduan.

Bintang-bintang yang tadinya dianggap pengkhianat babi kini muncul satu per satu, seolah ikut bersorak atas lahirnya kembali keberanian.

Dari kejauhan menara besi itu akhirnya runtuh dengan gemuruh. Sorak-sorai binatang liar menggema ke seluruh lembah. Pipit mengepak riang, kuda menghentak tanah, kelinci melompat-lompat. Semua percaya, mereka telah memenangkan kebebasan.

Namun di balik reruntuhan, kawanan babi yangtersisa hanya tersenyum sinis.

“Robohkan pagar sesuka kalian,” ejek seekor babi gondrong, “tapi jangan lupa, menara hanyalah wadah. Besok atau lusa, kalian sendiri akan membangunnya kembali,”

Suasana mendadak bisu. Sorak kemenangan berhenti di tenggorokan. Kata-kata babi itu menempel seperti duri. Pipit menunduk, kuda menggertakkan gigi, kelinci terdiam.

Mereka sadar, bahaya terbesar bukan menara yang runtuh, melainkan kebiasaan menara itu hidup di kepala mereka: cara berpikir tunggal, suara tunggal, kebenaran tunggal.

Induk-induk binatang liar disamping mereka pun berujar lirih:

“Jangan bangga karena menara roboh. Banggalah jika kalian tak lagi membiarkan siapa pun membangun menara atas nama kalian.”

Malam itu sunyi kembali. Tapi bukan sunyi kemenangan, melainkan sunyi peringatan. kebebasan bisa jatuh ke jebakan yang sama, jika binatang liar lupa pada akar asalnya.

Dan bintang-bintang yang semula berkilau kini tertutup awan gelap, seakan ikut berbisik: perjuangan belum selesai, menara bisa lahir dari siapa saja, bahkan dari mereka yang mengaku baru saja merobohkannya.

*Penulis adalah Atma Ditya, kader PMII UNIBA Madura.

Kabarbaru Network

https://beritabaru.co/

About Our Kabarbaru.co

Kabarbaru.co menyajikan berita aktual dan inspiratif dari sudut pandang berbaik sangka serta terverifikasi dari sumber yang tepat.

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store