Berita

 Network

 Partner

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store

Nasib Nelayan Kini Diujung Tanduk

Nasib Nelayan
Penulis: Muhammad Sutisna, Direktur Maritime Strategic Center.

Editor:

KABARBARU, OPINI- Sejak pemerintah menetapkan Hari Nelayan Nasional pada tanggal 6 April 1960, dalam arti sudah 62 tahun Hari Nelayan Nasional diperingati. Namun nasib nelayan kita kerap menghadapi permasalahan klasik yang  tak ada ujungnya, dampaknya nelayan kita hari ini jauh dari kata sejahtera.

Padahal menurut Bung Karno, Nelayan merupakan bagian penting dari soko guru revolusi. Dimana nasib Nelayan harus bisa berdiri di atas kaki sendiri, sebagai tulang punggung perekonomian maritim. Namun permasalahan-permasalahan seperti kurangnya akses modal, kapal yang masih sederhana, peralatan tangkap yang terbatas, hingga sulitnya nelayan mendapatkan akses pembelian BBM menjadi masalah yang terus bergulir. Apalagi melihat kondisi hari ini, ketika terjadinya kelangkaan BBM di seluruh daerah. Berdampak pada nelayan kita, yang tak bisa melaut maupun membatasi aktifitas melautnya karena tak kebagian bahan bakar.

Jasa Pembuatan Buku

Bila merujuk pada statement yang diungkapkan Dani Setiawan selaku Ketua Harian Komite Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), mengatakan bahwa berbelitnya prosedur yang mengharuskan nelayan wajib menyertakan surat rekomendasi agar bisa membeli BBM di SPBU, namun tak semua nelayan bisa mendapatkan akses tersebut. Sehingga para nelayan membeli BBM di eceran yang cenderung mahal dari harga normal di SPBU. Kondisi ini yang menyebabkan nasib nelayan harus membatasi jumlah pembelian BBM dan mengurangi daya jelajahnya dalam melaut. Tentunya hal ini mempengaruhi jumlah tangkapan dan ketersedian hasil laut di pasaran.

Nelayan kita juga kerap menghadapi berbagai macam dilema, selain harus berjibaku dengan tingginya biaya melaut akibat dari keterbatasan BBM. Nelayan juga kerap masalah seperti krisis iklim dan ekspansi industri ekskreatif di wilayah pesisir, laut, serta pulau pulau kecil.

Dimana dalam kaitannya krisis iklim, seiring dengan perubahan cuaca yang tidak bisa diprediksi, apabila cuaca tidak bersahabat otomatis nelayan tidak bisa pergi melaut. Selain itu, krisis iklim membuat nelayan sulit memprediksi cuaca. Selain memperburuk cuaca, gelombang di laut menjadi semakin tinggi akibat krisis iklim. Kondisi ini memaksa nelayan untuk tidak melaut.

Akibat krisis iklim, nelayan di Indonesia hanya bisa pergi melaut selama 180 hari atau enam bulan dalam satu tahun. Hal ini memperburuk kehidupan sosial dan ekonomi nelayan di Indonesia. Belum lagi banyaknya nelayan yang harus meregang nyawa akibat nekat melaut, karena desakan ekonomi. Karena kalau tidak melaut, mereka tidak bisa makan.

Masalah lain yang menghantui nelayan adalah maraknya penambangan di wilayah perairan, menyebabkan lebih dari 35 ribu keluarga nelayan di Indonesia kehilangan ruang hidupnya akibat dari kegiatan reklamasi pantai. Selain itu, sebanyak 6081 desa pesisir kawasan perairannya telah tercemari limbah pertambangan.

Belum lagi dengan adanya kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang pada awal 2022, mulai menerapkan kebijakan penangkapan ikan terukur dengan sistem kuota dan zonasi wilayah penangkapan, dengan harapan meningkatkan PNPB, meningkatkan perekonomian nelayan dan industri perikanan sekaligus menjaga keberlanjutan ekosistem kelautan.

Dimana kebijakan ini belum sepenuhnya berdampak positif bagi nelayan tradisional. Bahkan disinyalir hanya menguntungkan pelaku industri perikanan skala besar. Semakin membuat kondisi nelayan terkatung-katung.

Dari berbagai macam permasalah tersebut  banyak dari nelayan di Indonesia yang menggantungkan jalanya. Bahkan bila merujuk data Walhi, Jumlah nelayan di Indonesia terus mengalami penurunan dalam satu dekade terakhir sebagaimana dilaporkan oleh dokumen Statistik Sumber Daya Laut dan Pesisir 2021. Pada tahun 2010 jumlah nelayan tercatat sebanyak 2.16 juta orang. Namun pada tahun 2019 lalu, jumlahnya tercatat hanya 1.83 juta orang. Dengan demikian, terdapat penurunan jumlah nelayan sebanyak 330.000 orang dalam sepanjang tahun 2010–2019.

Tentunya sangat ironi melihat kondisi hari ini, bila melihat Indonesia sebagai negara maritim yang luas wilayahnya sebagian besar adalah perairan akan tetapi nelayan kita masih kesulitan dan hidup dalam kemiskinan. Sempat ada secercah harapan dari Presiden Joko Widodo, yang menginginkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.  Dimana dalam pidato kenegaraannya pertama kali pada tahun 2014,  Jokowi menyinggung visinya dalam memperkuat kemaritiman Indonesia pada masa depan yang berbunyi “Kita telah lama memunggungi samudra, laut, selat, dan teluk. Maka, mulai hari ini, kita kembalikan kejayaan nenek moyang sebagai pelaut pemberani. Menghadapi badai dan gelombang di atas kapal bernama Republik Indonesia.”

Nampaknya pidato itu hanyalah pepesan kosong belaka, karena nyatanya hari ini nelayan yang merupakan pilar penting dalam mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia, nasibnya masih terkatung katung.

Perlu adanya Sinergitas antara Lembaga maupun Kementerian terkait

Kontribusi nyata nelayan dalam meningkatkan devisa negara di sektor maritim tidak bisa dipandang sebelah mata, selain itu nelayan kita juga memiliki peran sebagai alat pertahanan negara. Karena kerap menjadi informan aparat dalam mendeteksi berbagai macam ancaman di laut seperti illegal fishing yang kerap dilakukan oleh kapal kapal asing dan aktifitas kejahatan di laut.

Sehingga penting bagi pemerintah untuk melakukan sinergitas antara lembaga maupun kementrian terkait. Karena masalah nelayan, bukan hanya wewenang kementerian kelautan dan perikanan saja selaku pemegang tupoksinya. Akan tetapi kementerian maupun lembaga negara lainnya bisa memiliki kontribusi dalam menyejahterahkan nelayan kita.

Salah satunya konsep yang dicanangkan oleh Kepala Bakamla RI, Laksdya Aan Kurnia melalui Konsep Nelayan Nasional Indonesia (NNI) terkait pentingnya keterlibatan Nelayan di Perairan Natuna. Dimana Bakamla memandang perlu keterlibatan nelayan di Natuna untuk bersama menjaga wilayah kedaulatan tanah air. Konsep NNI nantinya setiap nelayan yang bergabung tidak dibekali senjata. Tetapi, NNI akan menjadi kepanjangan tangan aparat penegak hukum. Karena selain mencari ikan, Nelayan bisa menjadi agen pemerintah dalam menjaga kedaulatan. Tentunya bisa menjadi nilai tambah ekonomi bagi nelayan, karena adanya pendapatan baru.

Selain itu terkait permasalahan masih sederhananya kapal dan alat tangkap. Pemerintah juga perlu menggandeng industri galangan kapal. Dimana Kementerian Perindustrian  bisa menggalang para pelaku industri galangan kapal untuk sama sama membangun kapal nelayan yang sesuai dengan kondisi zaman, yakni dilengkapi dengan alat gps maupun prediksi cuaca. Dimana bila kita berkaca dari negara lain, para nelayan tradisional sudah memiliki kapal kapal yang canggih.

Lalu terkait akses modal, dan pemasaran hasil laut yang selama ini menjadi masalah klasik. Tentunya bisa didorong melalui Kementerian BUMN, dimana perusahaan plat merah yang berada dalam sektor perikanan dan kelautan bisa lebih memperhatikan nasib nelayan dengan membantu memasarkan hasil tangkapan laut dari hulu ke hilir secara komprehensif.

Bila berbagai masalah yang dihadapi nelayan kini bisa diatasi dengan serius oleh pemerintah. Tentunya nelayan kita akan kembali berada dititik kejayaannya, dan kawasan pesisir yang kini identik dengan kemiskinan. Bisa kembali pulih menjadi pusat peradaban yang lebih maju. Karena di masa silam, kawasan pesisir merupakan pusat kejayaan bangsa kita. Dimana segala bentuk aktifitas ekonomi, sosial, politik dan budaya terkonstruk di dalam kawasan pesisir.

 

*) Penulis adalah Muhammad Sutisna, Direktur Maritime Strategic Center

Kabarbaru Network

https://beritabaru.co/

About Our Kabarbaru.co

Kabarbaru.co menyajikan berita aktual dan inspiratif dari sudut pandang berbaik sangka serta terverifikasi dari sumber yang tepat.

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store