Tekanan BUMN Pasca Naiknya Pertamax

Editor: Ahmad Arsyad
KABARBARU, OPINI – Setelah menaikkan harga bahan bakar pertamax, pemerintah berupaya menjaga agar publik tidak kaget dengan menjaga pasokan bahan bakar kelas lebih rendah pertalite tetap tersedia di setiap SPBU. Namun ada skema resiko muncul yakni bagaimana cara BUMN tidak mendapatkan kerugian? Tingginya harga minyak dunia itu memang berpotensi menambah beban Pertamina dalam mendistribusikan BBM Sebaliknya, pada saat harga minyak dunia sedang melonjak dan Pemerintah menetapkan harga BBM di bawah harga keekonomian, Pertamina memang menanggung potensi kerugian (opportunity loss). Keputusan Pemerintah untuk tidak menaikan harga BBM, selain untuk menekan laju inflasi, juga untuk meringankan beban rakyat sebagai konsumen, yang daya belinya sedang melemah.
Namun, pemerintah sesungguhnya tidak membiarkan Pertamina begitu saja dalam menanggung potensi opportunity loss sebagai dampak keputusan pemerintah untuk tidak menaikan harga BBM. Upaya ini tidak akan berhenti di pertalite, bahkan pemerintah mencanangkan agar BBM yang ada di pasaran merupakan jenis pertamax (RON 92) ke atas. Jika nantinya dilakukan perubahan ke pertamax, itu akan menurunkan kembali emisi CO2 sebesar 27%.
Indonesia kini jauh tertinggal jika dibandingkan dengan negara lain, tidak perlu jauh di tingkat global, di regional Asia Tenggara saja Indonesia masih menggunakan BBM berstandar Euro, sedangkan negara tetangga sudah berstandar Euro 4 dan akan masuk ke standar Euro 5. Di Singapura, minimal yang dijual ialah BBM RON 92. Sementara di Malaysia, minimal yang dijual, yaitu BBM RON 95 dan BBM RON 97. Kemudian di Thailand (BBM RON 91 dan BBM RON 95), Filipina (BBM RON 91, BBM RON 95, dan BBM RON 100), Vietnam (BBM RON 92, BBM RON 95, dan BBM RON 98).
BBM jenis premium sebenarnya sudah lama ditinggalkan oleh negara-negara di dunia. Saat ini hanya tersisa tujuh negara yang masih memasarkannya, termasuk Indonesia meskipun penjualannya hanya tinggal 2% dari total BBM yang dipasarkan PT Pertamina (persero).
Sesungguhnya kesadaran masyarakat untuk menggunakan BBM yang lebih berkualitas dan lebih ramah lingkungan semakin meningkat di negeri ini. Buktinya, penyerapan premium oleh masyarakat semakin menurun dan emisi karbon bisa semakin ditekan. Penggunaan energi yang lebih bersih sudah menjadi bagian dari peradaban modern. Untuk itulah konsistensi kebijakan energi bersih harus berjalan tegak lurus. Jangan lagi dibenturkan dengan potensi inflasi harga komoditas pokok.
Kita masih ingat pada rencana penghapusan Premium diketahui bukan sesuatu yang baru. Wacana tersebut sudah mengemuka sejak lebih dulu. Bahkan, di beberapa stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) sudah tidak lagi menyediakan Premium.
Sejauh ini tidak ditemukan gejolak yang berarti setelah lebijakan penghapusan Premium di wilayah Jabodetabek itu. Masyarakat dengan sendirinya beralih ke Pertalite. Namun, kondisi di Jabodetabek tidak bisa dijadikan ukuran bahwa rencana naiknya harga Pertamax akan diterima dengan lapang dada oleh masyarakat.
Apalagi, menurut data Pertamina, pola konsumsi bensin jenis Premium dan Pertalite dari tahun ke tahun masih mengalami kenaikan. Perinciannya, untuk penggunaan bensin Premium pada 2018 secara nasional mencapai 31,3 persen dari konsumsi BBM secara nasional. artinya konsumsi pertamax juga akan meningkat sekalipun mahal daripada roda transportasi mereka tidak jalan.
Kalau potensi kerugian penjualan harga BBM pada 2017 sebesar Rp19 triliun dikompensasikan dengan keuntungan pada 2016, Pertamina masih mengantongi selisih keuntungan sekitar Rp21 triliun (Rp40 triliun – Rp19 triliun). Sisa keuntungan itu masih sangat memadai untuk menutup potensi kerugian Pertamina, akibat kenaikan harga minyak dunia pada 2018. Lalu bagaimana dampak kebaikan harga pertamax pada pendapatan Pertamina. Jika masih sama maka menaikkan harga tidak ubahnya penyebimbangan pola distribusi dan konsmsi lama.
Jadi intinya, hindari membebankan anggaran subsidi kepada Pertamina tidaklah tepat karena Pertamina badan usaha yang perlu beroperasi layaknya pelaku usaha lain. Maka, jika pemerintah memutuskan tetap tak menaikkan harga BBM, yang harus dilakukan adalah secara tegas dan resmi menambah alokasi anggaran subsidi BBM tersebut di APBN. Saat ini utang BUMN, khususnya yang bergerak di sektor konstruksi, menjadi sorotan. Kementerian Keuangan menunjukkan rasio utang terhadap ekuitas (debt-to-equity ratio/DER) mulai mengkhawatirkan.
Sebuah Saran
Kontribusi penaikan harga BBM terhadap inflasi memang tergolong rendah, tapi tidak bisa dihindari penaikan harga BBM menimbulkan multiplier effects, yang memicu kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Dampaknya, rakyat berpenghasilan tetap, utamanya rakyat miskin yang tidak pernah menggunakan BBM lantaran tidak memiliki kendaran bermotor, akan terimbas kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Dengan demikian, ada kepentingan lebih besar untuk tetap menjaga daya beli rakyat sebagai konsumen, juga untuk melindungi rakyat miskin dalam menghadapi terpaan inflasi.
Rencana penghapusan premium itu sejalan dengan ketentuan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) pada 2017 untuk mengurangi emisi karbon. Maka, direkomendasikan agar BBM yang dijual ialah minimal RON 91. BBM dengan RON 91 ke atas dinilai lebih ramah lingkungan. Hal itu sekaligus menunjukkan tekad kuat dan keseriusan pemerintah Indonesia menyelamatkan lingkungan.
Saat ini sudah memasuki masa transisi. BBM jenis premium digantikan dengan BBM RON 90 atau pertalite yang dianggap lebih ramah lingkungan. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menunjukkan bahwa perubahan dari premium ke pertalite mampu menurunkan kadar emisi CO2 sebesar 14%. Secara perlahan publik akan terbiasa pada harga baru pertamax.
Penulis memberikan beberapa pandangan agar kebijakan kenaikan BBM tidak menjadi bumerang berdampak pada kerugian BUMN kita. Pertama, Kebijakan menaikkan harga pertamax sudah menjadi keputusan yang tepat mengingat harga yang ditetapkan oleh Pertamina justru masih dibawah harga beberapa negara seperti Thailand, Malaysia, dan Singapura.
Kedua, kebijakan ini harusnya dilengkapi dengan dorongan pada penghematan konsumsi BMM lebih minimum. Adanya penerapan pembatasan seperti jarak atau konsumsi. Ketiga, pemerintah harus memperhatikan mode produksi kendaraan bermotor yang semakin tahun volume tersebut mengalami pengingakatan. Keempat, kebijakan lain yang mesti dibuat agar masyarakat terbiasa pada mode transportasi umum. Hal ini sebenarnya tidak begitu rumit jika pemerintah benar-benar peduli pada resiko yang jauh lebih diakibatkan oleh konsumsi BMM secara berlebihan. Disisi lain, BUMN kita tidak mesti mengeluarkan banyak tambahan dana untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar minyak setiap harinya. Di mana, produksi kita tidak sebanding lurus dengan keperluan konsumsi yang teramat.
*) Penulis adalah Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia dan Staf Pengajar STIAMI JAKARTA
*) Tulisan opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi tanggungjawa redaksi, Kabarbaru.co.