Pemuda dalam Pusaran Post-truth: Jalan Panjang Menuju Pemuda Berwawasan Organik

Jurnalis: Sri Hartutik Sandora
Kabar Baru, Opini– Topik pemuda dalam perjalanan panjang Bangsa Indonesia menjadi idiom yang banyak dicatat dalam sejarah. Mulai dari era penjajahan oleh kolonialisme Eropa dan Jepang sampai era reformasi, pemuda menjadi lokus dan aktor kunci dalam sebagian besar proses perubahan ekonomi, sosial, dan politik di dunia, termasuk dalam kajian pemuda di Indonesia.
Angkatan pemuda pada masa tersebut memiliki kesadaran politik penuh, meskipun jumlahnya tidak mayoritas. Akan tetapi, kepeloporan pemuda mendobrak laku historis zaman dengan menghadirkan wawasan baru yang lebih segar terhadap kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Kemunculan Sukarno, Hatta, Sjahrir, Aidit, Njoto, Wikana dan lainnya yang pada masa penjajahan masih berumur belia memberikan gambaran awal seberapa besar sepak terjang kesadaran politik pemuda pada saat itu.
Melalui pikiran cemerlang, kesadaran, dan idealisme yang kuat untuk menjadi bangsa yang bebas, setara, dan merdeka secara lahiriah dan batiniah menemukan titik terang. Dimana, meskipun terdapat perbedaan pandangan antara golongan tua dan muda, dengan insting yang kuat mereka berhasil mempercepat proklamasi kemerdekaan.
Tanpa adanya tekat bulat dan keberanian yang kuat, proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tidak akan pernah terjadi dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Semangat pemuda angkatan 28 (kongres pemuda II) dan 45 (proklamasi kemerdekaan) itulah yang menjadi patronase angkatan selanjutnya, yaitu 98 (reformasi politik) untuk menggulingkan rezim totalitarian Orde Baru.
Singkatnya, dalam pergantian sebuah rezim yang melekat pada nadi sejarah Bangsa Indonesia tidak bisa dilepas-pisahkan dengan peranan pemuda yang menolak untuk diam ketika melihat ketidakadilan, penindasan, dan kesewenang-wenangan menjadi nafas utama kekuasaan dalam menjalankan roda pemerintahan.
Pemuda pada saat itu didaulat sebagai kekuatan moral dimana kaum muda berjuang bukan untuk merebut kekuasaan melainkan lebih mendorong pemerintah untuk menjalankan kekuasaan yang melayani rakyat dan membawa kebanggaan sebagai bangsa. Pemuda selalu tampil terdepan dalam mensiarkan bara keberanian dan kehidupan sosial politik yang lebih adil. Seperti yang diungkapkan oleh Samuel Ullman bahwa pemuda bukanlah persoalan lutut yang lentur, bibir merah, dan pipi berona kemerahan melainkan masalah tekad, kualitas imajinasi, kekuatan emosi dan kesegaran musim semi kehidupan.
Pemuda telah didaulat menjadi agen perubahan (agent of change) dan agen kontrol sosial (agent of social control) yang kedudukannya patut diperhitungkan. Perubahan zaman saat ini membawa perubahan pola pikir (mindset) dan pola laku (behavior) pemuda. Sangat jarang ditemui pemuda yang berani mendidikasikan energi, waktu, dan segala yang menempel pada tubuhnya untuk kepentingan bersama.
Tumbuh dan menjamurlah generasi yang makin abai dan bermental komprador yang hanya fokus pada kepentingan diri sendiri dan jangka pendek. Pemuda saat ini banyak disorot tindakan-tindakan negatif ketimbang prilaku-prilaku yang berkonotasi dengan cita-cita untuk mewujudkan tegak dan bersemainya keadilan.
Media massa, media cetak, dan media elektronik tiada henti menampilkan berita yang memberikan gambaran betapa semakin anomi dan dekadennya kehidupan pemuda zaman ini. Meskipun, tidak bisa dipungkiri kelompok pemuda yang aktif menjadi martir demokrasi yang bergabung dalam kelompok tertentu dan berdiri dengan rakyat tertindas juga keberadaannya dapat ditemui, walaupun jumlahnya sedikit.
Era saat ini yang disebut pasca-kebenaran (post-truth) menjadi ancaman yang serius bagi pemuda-pemudi. Sebuah masa yang kehidupan publik politiknya dikuasai oleh hasrat untuk mengkaburkan kebenaran dan kesalahan sehingga tidak ada batas lagi antara kebenaran dan kesalahan tersebut. Mereka yang dibuai dengan kehidupan virtual berupa permainan virtual yang mengarah pada tindakan perjudian juga semakin banyak.
Mereka yang terseret dalam pusaran berita palsu yang mengandung cacat pikir (logical fallacy) juga semakin besar jumlahnya. Pemuda saat ini menghadapi ancaman yang serius dalam berbagai sendi kehidupan bermasyarakat, jika sampai terlena akan menjadikan mereka sebagai golongan yang tidak memiliki kontribusi sedikitpun dalam kehidupan bermasyarakat. Justeru akan menjadi beban moral dan beban sosial yang akan menghambat jalannya proses sosial di masyarakat.
Berbagai tantangan tersebut, terkhusus di era pasca-kebenaran ini, pemuda dituntut bukan hanya memoles penampilan saja melainkan juga pemikiran yang berwawasan kritis. Selain itu, pemuda harus menjadi kecambah dengan apa yang disebut “intelektual organik”.
Sebuah istilah yang merujuk pada intelektual terkemuka asal Italia Antonio Gramsci yang mendidikasikan kehidupan intelektualnya untuk kepentingan politik luas (public politic). Pemuda organik artinya pemuda yang dilahirkan dari rahim masyarakat, besar di masyarakat, dan mendidikasikan pikiran, ide, dan segala bentuk kehidupannya untuk kepentingan masyarakat sekitar. Gramsci sadar secara penuh bahwa semua orang ditakdirkan menjadi filsuf dan intelektual tetapi tidak semua dari mereka menjalankan fungsinya sebagai intelektual.
Pemuda seperti itulah yang akan menjadi tonggak beradaban bangsa kedepannya dan dibutuhkan sebagai kemudi untuk mengarungi arus politik Indonesia yang sangat keras, bergelombang, dan disatu sisi lainnya bersifat jumud.
*) Penulis adalah Fikram Kasim, Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kabarbaru.co