Guru Honorer, Riwayatmu Kini

Editor: Khansa Nadira
Kabar Baru, Opini — Ada ketidakjujuran dalam cara negara mengelola pendidikan. Di satu sisi, negara menetapkan standar tinggi tentang status, sertifikasi, dan kesejahteraan guru. Di sisi lain, negara membiarkan, bahkan secara tak langsung menciptakan sebuah ekosistem di mana jutaan pendidik hidup dalam status limbo. Mereka ada, tapi tak diakui. Mereka mengajar, tapi tak dimuliakan.
Mereka adalah guru honorer. Dan polemik tentang mereka adalah gambaran dari kebijakan yang gagap membaca realitas yang dihadapinya sendiri.
Anggota Komisi X DPR, Muhammad Hoerudin Amin, pada Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) 14 Juli 2025, dengan tegas mengatakan pengangkatan honorer “tidak mungkin berhenti.” Sebuah pengakuan brutal.
Brutal, karena ia menelanjangi narasi resmi pemerintah yang ingin menuntaskan masalah ini.“Mustahil,” katanya. Sebuah kata yang menyiratkan kepasrahan, tetapi juga fakta yang tak terbantahkan di lapangan.
Di sinilah letak absurditas itu. Negara melarang, sekolah membutuhkan. Kebijakan di atas kertas berkata “stop,” tapi denyut nadi di ruang kelas berkata “butuh.” Lalu, siapa yang kita bohongi?
Patologi Birokrasi
Sejak dulu, masalah guru honorer bukanlah soal angka semata, melainkan sebuah patologi: penyakit dalam tubuh birokrasi kita.
Penyakit ini lahir dari mekanisme rekrutmen yang kaku, sentralistis, dan lamban merespons kebutuhan.
Sekolah butuh sepuluh guru hari ini. Negara, mungkin, baru bisa menyediakan tiga guru tahun depan. Kekosongan tujuh guru itu menjadi ruang hampa yang harus diisi. Dan honorer adalah pengisi ruang hampa itu.
Mereka direkrut bukan karena keinginan, tetapi karena keterpaksaan. Kepala sekolah, yang dihadapkan pada pilihan antara melanggar aturan atau mengorbankan siswa, memilih dosa yang lebih kecil.
Mereka “menyiasati” dana BOS, sebuah eufemisme untuk praktik gali lubang tutup lubang demi memastikan anak-anak bangsa tetap belajar.
Gaji Rp300 ribu sebulan bukan lagi angka, melainkan simbol penghinaan. Sebuah ironi pahit di negara yang dalam konstitusinya berjanji mencerdaskan kehidupan bangsa. Mereka yang ditugasi mencerdaskan bangsa, justru kesulitan mencerdaskan hidupnya secara ekonomi. Inilah “guru tanpa status” itu: pahlawan yang dipaksa hidup dari sisa-sisa anggaran.
Krisis Tanggung Jawab
Bagi saya, persoalan ini berakar pada krisis tanggung jawab. Undang-Undang Guru dan Dosen menjanjikan kelayakan hidup dan kepastian hukum. Pancasila menjanjikan keadilan sosial. Namun, janji-janji agung itu menguap di hadapan realitas fiskal dan kekakuan birokrasi.
Mempertahankan kebijakan “stop honorer” tanpa memberikan solusi konkret yang masif dan cepat adalah bentuk lari dari tanggung jawab. Negara seolah berkata: “Masalah ini harus selesai, tapi selesaikanlah dengan sumber daya yang ada.” Tentu ini bukan solusi, melainkan pelimpahan masalah.
Kita terjebak dalam sebuah dilema; mengakui honorer berarti mengakui kegagalan sistem rekrutmen. Menghapus mereka secara paksa berarti melumpuhkan ribuan sekolah.
Keduanya pilihan yang buruk. Pilihan yang lahir dari penundaan dan kebijakan setengah hati selama bertahun-tahun.
Jalan Keluar yang Waras
Lalu, apa jalan keluarnya? Hemat saya, negara harus berhenti bersikap hipokrit. Akui bahwa ada kebutuhan darurat yang tidak bisa dipenuhi oleh skema PNS dan PPPK yang ada saat ini.
Buat sebuah status transisi yang legal, bermartabat, dan digaji layak oleh negara, bukan dari *“siasat”* dana BOS. Sebut saja “Guru Penugasan Khusus” atau apa pun itu, yang penting resmi dan manusiawi.
Kemudian, desentralisasi sebagian kewenangan rekrutmen. Beri pemerintah daerah fleksibilitas untuk mengisi kekurangan guru secara cepat dengan dana transfer dari pusat yang diawasi ketat. Kebutuhan di pelosok Papua tentu berbeda dengan di Surabaya. Sistem yang seragam adalah resep kegagalan.
Yang terakhir, bangsa ini perlu membangun kembali marwah profesi guru. Marwah tidak dibangun dari perayaan Hari Guru *ansich*, tetapi dari kepastian status, kelayakan upah, dan perlindungan negara. Tanpa itu, profesi guru akan selalu menjadi pilihan kedua, dan ruang-ruang kosong di sekolah akan terus ada, menunggu untuk diisi oleh mereka yang “tanpa status.”
Polemik guru honorer ini lebih dari sekadar urusan teknis kepegawaian, tetapi tentang wajah negara. Wajah yang menetapkan aturan, tetapi membiarkan aturannya dilanggar demi keberlangsungan layanan dasar. Wajah yang menuntut kualitas, tetapi abai pada kesejahteraan penyedia kualitas itu sendiri.
Menghentikan kemustahilan ini adalah agenda mendesak. Sebab membiarkannya terus berjalan sama saja dengan membiarkan pendidikan kita bangkrut secara moral.
Penulis adalah Ahmad Ulul Albab, Kepala Sekolah SD Negeri 5 Ampelgading, Kecamatan Tirtoyudo, Kabupaten Malang, dan Alumni PMII Rayon Kawah Chondrodimuko Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.