Berita

 Network

 Partner

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store

Sebab Kita Senang Sok Tahu

tahu
Penulis: Fauzan Nur Ilahi.

Editor:

KABARBARU, RESENSI Ada orang-orang yang sok tahu. Entah di warung kopi, atau kolom-kolom komentar. Mereka yang menyembur (atau membagikan) banyak argumen tanpa perlu peduli dengan rujukan, hasil penelitian, dan fakta. Seolah “fakta” adalah apa yang ada dan disebar melalui media elektronik, serta yang terpenting, sesuai dengan apa yang mereka yakini.

Jasa Penerbitan Buku

Ada pula selebritis dan influencer yang mahatahu. Mulai dari kebijakan publik, teori konspirasi, hingga epidemologi. Semua dikomentari. Seolah popularitas menjamin kepakaran dalam segala hal. Seakan tenar adalah salah satu rukun ahli.

Satu lagi kelompok intelektual, politisi, dan pemuka agama yang paling anti untuk bilang ‘tidak tahu’. Mungkin mereka berpikir, ahli dalam satu bidang, itu artinya ahli dalam bidang yang lain. Ya, semisal ahli fikih yang juga “merangkap” ahli dalam kajian nuklir.

Tom Nichols menyebut fenomena ini sebagai matinya kepakaran. Istilah ini marak diperbincangkan setelah bukunya diterbitkan pada tahun 2019 dengan judul, “The Death of  Expertise” (atau “Matinya Kepakaran” dalam versi terjemahan Bahasa Indonesia).

Banyak orang (setidaknya beberapa ahli), menganggap biang kerok dari persoalan ini adalah internet berikut turunannya, semisal hadirnya medsos dan medium internet lain. Suatu hipotesis yang keliru. Sebab, sebagaimana diurai Tom Nichols, fenomena matinya kepakaran sudah muncul sejak era mesin cetak, radio, dan televisi. Hanya saja, fenomena ini kian masif di era internet.

Penjelasan Tom akhirnya juga membuat kita mengerti, bahwa sejatinya internet, radio, televisi, media sosial, demokrasi yang tidak sehat, atau instansi pendidikan (ini mungkin paradoks), tak lebih dari sekadar sarana dan variabel yang membuat kepercayaan terhadap pakar (bahkan pada pengetahuan) semakin terkikis.

Lantas jika bukan internet and the gang biang keroknya, maka apa faktor lain yang paling masuk akal?

Tom, dengan merujuk pada temuan sains, menjawab pertanyaan tersebut dengan ini: ‘bias konfirmasi’. Istiah ini merujuk pada kerja pikiran kita yang melahirkan sikap doyan mengkonsumsi atau menerima informasi yang HANYA kita suka. Bukan yang SESUAI dengan fakta.

Fakta, nahasnya, tidak peduli dengan apa yang kita suka. Temuan sains (berikut epistemologinya), bodo amat dengan apa yang kita percayai.

Tentu ini masalah. Sebab, mayoritas awam seperti saya lebih suka sesuatu yang final. Proses penelitian terlalu memakan waktu yang lama dan ribet. Kita tidak senang dengan kompleksitas persoalan. Kita, setidaknya saya, lebih senang dengan tukang ngibul, teori konspirasi, ramalan zodiak, olah bacot selebritis atau influencer, dan tentu saja, informasi sepenggal yang kadang muncul di beranda Facebook, Twitter, grup WhatsApp, Instagram, YouTube, atau TikTok. Lebih mudah, cepat, dan praktis. Meskipun belum tentu berguna.

Kecenderungan ini juga yang membuat hoaks semakin liar. Sebab tata cara membuat hoaks yang baik dan benar, saat ini tidak susah-susah amat. Cukup berbekal desain grafis yang menarik, atau editing video yang eye-catching, atau kalimat-kalimat persuafif tanpa isi, atau informasi sepenggal yang mengafirmasi pandangan tertentu (kendati bertentangan dengan fakta), dan Boom! Kita sudah mendapat banyak atensi.

Sebab percayalah, mayoritas warga internet, selain untuk meningkatkan dopamin, mereka juga berselancar untuk mengonfirmasi pandangan atau argumen yang diyakini. Bukan untuk mencari informasi. Ini adalah dua hal yang berbeda: konfirmasi, dan mencari informasi.

Membahas perihal kesukaan kita terhadap hal instan meskipun tanpa dasar ini, nampaknya kalimat Tom Nichols yang akan saya kutip menarik untuk dibaca:

“Keadaan sekarang hampir seperti revolusi terbalik; kita menjauhi pengetahuan yang teruji dan mundur menuju legenda dan mitos  yang disampaikan dari mulut ke mulut–hanya sekarang semua itu dikirimkan melalui alat elektronik.” (Matinya Kepakaran, h. 263)

Joki Tugas

Legenda, mitos, atau informasi sepenggal itu mungkin saja ada benarnya. Tetapi apalah arti kebenaran jika tak berdasar? Bukankah ada istilah yang lebih pas untuk hal seperti ini? Kebetulan, misalnya. Sebab, suatu informasi itu tak bisa ‘pokoknya’. Informasi bisa bernilai, jika bisa diverifikasi dan difalsifikasi.

Pakar sangat mungkin salah. Tetapi suatu kesalahan yang dilakukan berdasar eksperimen dan penelitian, tentu jauh lebih berharga daripada secuil kebetulan yang tak memiliki dasar apa pun kecuali emosi semata.

“Penilaian tanpa informasi (bahkan jika benar) sering kali kurang berguna daripada pandangan berdasar (bahkan jika salah) yang dapat dibedah, dipelajari, dan diperbaiki.” (Matinya Kepakaran, h. 248) 

Seruan Tom kepada masyarakat agar tak mengonsumsi informasi seragam apalagi sepenggal, serta menjadi warga negara yang aktif – artinya membaca dan belajar dari para pakar dengan kritis, nampaknya layak diketengahkan.

Dia juga mengajak agar kita tak menganggap bahwa demokrasi artinya mengharuskan kesetaraan dalam segala aspek. Hukum dan politik, tentu saja semua setara. Tetapi bagaimana dengan pengetahuan, pandangan, dan argumen? Saya rasa, tidak satu pun di antara kita akan mengafirmasi pemikiran tersebut (kecuali Anda yang menganggap bahwa semua warga negara penganut demokrasi setara dengan Einstein dalam fisika).

Ada argumen salah dan konyol, ada argumen benar. Ada pandangan tak berdasar fakta dan irasional sehingga lebih tepat berada di keranjang sampah, ada pandangan yang layak untuk didengar dan diikuti. Ini adalah efek logis dari deferensiasi atau spesialisasi profesi masyarakat modern. Tidak ada yang ahli dalam segala bidang. Sehingga kita, dengan segala kerendahan hati, harus menerima kenyataan tersebut dengan mendengar, membaca, dan belajar dari riset dan penelitian para pakar.

Beberapa kenyataan di atas memang cukup untuk membuat saya (mungkin juga Anda) menjadi seorang yang pesimistis. Tetapi saya segera sadar dan cepat-cepat sujud syukur. Pasalnya, sebagian besar latar tempat yang dibahas dalam buku ini, baik dari beberapa kasus, fenomena, atau kegiatan dan hasil penelitian, berada di Amerika.

Di Indonesia, fenomena sejenis ini jelas nihil. Kita sangat menghargai pendapat dan kehadiran pakar. Sebagai masyarakat yang memegang teguh adat ketimuran dan asas Pancasila, pemerintah kita sangat mempertimbangkan pendapat pakar dalam setiap kebijakannya. Warga internet kita juga dikenal santun dalam berkomentar, serta kritis dalam merespons informasi. Influencer dan selebritis tak pernah membahas apa yang berada di luar keahliannya. Intelektual dan pemuka agama juga sangat rendah hati dengan berkata ‘tidak tahu’ ketika ditanya sesuatu yang di luar kemampuannya.

Atas dasar itulah saya sujud syukur. Sungguh negara yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur…

 

Peresensi: Fauzan Nur Ilahi

Judul: Matinya Kepakaran: Perlawanan terhadap Pengetahuan yang Telah Mapan dan Mudaratnya

Penulis: Tom Nichols

Penerjemah: Ruth Meigi P.

Tahun: 2021

Tebal: 293

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)

ISBN: 978-602-481-078-3

Kabarbaru Network

https://beritabaru.co/

About Our Kabarbaru.co

Kabarbaru.co menyajikan berita aktual dan inspiratif dari sudut pandang berbaik sangka serta terverifikasi dari sumber yang tepat.

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store