Triadik Politik Kaum Peci, Sarung dan Sandal Jepit dalam Bingkai Partisipasi Politik

Editor: Ahmad Arsyad
Kabar Baru, Opini- Term kaum peci, sarung, dan sandal jepit, mengikuti trikotomi masyarakat agama Jawa yang digagas Cliffort Gertz (2013) dialamatkan kepada kelompok santri. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan santri ke dalam tiga pengertian. Pertama, orang yang mendalami agama Islam. Kedua, orang yang beribadah dengan sungguh-sungguh. Ketiga, orang yang saleh.
Kalangan santri lumrah diasosiasikan sebagai kaum berpeci, bersarung, bersandal jepit, sebab kebiasaan mereka berpenampilan tidak terlepas dari peci, sarung, dan sandal jepit. Malahan, ketiga ini telah menjadi identitas santri, yang dalam terminologi lain dikenal sebagai kalangan tradisionalis.
Kendati santri sering ditempatkan sebagai kalangan tradisionalis, serta diidentikkan dengan peci, sarung dan sandal jepit, demikian tidak menampik suatu fakta jikalau santri terlibat aktif dalam partisipasi politik. Baik sebelum ataupun sesudah kemerdekaan, bahkan pada era reformasi hingga hari ini yang tengah memasuki era revolusi industri 4.0, santri tidak pernah absen dalam partisipasi politik untuk memperjuangkan kemaslahatan, serta meneruskan semangat dan cita-cita kemerdekaan.
Dalam khazanah literatur kitab kuning yang menjadi basis utama keilmuan santri, politik banyak didiskusikan dalam disiplin keilmuan fiqh siyasah. Dimensi fiqh siyasah yang menjadi basis pengetahuan santri seputar perpolitikan memiliki keunikan tersendiri dalam diskursus perpolitikan umumnya. Betapa tidak, melalui disiplin fiqh siyasah, kaum peci, sarung dan sandal jepit berhasil memformulasikan pandangan sektarian seputar politik. Politik, bagi kalangan kaum peci, sarung dan sandal jepit selalu diorientasikan kepada tiga hal yang selanjutnya disebut triadik politik. Triadik politik ini meliputi politik kebangsaan, politik kerakyatan dan politik kekuasaan (Suhermanto: 2009).
Dari dimensi politik kebangsaan, kaum peci, sarung, dan sandal jepit berpartisipasi dalam mengawal roda perpolitikan Indonesia agar tetap berjalan pada rel-rel kebangsaan yang sudah disepakati bersama oleh para pendiri bangsa dengan tetap mempertahankan kemulyaan akhlak agar kedamaian dan kesejahteraan rakyat bisa terealisasi. Sikap dan paham politik kebangsaan kaum peci, sarung, dan sandal jepit sejatinya mengacu kepada paham perpolitikan yang digagas oleh Imam al-Mawardi (2000) dalam kitab Ahkam al-Sulthoniyah. Dalam kitab ini diterangkan,
ب ها ا س ت ث ب تت ح تي االمة م صال ح ب ه وان تظمت ال م لة، ق واعد ا س ت قرت ال يه ا صال، االم امة ف كان ت
ال عامة امور
“Negara adalah ashal yang kokoh dengannya kaidah-kaidah agama, teratur dengannya kemaslahatan umat, sehingga terpeliharalah urusan-urusan rakyat” (Al-Mawardi: 2000)
Seirama dengan apa yang disampaikan oleh al-Mawardi, pembukaan UUD 1945 mengutarakan empat tujuan dibentuknya Negara Kesatuan Indonesia. Pertama, melindungi segenap bangsa Indonesia. Kedua, memajukan kesejahteraan umum. Ketiga, mencerdaskan kehidupan bangsa. Keempat, ikut melaksanakan ketertiban dunia. Didasarkan pada dua aksioma ini, kaum peci, sarung dan sandal jepit merajut basis paham dan sikap politik kebangsaan. Dengan kata lain, sikap dan kebangsaan yang ditangguhkan oleh kaum peci, sarung dan sandal jepit sejatinya berpijak pada dua aksioma, baik dari al-Mawardi juga pembukaan UUD 1945.
Pada masa sebelum kemerdekaan, partisipasi politik kaum peci, sarung dan sandal jepit di bidang politik kebangsaan terkonsentrasi pada perjuangan mengusir penjajah, serta memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Perlawanan-perlawanan yang dilakukannya pun cukup masif. Perlawanan ini memuncak ketika KH. Hasyim Asy’ari beserta kiai-kiai lainnya mencetuskan resolusi jihad yang mewajibkan semua masyarakat untuk melakukan perlawanan terhadap para penjajah, serta melindungi bangsa dan negara dari penjajahan.
Pada masa sekarang, partisipasi politik kaum peci, sarung dan sandal jepit di bidang politik kebangsaan berbentuk penjagaan terhadap segala hal yang berpotensi merongrong semangat persatuan dan kebinekaan. Di antara beberapa hal yang berpotensi mencederai semangat persatuan dan kebinekaan ialah politik identitas yang bertumpu pada agama sebagai isu sentralnya, ideologi khilafah, serta beberapa paham keagamaan bercorak radikal dan fundamental yang berimplikasi terhadap perspektif keagamaan yang picik dan intoleran.
Sebagai alternatif dalam menyelesaikan permasalahan ini, kaum peci, sarung dan sandal jepit banyak menawarkan corak beragama yang moderat. Pada tataran implementasinya, beragama yang bernuansa kemoderatan mengeksternalisasi sekaligus menginternalisasi empat hal, yakni komitmen kebangsaan, bersikap toleransi, anti kekerasan, serta bersikap akomodatif terhadap budaya dan tradisi lokal. Melalui pemahaman dan penyebaran keberagaman yang bernuansa moderat inilah, kaum peci, sarung dan sandal jepit berpartisipasi dalam dinamika politik kebangsaan.
Pada aspek politik kerakyatan, partisipasi politik kaum peci, sarung dan sandal jepit banyak tercurahkan untuk membangun basis kekuatan rakyat, mulai dari bidang pendidikan, ekonomi, hingga perpolitikan. Pada masa sebelum kemerdekaan, partisipasi politik pada aspek politik kerakyatan terlihat dalam beberapa gerakan yang dibuat oleh kaum sarung, peci dan sandal jepit. Di antaranya ialah taswirul afkar sebagai gerakan politik kerakyatan kaum sarung, peci dan sandal jepit di bidang pendidikan, nahdlatut tujjar sebagai gerakan politik kerakyatan kaum sarung, peci dan sandal jepit di bidang ekonomi, serta nahdlatul wathan sebagai gerakan politik kerakyatan kaum sarung, peci dan sandal jepit di bidang politik. Pada masa sekarang, partisipasi politik pada aspek politik kerakyatan kaum sarung, peci dan sandal jepit berlokasi pada upaya pemberdayaan, pengkawalan, serta pembelaan terhadap kaum marginal. Pengupayaan ini bisa dilakukan dalam bentuk LSM, organisasi, paguyuban, dan lain-lain yang kesemuanya mengarah kepada semangat memberdayakan, mengawal, serta membela kaum marginal.
Pada aspek politik kekuasaan, kaum sarung, peci dan sandal jepit berpartisipasi ke dalam politik praksis. Di sini, semangat perjuangannya diarahkan untuk mengelola dan memperbaiki sistem-sistem, kebijakan-kebijakan, dan tatanan-tatanan, baik pada level mikro hingga makro.
Secara garis besar bisa disebutkan bahwa wadah politik peci, sarung dan sandal jepit pertama kali terjadi di Indonesia yaitu Partai Persatuan dan Pembangunan, PPP didirikan oleh pesantren maka secara otomatis PPP dilahirkan oleh Nahdlatul Ulama. Politik kekuasaan kaum sarung, peci dan sandal jepit bertujuan untuk tiga hal. Pertama, mengelola dan memperbaiki beberapa sistem, kebijakan, tatanan. Kedua, menyerap aspirasi rakyat. Ketiga, mencegah orang buruk duduk di kursi kekuasaan.
*) Penulis adalah M. Reza al-Akhsan, Direktur LP2 DPC PPP Kabupaten Lamongan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kabarbaru.co