Berita

 Network

 Partner

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store

Klaim Keberhasilan Pendidikan di Pidato Presiden Jauh dari Realitas

Presiden Prabowo saat menyampaikan pidatonya di Gedung DPR RI.

Jurnalis:

Kabar Baru, Jakarta – JPPI mengapresiasi kerja-kerja Presiden RI Prabowo Subianto untuk memajukan Indonesia, khususnya sektor pendidikan. Tentu, masih jauh dari kata sempurna, dan masih banyak kekurangan yang harus terus dikritik dan butuh dikoreksi.

Pada sisi lain, JPPI juga sangat menyayangkan, pidato Presiden RI banyak dipenuhi overklaim keberhasilan tanpa melihat data dan realitas sesungguhnya di lapangan secara utuh.

Jasa Penerbitan Buku

Pernyataan Presiden soal rakyat kecil bisa tersenyum karena tidak takut lagi anaknya tidak bisa sekolah, hanyalah halusinasi.

Data Pusdatin Kemendikdasmen per Agustus 2025, menunjukkan bahwa jumlah anak tidak sekolah (ATS) kian meningkat, kini jumlahnya mencapai 3,9 juta anak.

Jika dibanding data ATS per Desember 2024, yang berjumlah 3,5 juta anak, maka jumlah ATS mengalami peningkatan 400.000 anak.

“Jadi, kehadiran sekolah rakyat belum mampu membendung terus bertambahnya jumlah anak tidak sekolah, yang mayoritas karena persoalan ekonomi alias tidak punya biaya,” papar Ubaid Matraji, Koordinator Nasional Koordintaor Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI).

Terkait mahalnya beban biaya sekolah yang banyak dikeluhkan rakyat.

Masalah ini mestinya sudah jelas jalan keluarnya, melalui pelaksanaan perintah Mahakamah Konstitusi (MK) soal sekolah tanpa dipungut biaya bagi semua anak, di negeri dan swasta. Kenapa ini tidak disinggung sama sekali oleh Presiden di pidatonya? Ini adalah perintah konstitusi, mengapa Presiden mengabaikannya?

Jadi, apresiasi Presiden terhadap kinerja MK yang disebut dalam pidato, itu hanyalah omon-omon belaka, jika tidak dibarengi dengan political will dari Presiden untuk melaksanakannya.

“Akibat beban biaya sekolah yang masih mahal ini, banyak anak yang putus sekolah dan yang memaksa melanjutkan sekolah, mereka tak dapat ijazah karena ditahan oleh sekolah karena tak mampu melunasi tagihan biaya yang sangat memberatkan,” kata Ubaid.

Klaim 100 sekolah rakyat membuka jalan anak keluarga miskin bisa bersekolah tanpa hambatan, terlalu berlebihan.

Data JPPI menunjukkan bahwa, ATS karena faktor ekonomi (kemiskinan dan pekerja anak) berjumlah 2,9 juta anak.

Ubaid menjelaskan bila 100 sekolah rakyat hanya mampu menampung 10 ribu murid, maka sekolah rakyat hanya mampu menampung sekitar 0,33% dari total kebutuhan anak yang putus sekolah akibat masalah ekonomi.

Jadi klaim keberhasilan sekolah rakyat terlalu berlebihan, dan masih sangat jauh dari target yang semestinya mendapatkan layanan pendidikan yang setara, berkualitas, dan berkeadilan untuk semua.

Oversimplifikasi keberhasilan program Makan Bergizi Gratis

Pada pidatonya, Presiden sangat membanggakan program MBG, nyatanya program ini sangat jauh dari target sasaran yang sesungguhnya dan juga masih banyak diliputi masalah, baik soal tatakelola maupun standar kesehatan.

“Jadi, sangat tidak masuk akal, jika program baru berjalan 8 bulan, lalu bimsalabim ada klaim, bahwa prestasi anak-anak di sekolah meningkat gara-gara MBG. Ini rujukan datanya dari mana? Ini berdasarkan perasaan, kajian, atau mimpi di siang bolong?” tanya Ubaid.

Optimalisasi 20% dari APBN untuk pendidikan tidak terbukti

Pernyataan presiden soal ini patut dipertanyakan. Pada APBN 2025, 20% anggaran pendidikan malah masih tetap bocor untuk pembiayaan sekolah-sekolah kedinasan dan juga dukungan program baru bernama MBG.

Dua item ini jelas menyalahi pembiayaan yang seharusnya diutamakan sebagaimana tercantum dalam UU Sisdiknas, tapi nyatanya Presiden tutup mata.

“Apakah ini disebut optimalisasi atau lebih tepat disebut sebagai politisasi anggaran pendidikan? Belum lagi, JPPI juga mempertanyakan, soal tumpukan persoalan guru yang hanya disimplifikasi dengan isitilah “kado untuk guru,” ujarnya.

Mereka tidak butuh kado kesejahteraan, itu adalah hak guru yang harus Presiden tunaikan untuk semua guru, bukan hanya yang memenuhi syarat ini dan itu,” kata Ubaid.

Satu lagi soal sekolah garuda, yang disebut dalam pidato, untuk mencetak pemimpin-pemimpin nasional di masa depan

Ini sangat jelas sekali layanan pendidikan yang tidak setara, tapi penuh dengan nuansa segregasi dan diskriminasi. Mengapa sekolah garuda begitu diunggulkan sebagai sekolah calon pemimpin nasional? Bagaimana nasib anak-anak yang belajar di sekolah rakyat yang kental dengan labelisasi sekolah miskin, dan juga nasib sekolah negeri yang kini tidak lagi diperhitungkan dan tidak diunggulkan?

Ubaid mengingatkan kehadiran sekolah garuda ini, mengingatkan kita pada keberadaan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI)/Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), yang telah dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi (8 Januari 2013) karena dianggap inkonstitusional. Jadi, sesuatu yang telah dikubur karena inkonstitusional, mengapa kini dibangkitkan kembali?

“Karena itu, JPPI mendesak Presiden untuk mengevaluasi dan meninjau kembali klaim-klaim yang tidak berdasar dan segera mengembalikan kebijakan pendidikan sesuai dengan konstitusi UUD 1945 pasal 31, serta mengambil langkah konkret untuk menyelesaikan persoalan krusial yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia. Pendidikan adalah hak seluruh rakyat, bukan komoditas politik untuk diklaim keberhasilannya tanpa bukti,” pungkas Ubaid.

Kabarbaru Network

https://beritabaru.co/

About Our Kabarbaru.co

Kabarbaru.co menyajikan berita aktual dan inspiratif dari sudut pandang berbaik sangka serta terverifikasi dari sumber yang tepat.

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store