Berita

 Network

 Partner

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store

“Syekhah” Rahmah El Yunusiyyah, Pendiri Pesantren Perempuan Pertama di Indonesia

Penulis: Annisa Rahma Zein, Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila.

Editor:

Kabar Baru, Opini- Pada momentum Hari Santri kali ini, izinkan saya menuliskan lebih jauh tentang ayam betina yang berkokok dari Tanah Minangkabau, sebuah kokok yang lantang, ditengah kokok “ayam jantan” yang riuh. Perempuan hebat bernama “Rahmah” yang artinya kasih sayang.

Rahmah El Yunusiyyah, anak dari seorang Ulama terkemuka Minangkabau, Muhammad Yunus al-Khalidiyah, adalah pahlawan perempuan dari Minangkabau, tanah beradat yang didalamnya terjadi harmonisasi sempurna antara kearifan lokal dan nilai religiusitas –adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah− yang mana pada saat itu, adat dipeluk laki-laki, ditafsirkan oleh laki-laki, dan dikuasainya pula.

Di Minangkabau, tokoh perempuan pada saat itu mampu membuat Belanda ngilu-ngilu asam. Roehana Kuddus, Ratna Djuwita, Rahmah El Yunusiyyah, Rasuna Said, Sa’addah Alim, Djanewar Djamil, Sjamsidar Jahja, Ratna Sari, semuanya adalah wartawati atau politikus, kecuali Rahmah. Rahmah sangat fokus bergelut dalam memajukan pendidikan untuk kaum perempuan, bukan berarti dia menutup diri dengan politik, hanya saja bagi Rahmah sebelum perempuan berbicara tentang lain hal haruslah mereka di isi dengan ilmu pengetahuan yang benar sebagaimana mestinya.

Rahmah kecil tumbuh dewasa dengan banyak pertanyaan di dalam otak cerdasnya, entah siapa yang memulai menancapkan kebodohan dalam kepala orang-orang yang menjadikan perempuan sebatas objek pelengkap sampai ajal menjemput, bahwa pria harus berbini lebih dari satu. Mereka berbondong-bondong memungut Al-Quran, lalu ayat itu dipegang erat-erat, hanya untuk kepentingan poligami, tanpa ada niat membahas ayat tersebut dengan akal sehat. Dari gejolak kegelisahan tersebut, membawa Rahmah berdiri lebih tegap sambil melilitkan kerudung putih yang menjadi ciri khasnya, seraya bersiap melawan “kejahilan” yang meradang di Bumi Minangkabau.

Perjuangan Rahmah dalam membangun Sekolah Islam untuk perempuan tentu tidak semulus yang dibayangkan. Pada masa itu, sedikit saja perempuan Minang yang mengecap pendidikan, sebagian besar habis umur dirumah, di sawah, di ladang, di pasar, dan lebih banyak membina rumah tangga. Perempuan kebanyakan adalah perempuan pasrah, memasrahkan diri pada nasib dan sesuatu yang dianggap takdir, meski itu bukan takdir. Sekolah dengan bangunan sekedarnya tersebut pada hari pertama murid mulai berdatangan, tiap hari terus begitu, ada yang pergi dan tak kembali, tentu ada pula yang baru. Apa yang Rahmah lakukan tentunya menjadi perbincangan di masyarakat. Ia disebut “yang ketidak-tidak saja”. Rahmah ditentang baik secara diam-diam maupun frontal. Tidak jarang juga Rahmah bersitegang dengan pemuka adat yang memaksa anak perempuan untuk kawin. Namun, mana mau Rahmah kalah.

Dalam setiap dakwahnya, Rahmah menawarkan pola pendidikan baru bagi perempuan Minang sebagai sebagai pewaris kebudayaan tinggi, sebagai Ibu bagi kaum masa depan. Ia meyakinkan setiap orang, omong kosong menggapai kemerdekaan kalau perempuan tak sekolah, omong kosong mendidik anak kalau ibunya terbelakang, perempuan akan terus buta huruf dan jadi “komoditif” laki-laki saja. Angin pun berkisar, tak lagi bertiup buruk kepada Rahmah, seluruh rakyat Padang Panjang menyebut Diniyyah Putri sebagai “Sikolah Etek Amah”. Diniyyah Putri, sekolah Muslimah klasikal pertama di Indonesia, yang sudah memiliki fondasi kuat, namanya pun terdengar sampai negeri Jiran. Maka tak heran kalau murid-murid “Etek Amah” ada perempuan dari negeri sebrang yang dititipkan oleh orang tuanya karena kepercayaan yang melimpah kepada Rahmah dalam mendidik. Tidak hanya itu, diakhir perjuangan kemerdekaan, Rahmah bersama muridnya, merajut sebuah bendera “untuk bangsa yang baru hadir”, bersama-sama melakukan upacara bendera dengan memberi hormat pada bendera yang menyimpan derita bangsa, membuat sejarah sebagai orang pertama yang mengibarkan bendera Merah Putih di Tanah Minangkabau, bahkan mungkin di Semenanjung Sumatera.

Mesir adalah negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia tepat pada 22 Maret 1946. Pada saat itu, di tahun 1955 sedang ramai urusan politik, pemilu pertama di Indonesia, juga Konferensi Asia Afrika di Bandung, Diniyyah Putri juga tak kalah sibuk. Rektor Universitas Al Azhar, Dr.Syekh Abdurrahman Taj, datang ke Perguruan Diniyyah Puteri Padang Panjang. Dengan suasana hati yang hangat, yang kemudian terkagum melihat Rahmah berpidato dengan bahasa Arab versi bahasa Al-Quran, setelahnya, Syekh Abdurrahman Taj menyampaikan bahwa Indonesia adalah surga yang tersembunyi karena negerinya nan elok, dan ada perguruan khusus perempuan, yang pada saat itu, di Al Azhar belum ada. Ia berkata akan memungut pola tersebut untuk diterapkan di universitasnya. Benar saja, setahun kemudian, setelah Rahmah selesai menunaikan ibadah Haji di Makkah, melalui rapat lengkap oleh guru besar yang penuh dengan lautan ilmu di Kota Kairo yang setiap jengkalnya adalah sejarah yang dipakukan, Rahmah resmi mendapatkan gelar “Syekhah”. Rahmah adalah perempuan pertama di dunia yang mendapatkan gelar guru besar tersebut. Pemikiran Rahmah memberikan inspirasi untuk kurikulum Al-Azhar.

Keberanian Rahmah dalam memberikan penerangan agama untuk memperjuangkan kaumnya menjadi tiang negara −al mar’atu imadul bilad− selama bertahun-tahun menjadikannya sebagai Rangkayo Rahmah El Yunusiyyah, menjadi Bunda Rahmah, menjadi Etek Rahmah, menjadi Encik Rahmah Ayam Betina yang berkokok, menjadikannya Syekhah, dan menjadikan dirinya sebagai perempuan yang melampaui zaman. Perpaduan antara kecantikan, keanggunan dan kharisma seorang Rahmah El Yunusiyyah menciptakan sebuah relasi harmoni antara nilai keagamaan, adat, dan membentuk kristalisasi sistem hidup baru, melenyapkan hal-hal yang retak, menghapuskan pertentangan antara panggilan masyarakat atau panggilan alam, menghasilkan sebuah elemen baru pekerjaan masyarakat dan cinta kasih keibuan dalam satu sintesis yang berbahagia tanpa melupakan akar budaya.

 

Sumber: Khairul Jasmi, Rahmah El Yunusiyyah, Perempuan Yang Mendahului Zaman, Jakarta: Republika Penerbit, 2020

 

*) Penulis adalah Annisa Rahma, Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kabarbaru.co

Kabarbaru Network

https://beritabaru.co/

About Our Kabarbaru.co

Kabarbaru.co menyajikan berita aktual dan inspiratif dari sudut pandang berbaik sangka serta terverifikasi dari sumber yang tepat.

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store