Potensi Penyimpangan Dana Desa Dibalik Skema Koporasi Merah Putih

Jurnalis: Muh Arif
Kabar Baru/OPINI- Ketua Organisasi Pemuda Merah Putih, Dedy Alfiyan, menyampaikan kritik keras terhadap program Koperasi Merah Putih (Kopdes Merah Putih) yang digagas pemerintah dan didukung oleh Himpunan Bank Negara (Himbara). Dalam pernyataan resminya, Dedy menyebut program ini sebagai kebijakan yang berpotensi membahayakan pembangunan desa dan menyeret koperasi ke dalam permainan politik elektoral.
Dalam keterangan tertulisnya, Dedy menyoroti bahwa skema pembiayaan koperasi yang menggunakan Dana Desa sebagai sumber cicilan pinjaman dari Himbara membuka celah penyimpangan serius.
“Apa yang terjadi jika koperasi gagal membayar? Siapa yang akan menanggung kerugiannya? Jawabannya jelas—rakyat desa sendiri,” ujar Dedy.
Menurut laporan yang dikutip dari CELIOS, koperasi ini dibiayai dengan pinjaman fantastis sebesar Rp. 3 Miliar rupiah, dan angsuran pembayaran pinjaman itu diambil dari Dana Desa. Padahal, Dana Desa merupakan anggaran yang seharusnya digunakan untuk pembangunan fisik dan sosial desa, seperti jalan, irigasi, pendidikan, dan layanan kesehatan dasar.
Privatisasi Untung, Sosialisasi Rugi
Dedy menyebut skema ini sebagai bentuk privatisasi keuntungan dan sosialiasi kerugian, di mana koperasi yang didirikan tanpa perencanaan matang berisiko gagal, namun bebannya justru ditanggung masyarakat desa melalui pemotongan dana publik.
“Kita berurusan dengan praktik yang berkali-kali menghancurkan kepercayaan rakyat kepada negara,” tegasnya.
Ia juga mempertanyakan kelayakan pendirian koperasi ini yang menurutnya dilakukan secara top-down, tanpa kajian akademis, tanpa uji coba, dan tanpa pelibatan masyarakat desa. Pemerintah bahkan menargetkan pembentukan lebih dari 80.000 koperasi secara nasional tanpa peta jalan yang jelas.
Koperasi Dijadikan Alat Politik?
Kekhawatiran lain yang disampaikan Pemuda Merah Putih adalah indikasi bahwa koperasi ini bisa menjadi alat politik praktis menjelang pemilu. Menurut Dedy, Kopdes Merah Putih berpotensi dijadikan mesin distribusi loyalitas politik di tingkat desa, terutama dengan melibatkan kepala desa sebagai operator utama program.
“Dana dan jaringan adalah dua senjata utama politik elektoral di Indonesia. Dengan menyuntikkan dana melalui koperasi dan mengikat struktur desa, sangat mungkin program ini menjelma menjadi mesin pengaruh politik yang masif,” kata Dedy.
Ia menyebut fenomena ini sebagai bentuk baru manipulasi demokrasi, di mana rakyat desa dijadikan obyek mobilisasi dan Dana Desa digunakan bukan untuk kepentingan rakyat, melainkan untuk kalkulasi kekuasaan.
Kritik untuk Reformasi, Bukan Penolakan
Meski demikian, Pemuda Merah Putih tidak menolak konsep koperasi itu sendiri. Justru mereka menekankan bahwa koperasi harus dibangun berdasarkan solidaritas dan kebutuhan riil masyarakat, bukan sekadar program politik yang dipaksakan dari atas.
“Kami percaya koperasi adalah wujud ekonomi kerakyatan. Tapi ia harus lahir dari partisipasi, bukan paksaan. Dari kebutuhan, bukan kalkulasi elektoral,” ujarnya.
Untuk itu, mereka menyerukan agar pemerintah meninjau ulang skema pembiayaan Kopdes Merah Putih, menghentikan mekanisme cicilan melalui Dana Desa, dan melibatkan masyarakat desa secara demokratis dalam pengelolaannya.
Dedy juga menuntut adanya pengawasan ketat dan audit independen terhadap pendirian koperasi tersebut di berbagai daerah, guna mencegah praktik korupsi dan nepotisme gaya baru yang bisa mencederai integritas anggaran desa.
Desa adalah Penjaga Terakhir Republik
Di akhir pernyataannya, Dedy menyampaikan peringatan keras agar pemerintah dan aktor-aktor politik tidak menjadikan desa sebagai korban dari ambisi kekuasaan yang dibungkus jargon nasionalisme.
“Jangan jadikan rakyat sebagai collateral damage dari ambisi yang dibungkus nasionalisme murahan. Desa bukan obyek. Desa adalah penjaga terakhir republik. Hargai akal sehat mereka. Hargai kemerdekaan mereka,” pungkasnya.